Senin, 30 Juni 2008

RENUNGAN HARIAN

Renungan Penghiburan

“INDAHNYA RANCANGAN TUHAN”

Bacaan Alkitab Yermia 29 : 11

SERINGKALI dalam hidup ini kita mengalami hal-hal yang tidak terduga, entah itu menyenangkan atau menyedihkan, tampa bertanya apa sih penyebabnya. Dan betapa seringnya kita lansung memprotes Tuhan, jika kejadian yang tak menyenangkan itu datang kepada kita. Kita tak pernah protes kepada Tuhan, seandainya kejadian itu menyenangkan. Memang, kata orang bijak, hidup manusia ibarat sebuah perjalanan panjang, terentang jauh kedepan, kadang lurus dan rata, kadang pula berliku dan berbatu, silih berganti. Ternyata, kita berhasil melewatinya karena kesetiaan Tuhan yang tak berubah itu. Di dalam kesetiaanNya, Ia tak pernah menjanjikan kemudahan melainkan kekuatan. Kekuatan untuk menghadapi perjalanan dan pergumulan hidup ini.

Kita tengok sejenak kehidupan dua orang tokoh dalam Alkitab. Pertama, perjalanan hidup Yusuf. Ia mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan dalam hidupnya. Ia harus berpisah dengan ayahnya kurang lebih 30 tahun. Ia harus menjadi seorang budak bagi orang mesir, sehingga kebebasannya selalu terbatas. Ia juga mengalami fitnahan dari isteri Potifar sampai dijebloskan dalam penjara. Bertubi-tubi pengalaman pahit yang harus Yusuf alami. Mungkin saat itu, bisa saja Yusuf mempertanyakan keberadaan dan kasih Tuhan. ”Kenapa, aku harus begini dan dijadikan budak? Padahal aku tak bersalah dan melakukan yang jahat dihadapanMu? Yusuf tidak pernah protes pada Tuhan, sebab Yusuf sadar betul kalau rancangan Tuhan itu sempurna. Yusuf menjadi orang nomor dua di Mesir setelah Firaun. Rancangan Tuhan sungguh luar biasa!

Kedua, pengalaman hidup rasul Paulus. Paulus lebih banyak mengalami kepahitan hidup ketimbang kemanisan hidup. Dalam sebuah buku yang saya baca, Ia pernah membei suatu kesaksian, tetapi kesaksian itu berbeda dengan kesaksian-kesaksian yang biasa. Ia tidak bersaksi tentang Tuhan yang menyembuhkan diri sakit, tetapi tentang Tuhan yang membiarkan ia sakit. Ia tidak bersaksi tentang doa-doanya yang dikabulkan Tuhan, tetapi justru tentang doa-doanya yang terkabul. Ia tidak bersaksi kerena Tuhan memberinya kekuatan, tetapi katanya, ”aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab, jika aku lemah, maka aku kuat”. Bagi Paulus, rancangan Tuhan itu tak hanya terwujud ketika ia dipulihkan dari kesakitan atau problem hidup apa pun, namun ketika ia diberi kekuatan menghadapi semua kenyataan hidup itu. Rancangan Tuhan itu tidak hanya terwujud ketika ia diberi tugas yang sesuai dengan kesanggupannya, tetapi diberi kesanggupan yang sesuai dengan tugasnya. Bukan ketika kehendaknya menjadi kenyataan, tetapi ketika kehendak Allah terjadi melalui dirinya.

Sisi gelap umat Israel sewaktu pembuangan ke Babel merupakan hukuman Allah kepada umatNya yang tidak memperlihatkan sikap penyesalan dan pertobatan kepada Allah. Seharusnya umat Israel memahami dan merenungkan hukuman Allah itu sebagai bagian dari rancangan Tuhan untuk mendatangkan damai sejahtera bagi umatNya. Di sini, Yermia menyuarakan berita penghiburan kepada umat Israel, bahwa sisi gelap yang di hadapinya itu, tak harus membuat mereka dikuasai oleh rasa putus asa dan kesedihan yang berlebihan. Prinsip imam kepada Tuhan akan mengubah kondisi umat itu untuk menatap masa depan yang lebih baik yang sedang didatangkan Tuhan kepada umatNya. Allah merancang damai sejahtera, bukan kecelakaan bagi umatNya.

Seperti dalam kehidupan Yusuf dan Paulus, Tuhan pun mempunyai rancangan yang indah bagi kehidupan kita. Hanya saja, saat ini Allah sedang memproses setiap rancanganNya itu melalui berbagai peristiwa yang tampaknya tidak bersahabat, pahit, pilu, dan kurang menyenangkan. Tetapi mari kita bersabar, dan berserah diri kepada Tuhan, yang terus menerus peduli dengan kita. Kita tidak pernah tahu apa yang sedang dirancangkan Tuhan bagi kita, tetapi yang pasti rancanganNya itu indah, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan.

Hidup ini memang tidak pernah lepas dari duka nestapa, tapi sama sekali bukan tanpa pengharapan. Hidup ini memang tidak bebas dari pergulatan dan pergumulan, tapi bukan tanpa kemengan itu. Itulah rancangan Tuhan yang terindah bagi kita. Amin.

Renungan Pengucapan Syukur

” MENGUCAP SYUKUR DALAM SEGALA HAL....”

Bacaan Alkitab 1 Tesalonika 5 : 18

SEWAKTU saya masih melayani di Jemaat GMIT Horeb Perumnas, usai kebaktian minggu pagi, biasanya dilanjutkan kegiatan PAR. Saya lalu teringat seorang anak kecil ketika disuruh oleh guru Sekolah minggunya untuk menjelaskan tentang pekerjaan Tuhan. Anak kecil itu kemudian menulis diatas secarik kertas : ”Pekerjaan Tuhan yang penting adalah mendengar doaku”. Anda tentu paham dengan jawaban anak kecil itu. Dan mudah-mudahan Anda juga setuju dengan saya, karena saya mau mengatakan bahwa tulisan anak itu mencoba mengingatkan kita, bahwa terkadang kita sebagai manusia baru mengucap syukur kalo semua yang kita lakukan berhasil : sekolah kita lancar, pekerjaan kita bertambah baik, usaha kita semakin maju, kesehatan prima, atau seperti iklan rokok LA ditelevisi, ’enjoy aja’. Namun, kita lupa ada sesuatu yang yang luar biasa dikaruniakan Tuhan kepada kita yakni nafas hidup, malah keselamatan yang kita peroleh didalam Kristus melalui kematianNya di kayu salib.

Kata orang, kita memang mudah, tapi mungkin juga sulit mengucapkan terima kasih kepada Tuhan. Mudah, karena memang kita semua dapat mengucapkannya, kapan saja dan dimana saja, tapi barangkali bisa menjadi sulit, karena ternyata seringkali kita tidak pernah mengucapkannya. Mengucap syukur kepada Tuhan, bukan untuk hal-hal tertentu saja. Mengucap syukur kepada Tuhan dalam segala hal tidak memperhitungkan seberapa buruknya kondisi yang sedang kita hadapi; mungkin saat ini kita sedang terbaring sakit, atau usaha dan pekerjaan kita belum juga berhasil meski perjuangan berat selama ini ditempuh, atau mungkin belum mendapat jabatan yang diinginkan padahal sudah menunjukkan kinerja yangn baik; tidak boleh menjadi penghalang untuk mengucap syukur.

Pernah seorang anggota jemaat mengatakan: ”saya berusaha untuk mengucap syukur kepada Tuhan, tetapi sangat sukar bagi saya untuk percaya bahwa Tuhan ikut campur tangan dalam segala hal yang terjadi dalam hidup saya selama ini. Saya bukannya menyangkali berkat Tuhan, tapi seiring dengan itu rasanya persoalan bertubi-tubi datang dalam hidup ini”. Ia pun tertegun, ketika saya menjawab : ”Hidup ini sebenarnya indah! Tapi begitu sering orang tak lagi sanggup menikmati keindahannya, karena ia selalu melihatnya dari sudut pandang yang lain. Dan juga lupa, sudut pandang selalu membuat perbedaan yang amat besar dalam hidup seseorang”.

Orang beriman selalu memiliki sudut pandang yang berbeda dari sudut pandang yang kita miliki, yang bisa saja keliru atau salah. Iman yang benar justru nampak dalam hidup ini ketika kita mesti selalu bersyukur , walau masih berhadapan dengan hidup yang jauh dari kemudahan. Artinya kita bersyukur kepada Tuhan, bukan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan, atau apa yang kita harapkan akan terjadi dalam hidup ini, melainkan kita mengucap syukur kepadaNya untuk apa adanya dan untuk tempat dimana dan bagaimana keadaan kita saat ini. Bukankah Allah tetap setia dan tak pernah ingkar janji merancangkan sesuatu yang baik dalam hidup ini.

Kita dapat saja melihat keadaan-keadaan di sekitar dan atau didalam hidup ini dari sudut pandang kita sendiri, lalu kita mengatakan, semakin banyak kita berdoa kepada Tuhan, semakin banyak pula kesulitan yang kita alami. Tapi jangan lupa, titik perubahan itu tidak akan datang, kecuali kita mulai dengan mengucap syukur kepada Tuhan untuk situasi kita apa adanya, ketimbang berdoa kepadaNya untuk menyingkirkan keadaan-keadaan itu dari hidup kita.

Bagi Paulus, kehidupan komunitas Kristen di Tesalonika dihidupi dalam suasana yang terus menerus mengucap syukur kepada Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu. Sebelumnya, Paulus mencantumkan dua hal penting yang tak terpisahkan dari nasehatnya ini sebagai karakteristik orang percaya, yakni ”Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa..........” Apa yang Paulus katakan ini sebenarnya menuntut komitmen kita untuk tetap mengucap syukur kepada Tuhan.

Mumpung masih hidup, kita perlu melatih diri untuk belajar mengucap syukur, baik itu atas berkatNya maupun pencobaan yang Tuhan izinkan kita alami. Sebab mengucap syukur dalam segala hal merupakan bukti bahwa kita mempercayai Tuhan sebagai penolong dan pemelihara hidup kita. Kalau kita sudah terbiasa mengucap syukur, dalam arti mendisiplinkan diri untuk merefleksikan segala perkara apapun dalam hidup ini dalam bingkai pemelihara Tuhan, maka di saat-saat sulit pun, rasa seperti happy terus, beban terasa ringan dipikul, sinar bintang tampak lebih kemilau, terik mentari terasa selalu bersahabat sampai tidak menggerutu, udara menjadi lebih sejuk dan nyaman, dan akhirnya hidup ini semakin bermakna untuk meraih kecerahan masa depan yang didatangkan Tuhan bagi kita.

Dengan mengucap syukur dalam segala hal, percayalah bahwa Tuhan akan mengerjakan perkara-perkara besar yang telah disiapkanNya dalam hidup kita. Mengapa?

Sebab Tuhan tidak pernah berhutang kepada anak-anakNya. Itu sebabnya setiap orang yang mengucap syukur selalu diberkatiNya. ”Hitunglah berkatNya, dan bukan masalahmu, niscaya engkau kagum oleh kasihNya”. Ingat! Orang yang menyisihkan waktu bersama Tuhan setiap hari, selalu berada sehari di depan yang lain. Amin.

Renungan Penghiburan/Pemakaman

”TUHAN SENDIRI AKAN BERJALAN DI DEPANMU....”

Bacaan Alkitab Ulangan 31 : 7-8

Alkitab memberi banyak contoh untuk menunujukkan bahwa Allah dengan caranya sendiri menetapkan orang yang lebih dewasa imannya mengajar dan membantu yang lebih muda. Kita belajar dari pengalaman Naomi dan Rut; Elia dan Elisa; Paulus dan Timotius; dan disini Musa yang berpengalaman menasehati dan menguatkan hati Yosua yang masih muda, agar bergantung penuh kepada pertolongan Allah yang tak habis-habisnya.

Memang, sepanjang perjalanan di gurun, orang Israel sering bersungut-sungut, kendati banyak mujizat yang telah dilakukan Allah kepada mereka. Melalui pemberontakan, kecaman, dan ketidakpercayaan orang Israel, Musa belajar mengenal dan meresapi kenyataan ajaib janji Ilahi, ”Aku sendiri hendak membimbing engkau dan memberikan ketentraman kepadamu” (kel. 33:14). Berdasarkan penglaman iman itulah, Musa menulis salah satu mazmur yang membuatnya tak gentar mengahadapi bermacam-macam tantangan dalam hidup dan tugasnya, ”Tuhan. Engkaulah tempat perteduhan kami turun temurun” (Maz. 90:1 dst). Bagi Musa, Tuhan tetap menjadi tempat perlindungan yang kekal, yang tetap setia mempedulikannya didalam waktu, tapi juga Ia berada di luar dan mengatasi segala waktu yang dijalani manusia.

Sebab itu, Yosua, yang kepadanya Musa menyerahkan pimpinan atas bangsanya, dinasehati supaya berharap dan mengandalkan kehadiran dan janji Tuhan yang pasti itu. Di depan seluruh orang Israel, ia meyakinkan Yosua : ”Kuatkan dan teguhkanlah hatimu. Dia sendiri akan berjalan didepanmu. Dia akan menyertai dan tidak akan meninggalkan engkau; janganlah takut dan janganlah patah hati” (ay. 7-8).

Musa tidak mungkin lagi bergiat dalam tugas-tugasnya, selain usianya semakin senja, Tuhan juga telah mengatakan kepadanya, ”sungai Yordan ini tidak akan kau sebrangi”, karena itu, Ia memilih Yosua, sebuah pilihan yang telah dipersiapkanNya selama itu untuk membawa orang Israel menyebranginya dan menduduki tanah Kanaan yang dijanjikanNya dengan sumpah kepada leluhurnya, sampai mereka memilikinya. Bahkan, sesudah Musa, hamba Tuhan itu mati, Tuhan masih mengingatkan janjiNya itu kepada Yosua, sebagaimana Ia telah katakan lebih dahulu kepada Musa, hambaNya itu; ”seperti Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai engkau dan tidak akan meninggalkan engkau” (Yos. 1:5).

Saat ini kita sedang menghadapi suasana duka bersama keluarga di sini. Tak bisa dipungkiri, kalau kedukaan ini telah membawa perubahan suasana kesukacitaan bersama kekasih kita semasa hidupnya menjadi dukacita pedih tak tertahankan. Untuk hari-hari ke depan dalam hidup bersama keluarga duka, adalah sangat mustahil bila kepedihan, kegalauan, dan kesepian hidup ini akan berlalu secepatnya. Malah, tanpa kita tahu, dan juga tanpa persetujuan kita manusia, setiap saat Tuhan dapat mengambil kembali hidup ini sebai titipan dan milikNya.

Seperti halnya Musa, ketika ia meyakinkan Yosua tentang janji Tuhan yang selalu tepat dan pasti dalam hidupnya, kita juga mempunyai bagian dalam janji-janjiNya yang gemilang itu. Kita percaya kepada penyertaanNya, karena Dia sendiri akan berjalan di depanmu; kita percaya kepada perlindunganNya; karena Dia sendiri akan menyertai engkau; kita percaya kepada kehadiranNya, karena Dia sendiri akan membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Di dalam Dia, kita memiliki damai sejahtera yang melampaui segala pengertian itu.

Pernahkah kita berpikir bahwa Tuhan tidak pernah mengecewakan setiap orang yang bersandar dan memohon tiada henti-henti kepadaNya? Kalau kita mau jujur, kitalah yang selalu mengecewakan Tuhan melalui pikiran dan keinginan kita sendiri. Kita tidak berjalan sendiri, itu sudah pasti, karena penyertaanNya, kecuali kita sendiri yang ingin mengatur hidup ini untuk berjalan sendiri tanpa Dia. Karena itu, mengahadapi kedukaan ini, tersedia bagi kita Roh ketidaktakutan dan kesetiaan kepadaNya. Untuk tantangan-tantangan baru dalam hidup ini selalu ada keberanian yang diperbarui. Dan untuk masa depan yang tak diketahui sebelumnya, ada kekuatan yang kekal yang tak mengecewakan.

Janganlah gelisah dan menjadikan hidup ini galau tak berakhir, tapi teguhkan iman kita dengan janji-janjiNya, kita akan mendapati semuanya itu benar dan pasti. Dan bagi kita orang percaya, janjiNya itu telah diberlakukan dengan kedatangan sang Penebus, Yesus Kristus, yang di saat akhir sebelum naik ke sorga, Ia mengukuhkan kembali janji itu : ”Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir jaman”. Amin.

Renungan Syukur Pemakaman

”TUHAN BEGITU AKRAB DENGANKU”

Bacaan Alkitab Mazmur 23 : 1 – 6

KAKUTAN bisa merupakan kekuatan yang dapat merusak dan menghancurkan pengalaman hidup manusia. ”Jangan Takut”, demikian seringkali Alkitab menegur dan menghibur kita. Sebenarnya, kita dapat bebas dari rasa takut dan gentar ; dari kegugupan dan kengerian ; atau dari ketidaktenangan dan kegemetaran, dengan jalan membaca dan mempercayai apa yang telah Allah janjikan bagi kita. Pemasmur sendiri bersaksi : ”Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku” (34:5). Daud percaya, bahwa dilepaskan dari segala kegentaran hidupnya, bukan upaya manusia semata, melainkan dari Tuhan. Betapa melegakan, membesarkan hati dan menguatkan ! Jadi, bebas dari keragaman ketakutan tidak terdapat dalam diri kita sendiri, atau dalam keadaan-keadaan yang menguntungkan, melainkan didalam Dia dan firmanNya kepada kita.

Mazmur 23, dengan karya lirik yang sederhana ini, ternyata mendapat perhatian dan daya tarik yang cukup unik, karena Ia mampu mengikat nurani setiap orang dari segala macam status dan kondisi apapun. Mazmur ini sebenarnya jauh lebih kaya dari sekedar melukiskan Tuhan sebagai gembala. Ada realisme tersendiri dalam puisi ini, karena Ia melukiskan dan meluapkan hari-hari cerah yang menyegarkan jiwa ; Ia menghadapi segala macam ancaman kegelapan dan musuh yang menanti tanpa takut dan gentar ; sekaligus ungkapan kejujuran yang tulus dan rasa syukur tak terkatakan untuk hidup dalam relasi dengan Tuhan sepanjang masa. Inilah komitmen hidup pemazmur, tampa meninggalkan keraguan dan kegentaran sedikitpun, walau harus menempuh lembah kekelaman, atau tentang siapa sebenarnya pengatur dan pemilik hidup ini.

Saya teringat komentar seorang teolog tentang mazmur ini. Bukan kata Tuhan, yang didalam Alkitab terbitan LAI, dicetak dengan huruf-huruf besar, tetapi ungkapan ”kemesraan” yang tetap menghibur, saat hati gundah gulana, dan tak putus-putusnya menguatkan, ketika takut dan kegetiran kedang mencengkram hidup ini: ”TUHAN adalah gembalaku, takan kekurangan aku”. Disini, Tuhan disebut sebagai gembala, tapi bukan sekedar Ia adalah gembala, melainkan ”TUHAN adalah gembalaku,..........” Artinya, Tuhan yang diimani pemazmur sebagai ’gembalaku’, bukan saja Tuhan yang agung dan kudus, yang berada jauh dari manusia, tetapi sekarang menjadi dekat, Ia menjadi begitu akrab dengan setiap orang. Meminjam pikiran teolog tersebut, ”Tuhan menjadi sesuatu yang amat pribadi” – A personal God. Mari kita simak lebih jauh ! belajar dari pengalaman-pengalaman hidup Daud, bagaimana Tuhan bisa begitu dekat dan akrab dengannya ? Pertanyaan ini bukan saja pertanyaan Daud, tetapi juga pertanyaan kita semua secara personal. Rasanya, mustahil terjawab oleh Daud dari pengalaman hidupnya waktu itu, tak terkecuali kita pun bisa mengalami hal yang sama. Ia adalah sebuah misteri. Tidak dapat dicerna oleh akal kita, tapi dirasakan ; tidak dapat dijelaskan dengan cara apapun, tapi dialaminya. Dan inilah kenyataan yang tak dapat kita mengerti, tapi kita sungguh-sungguh merasakan dan mengalaminya, bahwa ”Tuhan adalah gembalaku, takan kekurangan aku.......” atau ”Tuhan adalah gembalaku, takkan takut bahaya, walau berjalan dalam lembah kekelaman ......” Bisa diteruskan kalimatnya, sesuai pengalaman-pengalaman hidup kita bersama Dia.

Sebuah misal, kisah nyata pelarian Daud dari kejaran Absalom (2 sam. 17:24 dst). Tampa diketahui Daud sebelumnya, karena niat busuk Absalom itu, dengan tergesa-gesa ia dan rombongannya melarikan diri ke Mahanaim. Tak sedikitpun bekal yang dibawah, kecuali keselamatan hidup bersama rombongannya dari ancaman Absalom. Ternyata Tuhan mendatangkan 3 orang ke tempat pelarian itu (ay. 27) dengan membawa perbekalan kebutuhan hidupnya sehingga mereka tidak berkekurangan. Bayangkan saja, semua kebutuhan terpenuhi untuk beberapa waktu lamanya, tampa di duga sebelumnya. Apakah Daud mengenal mereka itu ? Pasti Tidak ! Tapi entah dari mana, dan entah karena alasan apa, mereka muncul dan membawa semua itu untuk Daud. Lalu, bagaimana bisa begitu ? Daud tidak tahu. Tapi ia mengalaminya, ”Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku”. Daud begitu yakin, hanya Tuhan yang dapat membebaskannya dari segala macam himpitan dan beban. Bukan sekedar himpitan batin, tetapi juga segala bahaya ancaman phisik dari musuh-musuhnya yang membencinya. Pengalaman Daud menggambarkan keakrabannya yang mesra dengan Tuhan. Ini bukan sekedar goresan puisi yang abstrak, tetapi pengalaman konkret dari seorang yang menumpahkan seluruh kepercayaanya kepada Tuhan.

Dalam hidup ini, kita bisa mengalami hal-hal yang menganalisahkan dan mendukacitakan hati kita. Tangis dan pilu karena kepergian orang yang kita kasihi adalah sebuah realita yang sulit di hindari dan dipahami, tetapi pengalaman-pengalaman iman seperti itu pada akhirnya memaknai hidup ini sepanjang kita menyadari dan mengakui bahwa Tuhan selalu akrab dan setia pada janjiNya. TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku! Inilah kekuatan yang tak berkesudahan bagi mereka yang selalu mengalami keakraban dari Tuhan. Hanya melaui ujian serigan bahkan seberat apapun, kita dapat belajar dan percaya bahwa janji Tuhan itu benar dan pasti. Memang tak mudah, karena menerima keputusan Tuhan dengan sikap percaya kepadaNya, adalah salah satu disiplin hidup beriman yang paling sukar. Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

”BELAJAR DARI BINATANG TERKECIL”

Bacaan Alkitab Amsal 30 : 24 – 28

MASYARAKAT kita terus melaju memasuki era informasi dan komunikasi, yang ditandai dengan penemuan dan pemanfaatan besar-besaran komputer serta satelit komunikasi. Proses ini tentu berdampak bagi manusia kerena melahirkan perubahan pola pikir, nilai-nilai moral dan gaya hidup dalam masyarakat kita.

Kita menjadi semakin materialistik, dimana nilai kesuksesan dan penghargaan terhadap seseorang hanya dilihat dari penampilan dan kekayaan yang dimilikinya. Kata orang, hidup diukur dengan ”sudah punya” atau ” belum punya ”. Kita disegani khalayak, kalau sudah punya gelar, punya hanphone model terbaru, punya rumah, punya mobil terlepas bagai mana dan dengan cara apa Ia mendapatkannya, tidak menjadi persoalan. Padahal, tolok- ukur yang digunakan Tuhan Yesus, bukan mempunyai tapi memberi. Artinya bukan hidup ini, bukan bagaimana mendapat faedah dari hidup kita. Hidup menjadi sekedar living ketimbang life, kata Andar Ismail.

Perubahan lainnya, cara hidup kita yang individualistik. Perhatian dan kerja keras dengan cara apa saja berorientasi pada diri sendiri atau orang-orang di seputar kita yang dapat menguntungkan kita. Rasa gotong royong, solidaritas, kesediaan untuk hadir dan mendengar keluhan orang lain, dianggap suatu kerugian dan kebodohan. Kita terus dipacu untuk maju dan bersaing, sikut sana tendang sini agar tetap survive, sebab bila tidak kita akan dimakan oleh mereka yang lebih besar, orientasi kita kepada hal-hal besar bergaya hidup seperti orang besar dan terkesan alergi bergaul dengan mereka yang tak punya.

Bacaan Alkitab kali ini mengajak kita untuk belajar dari binatang terkecil di bumi, tetapi sangat pintar dan cerdik. Semut, pelanduk, belalang dan cicak; empat ekor binatang kecil, lemah dan sederhana, namun kita dapat melihat kebesaran Allah didalam kekecilan mereka; kita akan menemukan yang luar biasa di dalam yang biasa dan kita akan mendapatkan yang istimewa didalam kesederhanaan mereka.

Semut hidup dalam masyarakat yang terorganisir dengan amat baik. Hidupnya berkelompok dan amat sosial. Mereka mengumpulkan makanan selama musim panas dan menyimpannya di serambi-serambi bawah tanah. Allah memberikan kelebihan kepada mereka, mulai dari cara mengorganisir diri sedemikian rapi, spesialisasi dalam pekerjaan mereka sampai cara berkomunikasi dan memberikan informasi. Tidak seperti manusia yang egois dan individualistik. Salomo juga mengkritik orang malas, supaya pergi belajar kepada semut. Semut saja rajin, kenapa manusia mesti malas.

Pelanduk, binatang kecil dan lemah kerena tidak memiliki tanduk, taring dan cakar, namun Tuhan memberikan kecerdikan yang istimewa pada saat ia menghadapi bahaya-ia bisa berlari zig-zag kedalam rumahnya dibukit-bukit batu, menyelusup masuk melalui celah-celah yang sempit sehingga binatang-binatang besar tidak dapat mengejarnya. Sebagai orang Kristen banyak bahaya disekitar kita, tapi Dialah batu karang pelindung kita. Seperti kata pemazmur ”Tuhan di pihakku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku ? Lebih baik berlindung pada Tuhan dari pada percaya kepada manusia” (Maz. 118:6,8). Sikap hidup yang realistik dan serius dengan imannya kepada Tuhan. Itulah kecerdikan orang Kristen.

Belalang merupakan hama yang paling di takuti para petani karena dapat menghancurkan berhektar-hektar pertanian dan bisa menyebabkan kelaparan mendadak. Belalang juga termasuk salah satu diantara sepuluh kutukan Allah kepada Firaun. Pendengarannya amat sederhana bila di bandingkan telinga manusia, karena terletak pada rongga tungkai depan, tapi jangkauan dan daya pembedaannya amat luar biasa. Dengan menggerakan tangkai depan ke berbagai arah dia dapat menentukan asal suara, belum lagi atau antena atau sungut yang dapat memberi tahu tentang rasa, bunyi, selera, bau, suhu dan kelembapan, udara di sekitarnya. Belalang memiliki kepekaan dan sangat kompak walaupun tidak mempunyai pemimpin, tapi begitu ia tahu temannya terbang maka semua mengikutinya. Kita juga dapat belajar dari kepekaan dan kekompakannya. Kita sering punya pemimpin atau tambah pemimpin malah tambah berantakan. Mengapa ? Sebaiknya kita menjawab sendiri dengan mempelajari karakteristik dari belalang itu.

Terakhir cicak dapat kita jumpai di mana-mana di rumah gubuk maupun di istana raja. Cicak dapat hidup dengan tenang dimana saja karena kehadirannya menjadi berkat, baik dalam hidup maupun matinya. Selagi hidup ia memakan serangga kecil dan remah-remah makanan, bahkan dagingnya bisa digunakan obat kulit dengan cara digoreng atau dikapsul. Saat bahaya, ia rela mengorbankan ekornya demi keselamatan jiwanya. Kita juga mesti pandai menyesuaikan diri dimana pun kita berada, berani berkorban dan menjadi berkat bagi oang lain.

Muda-mudahan kita bisa terpesona, menggeleng-geleng kepala dan tertunduk malu, karena menyadari keagungan karya Allah, bahwa ternyata yang besar itu bukan hanya ada pada mereka yang besar dan istimewa, tetapi Allah juga melengkapi semua ciptaanNya dengan masing-masing keistimewaannya. Didalam kekecilannya makin nampak keindahannya-small ia beautiful. Ingat lho, kadang Allah dengan sengaja mengingatkan kita menampilkan kelebihan dari mereka yang kecil, lemah, tak sempurna, dan cacat, yag sering kita abaikan atau menjadi obyek tertawaan. Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

“MENYIKAPI TRADISI”

Bacaan Alkitab Yohanes 2 : 9 – 11

ADA orang yang amat mencintai tradisi. Bagi mereka, yang benar adalah yang biasa atau sesuai dengan kelaziman. Mereka ini suka ketentraman dan kemapaman. Kalau ada yang mau keluar dari tradisi itu, pasti dicap sebagai pembuat onar di lingkungannya. Bayangkan, biasanya pendeta naik mimbar pakai toga, lalu suatu ketika tampil berjas, pasti timbul perasaan kuang enak dari jemaat. Merayakan Natal tampa pohon terang, sepertinya kurang mantep. Penatua memimpin syukuran apalagi undangan sekampung, rasanya belum pas kalau bukan pendeta yang memimpin. Syukur anak sidi tampa makan walau menunya tiga macam, rasanya kurang afdol. Sikap terhadap tradisi ini, tidak sedikit mengandung kebaikan, tapi meskipun begitu kurang pula mengandung kelemahan. Akibatnya, kehidupan menjadi statis, atau kalau ada perubahan yang mau dibuat, maka itu harus terjadi dalam rangka kebiasaan yang sudah ada. Mereka ini lebih menghargai bentuk ketimbang isi. Artinya, apapun isinya asalkan bentuknya cocok dan sesuai dengan kebiasaan.

Tapi ada juga mereka yang tidak mau terikat kepada tradisi. Mereka suka hal-hal yang baru dengan mendobrak kebiasaan. Kalau orang biasa berdoa menutup mata, mengapa tidak sekali-sekali membuka mata ? ini toh tidak menentukan sah tidaknya sebuah doa. Kalau biasanya perempuan pakai anting-anting di telinga atau pusar, memangnya salah kalau pria juga pakai anting-anting pada cuping telinga dan lubang hidungnya ? Ini juga tidak akan mengurangi kepribadiannya. Kalau biasanya pria panjat pohon, apakah salah kalau wanita ingin menaiki pohon ? Tantu tidak akan mengurangi kewanitaannya kan? Mereka ini amat kreatip dan inovatip. Yang penting isi, bukan bentuknya; hakikat, bukan bungkusnya. Namun, perlu waspada, karena sikap hidup ini juga mengundang banyak kesulitan. Hidup menjadi tampa pegangan. Sebab ketika orang mengatakan bahwa hanya isi yang penting, sedangkan bantuk harus disingkirkan, ia lupa bahwa isi itu tidak mungkin tampa bentuk-tapi bentuk itu harus selalu baru. Sungguh membingungkan !

Tuhan Yesus juga menghormati tradisi, seperti dalam perjamuan kawin di negeri kana. Ini mujizatNya yang pertama Yesus dan murid-muridNya diundang juga keperkawinan itu. Mereka kehabisan anggur-dan ini memalukan bagi tuan pesta bila gagal menyediakan anggur bagi tetamunya. Tapi ketika air anggur sebagai minuman tradisional dalam pesta itu habis, Yesus tidak berkata: ”Air anggur itu tidak perlu, yang penting pesta nikah berjalan. Tampa air anggur pun, mereka manikah juga, itu yang paling penting” tidak begitu kan? Malah dengan kuasaNya, ia meyediakan anggur yang baik, supaya kebiasaan yang baik itu dapat terus berlansung. Tidak hanya sikapNya, Ia malah mengisi kebiasaan itu dengan sesuatu yang lebih baik. Ia ingin mengubah kebiasaan. Perhatikan baik-baik, apa kata pemimpin pesta itu kepada mempelai laki-laki, setelah ia mengecap air yang sudah berisi anggur itu : ”Setiap orang menghidangkan anggur yang baik dahulu dan sesudah orang puas minum, barulah yang kurang baik.........” (ayat 9-10). Ini bertentangan dengan adat-istiadat – tidak sesuai dengan kelaziman. Yesus mengubah tradisi bukan hanya bentuknya, melainkan juga isinya. Karena itu setelah air anggur yang biasa, Yesus menyediakan air anggur yang terbaik, yang paling manis: darahNya sendiri! Itulah yang Yesus sediakan, agar siapa yang meminumnya ia tak akan haus untuk selama-lamanya.

Saya mengutip komentar menarik seorang teolog muda. Gereja yang terlampau mencintai tradisi, adalah gereja yang hidup tenang an tentram., tapi sekaligus adalah gereja yang statis dan tak mau berkembang. Ketika khotbah disampaikan, tampa ditaati. Ketika doa dinaikan, tampa keluar dari hati. Ketika pujian diperdengarkan, dengan lesu tidak dihayati. Ketika orang-orang Kristen hanya menjadi nomor urut dalam buku register jemaat, tidak lagi saksi Kristus dalam hidup sehari-hari. Sebaliknya, gereja yang mencintai hal-hal baru, karena ingin mengabaikan atau merombak tradisi, adalah gereja yang selalu sadar akan panggilannya, suka menarik perhatian karena barang-barang baru senantiasa disajikan, tapi sekaligus ia akan merupakan gereja yang terlalu goyah karena ketiadaan pegangan. Gereja yang sering kacau karena ketiadaan peraturan.

Bahaya terbesar ialah kalau ia terjatuh kesalah satu ekstrim. Kalau ia amat suka pada tradisi, seolah-olah itulah kebenaran yang hakiki. Atau, kalau orang hanya meremehkan tradisi, karena itu tak penting sama sekali. Kalau orang hanya menghargai bentuk, dan bukan isi, apa jadinya? Tapi, Yesus menyediakan air anggur. Ini sesuai dengan tradisi. Ia tidak hanya mengubah bentuk atau isi. Ia mengubah kedua-duanya, Amin.

Renungan Penghiburan

”TENANGLAH! AKU INI, JANGAN TAKUT”

Bacaan Alkitab: Markus 6 : 45-52

SETIAP orang dihadapkan pada teka-teki yang amat sulit tentang hari depannya. Mudah-mudahan anda setuju, kalau saya mengatakan bahwa tak seorang pun yang tahu akan hari esok, sebab banyak kemungkinan bisa terjadi di luar dugaan kita. Itu sebabnya, kita semua tidak ingin mengalami hal-hal yang buruk terjadi diatas kita, termasuk kematian-betapa pun tak terhindar. Misteri yang tidak dapat dipelajari manusia ini menyebabkan munculnya gagasan yang aneh-aneh, apalagi dikritisi dari perspektif Kristen rasanya sulit di terima.Ada yang ingin tahu tentang hari depanya dengan melihat garis-garis di telapak tangannya, Ada pula yang mempelajari horoskop-pengamatan posisi bintang-pada waktu tertentu, seperti pada hari lahir seseorang dengan tujuan meramalkan masa depanya. Kita ingat dalam Masyarakat Jawa, orang membuka primbon – kitab yang berisikan ramalan perhitungan hari baik atau hari naas, lalu menghubungkan hari dan bulan kelahirannya dengan hari depanya.

Dalam kenyataan tak seorang pun dari kita yang mengetahui rasa ini. Apa yang di sebut sebagai misteri tak terpecahkan sepanjang zaman ini memang sengaja di rahasiakan Tuhan., agar Manusia dapat hidup bersandar sepenuhnya kepada Dia. Bayangkan sekiranya setiap orang tahu apa yang terjadi di depanya, tantu tak akan ada kegagalan yang menimpa dirinya. Pedagang yang tahu bahwa usahanya akan rugi, tentunya tidak akan nekat melakukan pekerjaannya. Pilot yang tahu bahwa akan terjadi kecelakaan, sudah tentu ia tidak akan mau menerbangkan pesawatnya. Seseorang yang ingin ikut perlombaan- bila ia tahu akan kalah, barangkali sejak awal mengundurkan diri. Apalagi kalau ada yang tahu, bahwa dirinya besok mati, sudah tentu reaksinya bermacam – macam. Dapat di pastikan kalau rahasia hidup ini tidak di pegang oleh Tuhan., Manusia menjadi takabur dan tidak lagi membutuhkan Tuhan.

Sama seperti di alami juga oleh murid – murid Tuhan Yesus – tampa di duga sebelumnya, bahaya mengancam perahu mereka. Seandainya mereka tahu bahwa perahu mereka bakal di terpa angin sakal, pasti mereka menunda perintah Yesus untuk menyeberang. Itu sebabnya, mereka pergi juga keseberang danau, yaitu Bedsaida – semantara Yesus sendiri kebukit untuk berdoa. Sekitar jam tiga malam, fajar masih jauh, lengan terasa sakit dan hati penuh ketakutan karena perahu itu menghadapi badai laut. Para murid sedang di amuk badai yang mengerikan dengan angin sakal yang bertiup dari arah haluan perahu – berlawanan arah perahu, sehingga perahu itu tak dapat melaju.

Dalam situasi seperti itu Yesus menjumpai mereka. Ia melihat kesulitan yang mereka hadapi, walaupun sebenarnya bukan keadaan sulit itu yang menjadi alasan bagiNya untuk mendekati mereka. kehadiranNya pun sangat luar dugaan. Murid-murid menyaksikan kehadiran Allah yang sangat unik itu. Yesus melangkah diatas permukaan air, bahkan melewati mereka. menurut beberapa ahli, kata kerja ’melewati’ adalah suatu istilah teknis yang khusus digunakan untuk menunjukan epifani (penampakan Allah) sebagai sosok ilahi, sama halnya Allah ’melewati’ Musa dan Elia. Ia tampil sebagai anak manusia dalam wujud ilahi – sesuatu penerobosan kedalam rahasia ke-ada-an Allah. Tetapi bagi murid-murid sendiri sangat mengherankan, karena menyaksikan Tuhannya dalam bentuk keilahianNya, sehingga menyangka telah melihat sosok hantu. Lalu terdengarlah perkataanNya menembusi kegelapan, ketakutan dan kengerian itu: ”Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” Ia menenangkan mereka dan mendekat. Dengan demikian ditanangkanlah hati mereka, juga laut yang bergelora itu.

Para murid itu taat mematuhi perintah Tuhan yang mengutus mereka keperjalanan ini. Kita pun, termasuk keluarga disini, mungkin berada dipusat kehendak Tuhan, namun tertanda badai duka diperjalanan ini. Badai duka itu bukanlah bukti akan ketidaktaatan kita, atau kerena Tuhan telah meninggalkan kita. Sebaliknya, musibah apapun yang datang sering diizinkan Tuhan untuk menguji kemurnian iman kita, tetapi juga menunjukan kesetiaanNya yang tak pernah pudar. Sekejab saja semua ketakutan mereka sirna. Mengapa? Karena suaraNya ditengah kegelapan itu, sehingga sekalipun badai sakal itu belum mereda, namun badai dalam hati mereka telah reda. Tuhan hadir diantara mereka. Artinya, ketika Tuhan Yesus naik ke atas perahu murid-murid, angin berhenti dan badai pun hilang.

Renungkanlah perkataan Tuhan Yesus ini ”Tenanglah! Aku ini, jangan takut!”. ini yang senantiasa difirmankan oleh Tuhan kepada kita, apalagi disaat badai duka menerpa hidup kita ini. Tidak akan ada badai duka yang dapat menggelisahkan dan menakutkan kita, kecuali diperbolehkan oleh tanganNya. Kita memang tidak dapat melihat dia, namun kita percaya bahwa ia tidak pernah meninggalkan atau membiarkan kita. Tuhan memilihara umatNya dalam damai sejahtera yang sempurna ditengah kegentingan apapun yang menimpa hidup ini.

Pernah saya membaca sebuah syair lagu berbunyi: ”Karena aku tahu apapun yang menimpaku, Yesus melakukan segalanya dengan baik”. Betapa indahnya syair lagu ini, bukan karena keluar dari orang yang hidupnya penuh kemudahan, bebas dari kepedihan, dan menikmati kenyamanan, tetapi belajar dari berbagai pengelaman hidup, bahwa bagaimanapun keadaan dan pergumulan hidup, ini Tuhan melakukan segalanya dengan baik. Mengenai Allah dan menikmati kebaikannya, membuat kita terhindar dari semata-mata memandang keadaan di luar diri kita dan dengan keliru menganggap bahwa Allah tidak mengendalikan situasi, atau tidak peduli dengan kita. Perbedaan cara pandang ini timbul dari pengenalan yang benar akan Allah. Dengan demikian kita dapat mempercai Dia sepenuhnya, kapan pun dan dalam situasi apapun, Amin,(gr).

Renungan Syukur Pemakaman

”BERSUKURLAH DALAM KEGELISAHAN”

Bacaan Allkitab: Mazmur 42:1-6

SEIRING berjalannya waktu, saya menyadari bahwa salah satu hal penting yang dapat di lakukan oleh orang beriman ketika di rundung kegelisahan karena kedudukan atau kehilangan orang yang sangat kita kasihi adalah membuka halaman dengan Alkitab. Di situ, di tengah-tengah sebuah kitab kidung kuno yang di sebut Mazmur, kita menemukan keragaman pengelaman hidup pemazmur yang bermuara pada refleksi Imannya. Memang kita perlu jujur terhadap diri sendiri-dan ini dialami oleh siapa saja, bahwa tidak mustahil orang percaya bisa di landa kegelisahan dalam bentuk dan intensitas yang berbeda-beda. Soalnya, apakah kita sungguh-sungguh berjalan dengan Tuhan dalam iman atau hanya dengan pengelihatan semata. Apakah kita di gerakan oleh keteguhan hati atau kegelisahan hati yang merunyamkan. Apakah kita berjalan untuk memperoleh kemenangan besar yang di berikan Tuhan atau kita kembali ke padang gurun dunia ini tampa harapan dan tujuan yang pasti.

Mazmur 42 merupakan refleksi atas kegelisahan pemazmur. Meskipun ia tidak mengungkapkan detail pengelaman hidupnya, namun ia menceritakan pikiran dan perasaanya yang tertekan dan menggelisahkan. Sekali lagi, kalau kita mau jujur – ini bukan sebuah kisah suka, tapi gundah, Bukan kisah riang, tapi melankolis.

Dalam konteks literernya yang paling sempit, Mazmur 42-1-6 ini harus di lihat sebagai bagian dari Mazmur 42 dan 43. kedua Mazmur ini sebenarnya merupakan satu kesatuan dan membentuk sebuah nyanyian. Kesatuan ini juga di tandai dengan adanya kesenambungan alur pemikiran gaya dan pembagiannya dalam bait- bait. Yang menarik adalah dari ketiga bait itu (42:1-6;42: 7-12; 43:1-5) di akiri dengan refrain yang sama (42:6; 42:12; dan 43:5). Dan sekedar mengingatkan kita, bahwa renungan kali ini hanya memakai bait pertama sebagai dasarnya, dengan ayat refrain sebagai nasnya.

Pemazmur mengukir perasaan rindunya kepada Allah dalam suatu gambaran indah memakau meski dengan nuansa sedih-pedih. keaadaan jiwanya merana mendambakan Allah yang hidup, diandaikan seekor rusa yang merindukan air dari sungai ketika kekeringan musim panas menyengat. Kerinduannya kepada Allah dalam rintihan hati yang gundah gulana semakin diperberat oleh sikap musuh-musunya yang sengaja mengejek ” Di mana Allahmu? ”.

Ini suatu ancaman nyata yang dapat melunturkan iman dan kerinduannya kepada Allah. Ia tidak malu untuk mengakui bahwa ia menangisi keadaannya sendiri. Ia menangis sepanjang siang dan malam, namun air matanya justru menyatakan kenyakinan imannya yang kuat kepada Allah. Ia menggambarkan dirinya berada diujung depan dari sebuah prosesi perayaan yang sedang naik mendaki menuju Bait Allah dengan suara sorak-sorai dan nyanyian syukur, karena dalam suasana itulah ia diyakinkan akan dekatnya Allah dengan dirinya dan akan kehadiran Allah yang menyegarkan jiwanya yang gundah-gunala.

Di tengah pergaulan hidup itulah, pemazmur sampai pada suatu titik penting, bahkan titik puncak-di mana dengan ekspresif ia melakukan percakapan dengan jiwanya sendiri. Ia meratapi jiwanya sendiri, ”Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah didalam diriku?” Namun serentak dengan itu pemazmur menyadari bahwa sikap tenggelam dalam kegundahan diri sendiri tidak akan membawa penyelesaian yang tepat, selain memperberat penderitaan batinnya. Ia tidak mau terjebak dalam langkah mundur, kecuali mengalahkan kegelisahan hatinya. Dan inilah perubahan yang luar biasa yang diungkapkan dengan lantang dan dalam teriakannya kepada jiwanya sendiri, ”Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur bagi kepadaNya, penolongku dan Allahku.

Pergulatan pemazmur ini dapat menjadi cermin tenang bagaimana seorang beriman merindukan Allah ditengah kegelisahan hatinya. Jujur terhadap diri sendiri di depan Allah, sampai bisa saja menyebabkan hati ini meragukan kedekatan Allah-mengapa tidak diungkapkan dalam jeritan doa dan kalau perlu dengan linangan air mata? Atau sekiranya, jika toh Allah masih kelihatannya jauh, teriakanlah itu! Namun, jangan terkurung terus dalam spiral kegundahan diri sendiri- sebab akan membawa keadaan kejiwaan yang semakin berat. ”Berharaplah kepada Allah, dan bersyukur lagi kepadaNya, meski hati ini masih gelisah pedih”, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

”SIKAP BARU TERHADAP SESAMA”

Bacaan Alkitab: Yakobus 2 : 1 – 13

SALAH satu ciri masyarakat primodial adalah tumbuh suburnya pandangan yang eksklusif dan diskriminatif. Mereka sangat gemar membesar-besarkan perbedaan berdasarkan warna kulit, agama, strata sosial, kaya-miskin, mayoritas-minoritas dan lain-lain. Biasanya ukuran kebenaran dalam komonitas masyarakat semacam ini sangat relatif tergantung selera. Kepentingan pribadi atau golongan sangat menentukan apakah sesuatu dikatakan benar atau salah. Yang menguntungkan kelompok itulah yang benar. masing-masing kelompok bisa membenarkan diri secara mutlak. Dampak lanjutannya, masyarakat semacam ini rentan konflik antar pribadi dan golongan. Apakah masyarakat kita termasuk yang primodial? Apakah prilaku diskriminatif juga terjadi dalam konteks bergereja?

Kita dapat menyaksikan berbagai peristiwa disekeliling kita, termasuk internal kehidupan kita. Banyak orang–dalam etnik, strata sosial, kondisi ekonomi dan agama tertentu – yang tidak memiliki ’rasa aman’, karena sadar atau tidak, eksistensinya tidak diakui, bahkan dilecehkan dan diintimidasi oleh pihak lain. Sebaliknya, ada golongan atau kelompok tertentu yang merasa sah-sah saja untuk melakukan pelecehan, penekanan dan ancaman kelompok lain. Lebih ekstrim lagi, diskriminasi dianggap sebagai ’panggilan iman’. Yang di pandang sebagai saudara dan sesama adalah mereka yang seiman. Petolongan sesama lebih banyak didasarkan pada sentimen agama, etnik dan golongan. Akibat lebih serius, banyak orang yang tidak merasakan nuansa ’rumah’ –tempat yang memberi aman di rumah sendiri atau di negeri sendiri.

Surat Yakobus lebih mengedepankan sikap dan perilaku orang kristen sehari-hari. Yakobus menentang segala bentuk kemunafikan, dan sangat menekankan iman yang harus mengejawantah dalam perilaku. Baginya, konsep-konsep itu mesti menjadi ’hukum’ yang dijadikan acuan untuk membentuk perilaku yang baru. Sebuah misal, jemaat diingatkan agar dalam hdup bersama tidak memandang bulu, karena bertentangan dengan iman Kristen. Si kaya diistimewakan dan si miskin tidak dihargai, hanya memperlihatkan prilaku naif. Padahal, ukuran yang dipakai untuk melihat dan menghargai seseorang adalah integritas pribadinya, dan bukan hal-hal yang bersifat lahiria.

Sikap diskriminatif itu, oleh Yakobus disejajarkan dengan sikap seorang hakim yang jahat. Penekanan analogi ini bukan pada boleh atau tidak menghakimi orang lain, melainkan ’hakim yang melecehkan hukum’, karena berprilaku tidak adil. Risiko ikutannya, siapa yang mendatangkan keuntungan dibenarkan dan siapa yang tidak mendatangkan keuntungan tidakp dibela. Kata orang, motto hidupnya bukan ’maju tak gentar membela yang benar’ melainkan ’maju tak gentar membela yang bayar’. Lalu, apakah dasar Yakobus melakukan penilaian itu? Menurut Yakobus, kriteria kaya dan miskin bagi Allah bukan didasarkan pada harta benda yang dimilikinya, tetapi pada integritas pribadi dan integritas iman kepada Tuhan. Tanpa bermaksud generalisasi, sebanarnya, Yakobus mengatakan bahwa biasanya orang miskin justru kaya dalam hal iman, hidup dengan iman dan mendasarkan tindakannya pada keyakinan imannya. Jika Allah menjadikan orang miskin sebagai ahli waris kerajaanNya, maka tidak ada dasar bagi jemaat untuk menghinakan mereka berarti menghinakan maksud Allah sendiri. Jadi tidak ada alasan untuk memberi hormat kepada orang kaya jika ia miskin harus didekati dari sudut pandang imannya kepada Allah. Dan tindakan iman yang benar adalah tindakan yang berdasarkan hukum iman yang benar, yaitu ’kasihanilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri’. Prinsip ’belas kasih’ sebagai terjemahan hukum kemerdekaan itu harus melandasi seluruh perilaku hidup kita. Mereka yang memahami dan memahami dan mengalami belas kasih Allah, tetapi tidak hidup dalam hukum belas kasih, justru akan diperhadapkan pada penghakiman yang tak berbelas kasihan. Mereka yang hidup dengan pola diskriminatif, dan menutup dirinya bagi orang lain, dengan sendirinya menutup rahmat Allah bagi dirinya sendiri. Sebaliknya, mereka yang hidup dengan prinsip belas kasih tak perlu takut dengan panghakiman, karena mereka akan menang atas penghakiman.

Jelas, bahwa efek pola hidup diskriminatif menghasilkan revalitas yang dapat menghancurkan semua pihak. Itu sebabnya prinsip belas kasih menjadi landasan keputusan dan prilaku setiap insan Kristen. Prinsip belas kasih seharusnya menjadi pendorong tumbuhnya perilaku inklusif dalam konteks berkeluarga, bergereja dan bermasyarakat, Amin.

Renungan Ibadah rumah Tangga

”HAL YANG PALING UTAMA”

Bacaan Alkitab: 1 Korentus 13 : 1 – 13

DUNIA saat ini sudah dikuasai oleh penyakit ’Wah’. Dalam kamus Bahasa Indonesia, ’Wah’ adalah kata seru untuk menyatakan kagum, heran, terkejut atau kecewa. Sebuah misal, ”Wah, bukan main pengunjung KPI di lapangan Polda NTT-Kupang. Kita dapat melihat lebih jauh penyakit ’Wah’ ini. Seseorang yang memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain akan dikagumi. Oarang-orang akan mengatakan, ”Wah, orang itu hebat ya!” Atau seseorang yangb mengetahui sesuatu yang tidak di ketahui orang lain juga akan dikagumi, ”Wah, dia itu hebat ya!” Karena itu, tidak heran kalau banyak orang ingin dijuluki sebagai orang yang ’Wah’. Orang seperti ini akan merasa dirinya hebat dan lebih utama dari orang lain. Sadar, atau tidak, penyakit ”Wah” ini merambat dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Orang ingin agar dibilang : ”Wah, mobilnya bagus sekali ya!” ”Wah, hendphonenya mahal ya!” ”Wah, kacamatanya tentu mahal!” Masih banyak lagi yang dapat dikatakan ’wah’ dalam hal harta milik. Pokoknya, kalau harta milik seseorang lebih hebat dari orang lain pada umumnya, dia adalah orang yang ’Wah’. Jadi, seseorang itu seringkali dikenal ’Wah’-nya dari harta miliknya.

Hal yang sama terjadi juga dalam kehidupan bergereja, ”Wah, gereja Anda, anggota jemaatnya kaya-kaya!” Atau yang sekarang ini sering terdengar, ”Wah, gereja yang sana itu anggota jemaatnya pejabat-pejabat ya!” ”Wah, pendeta digereja itu sering mendapat penglihatan!” ”Wah, banyak anggota jemaat digereja kami bisa berbahasa roh!” Masih banyak contoh dari penyakit ’Wah’ itu terjadi digereja. Kita bisa teruskan, sendiri. Akibat tragis dari penyakit ’Wah’ ini kemudian membuat orang saling berlomba secara tidak sehat agar dianggap yang paling hebat, alis paling Wah. Ada kecenderungan saling menonjolkan diri, saling pamer kehebatan. Lalu, muncul keangkuhan bagi orang yang merasa dirinya memiliki sesuatu yang lebih daripada orang lain. Ada kalanya juga, karena gerejanya selalu dikatakan ’wah’, dia mulai menjelekkan gereja lain. Mudah-mudahan Anda setuju, dalam hal tertentu, GMIT seringkali disebut sebagai gereja tanpa, ’Roh kudus’, karena umat menyanyi tidak bersemangat-suka ’tarik-tarik’, seperti ada peti jenasah didepan mimbar; khotbah pendeta tidak berapi-api-baca teks khotbah, kepala tunduk terus, dan baru kepalanya terangkat, setelah amin. Keangkuhan ini membuat orang kehilangan kasih dan rasa kesatuan yang utuh.

Perikop 1 Korentus 13 ini ditulis oleh rasul Paulus untuk mengingatkan jemaat di korentus terhadap penyakit suka pamer karunia sehingga ingin dianggap lebih hebat daripada yang lain. Karena saling membanggakan diri jemaat itu terpecah. Padahal, menurut Paulus-dalam khotbah dalam bacaan sebelumnya, gereja itu dicirikan oleh ikatan rohanian yang disatukan oleh kasih Kristus, sehingga menjadi satu tubuh. Segala karunia yang diberikan Tuhan kepada kepada jemaat seharusnya memperkuat kesatuan itu, bukan sebaliknya. Jemaat perlu memiliki motivasi yang benar dalam pengejawantahan karunia-karunia yang dimilikinya. Bagi Paulus, jemaat bisa saja melakukan hal-hal yang spektakuler, atau yang luar biasa dengan segala anugerah yang mereka terima, tetapi semua itu akan menjadi mubazir bila dilakukan tampah kasih.

Paulus menekankan 3 hal penting. Pertama, keutamaan kasih dari segala karunia yang ada dalam jemaat. Tuhan memberikan sesuatu itu sebagai karunia, tetapi karunia-karunia itu barulah berguna bagi pembangunan jemaat jika dilandasi oleh kasih (1-3). Kedua, hakikat kasih yang mesti tercermin dalam tindakan mengasihi ditengah persekutuan hidup. Paulus tidak mendefenisikan kasih, sebab kasih bukan sesuatu yang abstrak. Pertanyaan eksistensial ialah, ’bukan apa itu kasih?’ melainkan ’bagaimana kasih itu bekerja?’ (4-7). Dan, ketiga, kekekalan kasih bandingkan dengan karunia lainnya. Artinya, .mengapa kesih harus menjadi yang utama diaantara karunia-karunia yang lainnya (8-13). Namun, tidak berarti bahwa Paulus menolak karunia-karunia lain, melainkan semua karunia lain itu menjadi tidak berarti tampa dimotivasi oleh kasih. Kasih adalah karunia yang kekal karena ia menjadi norma kehidupan ’kekinian’ dan ’keakanan’ didalam kerajaan Allah yang sempurna.

Paulus menutup nasehatnya dengan membandingkan antara iman, pengharapan dan kasih. Paulus tidak bermaksud mengatakan bahwa orang kristen boleh meniadakan iman dan pengharapannya. Ketiganya itu perlu, tetapi yang utama adalah kasih. Memang, tidak semua orang mendapat karunia yang disebutkan Paulus di sini. Juga, tidak semua gereja memiliki karunia-karunia yang lengkap yang disebutkan dalam pasal ini. Namun, semua orang dan semua gereja pasti mendapat karunia mengasihi.mengasihi adalah kontribusi yang dapt diberikan oleh setiap orang percaya. Orang yang dapat mengasihi tidak lebih rendah dari orang yang dapat berbahasa roh atau bernubuat. Bahkan, sebaliknya, mengasihi adalh lebih besar dari semuanya, sebab berasal dari imannya dan memberikan pengharapan.

Mari kita wujudkan tindakan-tindakan kasih dalam keseharian hidup ini, dan menjauhi tertularnya virus penyakit ’wah’ yang destruktif. Tak mengapa, kalau kita dikatakan tidak memilki karunia-karunia yang luar biasa, tetapi yang paling penting jangan sampai kita tidak memiliki kasih, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

”KUALITAS HIDUP”

Bacaan Alkitab: Epesus 4 : 11 – 16

KADANG, pikiran kita terganggu oleh dua pemahaman yang terlalu sempit: ”Sumber Daya Manusia” dan ”Hidup Berkualitas”. Pada setiap kesempatan, orang selalu berbicara tentang Sumber Daya Manusia. Seolah-olah kualitas kemanusian itu diukur dari seberapa jauh ia mampu memberi sumbangan bagi sebuah proyek tertentu-entah itu pembangunan masyarakat, pembangunan komonitas gerejawi, atau apapun namanya. Manusia sekedar menjadi sumber daya, sama seperti sumber-sumber daya lainnya. Artinya, ketika ia bermanfaat, maka semua orang mencarinya. Namun, ketika ia tak lagi punya guna dan manfaat, maka jangankan pakai , dilirik pun tidak. Karena itu, tidak heran muncul banyak kekawatiran dan kecurigaan dikalangan pemikir kemanusiaan. Mereka menduga bahwa istilah Sumber Daya Manusia itu diwarnai paham utilitarianisme, paham yang menempatkan kegunan sebagai kaidah utama. Manusia dipandang sekedar sebagai fungsi dan alat.

Tapi, persoalan ikutan bagi kita, apa sebenarnya ukuran dari kualitas hidup itu? Bukankah kerap hidup berkualitas dinilai hanya ketika seseorang berhasi mendapatkan harta sebanyak mungkin, ketika seseorang berhasil memiliki gaya hidup yang serba modern, ketika seseorang berhasil dalam studi dan kariernya? Pokoknya, keberhasilan dan sukses selalu menjadi ukuran kualitas hidup manusia.

Secara umum, Efesus 4 : 1 – 6 mengetengahkan pemahaman Paulus tentang keseimbangan antara kesatuan dan kepelbagian jemaat Tuhan. Jemaat mesti memilihara kesatuan-keragaman itu, karena memang mereka dipanggil oleh Tuhan untuk mengerjakannya. Disatu pihak, jemaat Tuhan mesti memilihara kesatuan, namun dipihak lain, mereka mesti juga menyadari bahwa setiap orang memiliki keunikan kerena Kristus menganugerahkan kesih kerunia yang bergam. Sementara, bacaan Alkitab diatas ini, merupakan penjabaran lebih lanjut dari makna keberagaman kasih karunia Allah yang terima masing-masing anggota.

Menarik apa yang di paparkan Paulus di sini, bahwa jabatan itu adalah pemberian Kristus. Maksudnya, bukan karena kelebihan dan kemampuan mereka sendiri. Tidak ada perbedaan kualitatif antara satu jabatan dengan jabatan lainnay. Semua sama tingginya,atau lebih tepat, sama rendahnya. Karena itu, tugas yang paling utama dari semua jabatan tersebut bukan untuk melayani jemaat, apalagi memerintah jemaat, melainkan untuk memperlengkapi orang-orang kudus, agar seluruh anggota jemaat dapat melayani bersama. Sasaran akhirnya, adalah keterlibatan seluruh anggota jemaat dalam pelayanan bersama, atau menurut Paulus, bagi pembangunan tubuh Kristus.

Lalu, ke arah manakah pembangunan tubuh Kristus itu belansung? Bagi Pilatus, ada arah ayng mesti diusahakan dan proses yang harus dilakoni bersama. Didalam proses itu sudah tentu melibatkan dan meliputi seluruh anggota jemaat-tak seorang pun terlewat, atau dilewatkan, atau dilewatakan. Dalam hubungan ini, Paulus mengatakan, keutuhan antara iman dan pengetahuan mesti benar, tak terdistosi oleh pengajaran palsu. Ada pertumbuhan yang harus dilakoni agar dewasa dalam seluruh segi hidup, sehingga iman dan pengetahuan tenatang Kristus itu mengarah kepada kedewasaan, sesuai dengan kepenuhan Kristus. Hidup dalam anugerah Kristus berarti bukan hanya urusan hati dan pikiran, namun juga laku hidup.

Pertanyaan sederhana, apa sebenarnya makna dan ukuran kualitas hidup kita sebagai orang beriman ditengah dunia milik Al[lah ini? Alkitab tidak pernah memahani kualitas kemanisiaan kita terlepas dari hubungan kita dengan Kristus, hubugan kita dengan sesama dan dunia. Kristus yang membuat hidup ini bekualitas, bukan bergantung pada keberhasilan yang kita peroleh. Tapi juga, kita tak mungkin secara terpisah hidup brekualitastanpa kehadian oang lain.Kualitas hidup, bukan persoalan seberapa banyak saya mendapat sesuatu dalam gereja atau masyarakat, namun seberapa jauh saya bisa bermakna dan memberi hidup bagi sesama. Meminjam bahasa Paulus, hidup berkualitas ketika ia hidup sesuai dengan kepenuhan Kristus, mampu menghadirkan Kristus dalam hidupnya, atau hidup berarti Kristus hidup bagi manusia.

Akhirnya, hidup yang berkualitas berarti mempu mengenali keidakbenaran yang diajarkan sekelilingnya, dan dengan demikan ampu hidup berdasarkan kebenaran yang Kristus anjurkan melalui firmannya. Hidup berkualitas, ketika seseorang secara teguh menyakini kebenaran, dan setia menjalani proses pertumbuhannya didalam jalur kebenaranNya, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

”KERAGU-RAGUAN”

Bacaan Alkitab: Matius 11 : 2 – 6

KERAGUAN-RAGUAN biasanya mempunyai konotasi yang negatif, karena ia merupakan ekspresi dari ketidak-percayaan. Karena itu, orang yang ragu-ragu sering diindentikan dengan tidak percaya, atau setidak-tidaknya kurang percaya. Padahal, keragu-raguan tidak selalu merupakan ekspresi dari ketidak-percayaan. Keragu-raguan dapat juga merupakan pengungkapan dati keinginan untuk memperoleh kepastian-dan biasanya orang kemudian mencari jawaban atas keragu-raguan itu. Dalam artian yang terakhir ini, keragu-raguan biasanya terjadi karena adanya perbedaan anatara apa yang dimengerti atau diyakini, dengan apa yang dilihat sebagai kenyataan. Keragu-raguan itu dapat berupa keragu-raguan terhadap fakta yang dilihatnya atau keragu-raguan terhadap apa yang selama ini dimengerti atau diyakini. Sekalipun, keragu-raguan itu tidak perlu di pandang sebagai sesuatu ang negatif, namun demikian perlu untuk diatasi. Karena kalau dibiarkan bagaimanapun akan sangat mengganggu dan menghambat pertumbuhan iman seseorang. Tapi soalnya di sini, bagaimana kita dapat megatasinya.

Yohanes Pembabtis yang sedang berada dalam penjara nampaknya mendengar apa yang Yesus lakukan. Dari siapa ia memperoleh informasi tentang apa yang yesus lakukan memang jelas, namun demikian tidaklah berlebihan kalau kita menduga bahwa informasi itu berasal dari para muridnya juga. Dari dalam penjara inilah-melalui pera muridnya, Yohanes menyampaikan keragu-raguannya tentang Yesus, ”Engkau yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” Keragu-raguan Yohanes ini disebabkan oleh adanya perbedaan antara konsepnya tentang ’mesias’ yang dinanti-nantikan itu dengan kabar yang ia dengar tentang apa yang Yesus telah perbuat. Padahal, Yohanes mulanya yakin bahwa Yesus adalah ’sang mesias yang dinanti-nantikan itu’. Namun, satu hal yang penting telah dilakukan Yohanes dalam keragu-raguannya, ia tidak mengungkapkan hal[ itu kepada orang lain, tetapi ia mengutus murid-muridnya lansung bertanya kepada Yesus.

Yesus tidak menjawab pertanyaan Yohanes dengan menjelaskan tentang siapa dirinya, kecuali tentang apa yang telah Ia kerjakan dan apa yang telah terjadi. Melalui itu, Yesus ingin mengingatkan Yohanes bahwa apa yang telah dinubuatkan oeh nabi Yesaya tentang zaman mesianis telah tiba. Secara tidak lansung, Yesus mau mengatakan bahwa DiriNya adalah mesias yag dinanti-nantikan itu, dan Yohanes tidak perlu ragu-ragu lagi, apalagi sampai menolak Dia. Malah dalam ayat-ayat berikutnya, Yesus menunjuk Yohanes sebagai orang yang diutus Allah dengan suatu tugas tertentu untuk ’mempersiapkan jalan’ bagiNya. Melalui pengakuanNya tentang Yohanes Pembabtis semacam ini, Yesus kembali menegaskan kepada orang banyak yang pada waktu itu mendengar Dia berbicara bahwa zaman Misianis telah tiba, dan Dialah sang Mesias yang dinanti-nantikan itu-walaupun kekerasan hati orang Yahudi tetap menolak Yohanes Pembabtis dan Yesus, karena kehadiran Yohanes Pembabtis dan Yesus tidak seperti yang mereka pikirkan dan harapkan. Tetapi bagi Yesus, ’buah’ dari apa yang Yohanes Pembabtis dan DiriNya lakukan akan membuktikan bahwa mereka dipimpin oleh ’hikma Allah’. Itu sebabnya, Dia berkata, ”siapa bertelinga hendaklah ia mendengar”.

Keregu-raguan adalah suatu rekasi yang wajar ketika seseorang menjumpai adanya suatu perbedaan anatara apa yang dimengertinya atau yang diyakininya dengan kenyataan ang dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang jatuh dalam keragu-raguan, tidak perlu terlalu cepat dinilai sebagai ’tidak percaya’. Maksudnya, dalam menhadapi dan mengalami sesuatu yang menimbulkan keragu-raguan terhadap konsep atau kenykinannya misalnya tentang ’kebaikan Allah’, kita perlu belajar dari Yohanes, bagaimana ia sendiri dapat mengatasi keragu-raguan. Ia tidak secara apriori menolak Yesus sebagai mesias karena mungkin tidak sesuai dengan konsep atau keyakinannya yang selama ini dipegangnya. Ia juga tidak datang kepada orang lain dan bertanya tentang keragu-raguannya itu. Ia telah menempuh jalan tepat-melalui murid-muridnya, lansung datang dan bertanya kepada Yesus dan memohon jawaban dari Yesus sendiri.

Keragu-raguan tidak perlu dipandang terlalu negatif. Kita bisa datang dan bertanya secara lansung kepada Allah sendiri. Kita memohon jawaban dari Allah sendiri dengan sikap terbuka, dan selalu siap untuk dikoreksi. Yesus sendiri tidakp membiarkan Yohanes Pembabtis tetap dalam keragu-raguannya. Yesus tidak mengecewakan Yohanes Pembabtis, walaupun mungkin tidak ada jawaban seperti yang Yohanes Pembabtis harapkan. Kita juga percaya bahwa Allah tidak akan mengecewakan orang yang datang bertanya dan memohon jawaban dariNya. Tapi satu hal yang dibutuhkan adalah ’kepekaan mendengar jawaban Allah’ yag sangat mungkin tidak seperti yang kita harapkan, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

”IMAN YANG BENAR”

Bacaan Alkitab: Matius 8 : 5 – 13

KISAH ini memang terjadi Kapernaum, didaerah Galilea-sentrum pelayanan Tuhan Yesus. Kalau kita simak lebih jauh, saat itu Tuhan Yesus baru kembali dari perjalannanNya ke Yudea, dan kisah penyembuhan di Kapernaum ini merupakan tanda kedua dari karya Tuhan Yesus. Untuk memperoleh informasi lebih jelas dari kisah ini, baiknya juga kita simak perikop pararel dalam Injil Lukas dan Yohanes.

Di Kapernaum ada seorang perwira-hambanya sakit lumpuh dan sangat menderita. Versi Injil Lukas dan Yohanes menyebut anaknya dan pegawai istana sakit keras dan hampir mati. Semenara informasi ketiga Kitab Injil, ditegaskan bahwa perwira tersebut bukan orang Yahudi, sangat memperhatikan dan memberikan dukungan kepada orang Yahudi.

Masih ada lagi perbedaan dalam kisah ini, Matius an Yohanes mengatakan perwira itu datang sendiri kepada Tuhan Yesus untuk memohon penyembuhan hambanya yang sakit keras. Pada hal menurut Lukas, bukan perwira itu yang datang sendiri kepada Yesus, melainkan tua-tua Yahudi. Kemudian, Matius menjelaskan bahwa Tuhan Yesus sama sekali belum beranjak dari tempat Ia berada ketika ditemui mereka, tetapi dalam Injil Lukas dan Yohanes, dikatakan Tuhan Yesus sudah melakukan perjalanan menuju rumah perwira bersama dengan yang menjumpai Tuhan Yesus.

Terakhir, menurut Matius dan Lukas, dikatakan tidak perlu Yesus datang kerumah perwira, karena merasa tidak layak menerima Yesus dirumahnya, kecuali sudah cukup kalau Yesus mengatakan sembuh dari temapatnya saat itu. Tetapi Injil Yohanes, justru Yesus diajak kerumahnya, malah setelah anak/hamba perwira itu sembuh, seluruh keluarganya menjadi percaya. Terlepas dari perbedaan informasi yang mungkin saja mengganggu pikiran kita, tapi satu hal yang pasti bahwa Yesus memuji sikap perwira itu karena memiliki iman yang besar.

Perhatikan pertanyaan perwira itu dimana ia tidak layak menerima Yesus dirumahnya sebenarnya memperlihatkan betapa ia amat rendah hati dibandingkan dengan Yesus yang punya kuasa. Ia menyadari dirinya sebagai orang kafir sehingga tak perlu Yesus datang ke rumahnya, tapi serentak itu pula ia sangat menghargai dan mengakui kekuasaan Yesus untuk menyatakan hambanya sembuh dari tempat Yesus berada saat itu. Apalagi ia membandingkan dengan kebiasaan dilingkungan militer-atasan cukup memberikan perintah dari tempat, maka semuanya akan terlaksana.

Bagi Yesus, sikap perwira itu dinilai memiliki iman yang besar, malah dikatakan bahwa diantara orang Israel pun belum pernah dijumpai iman seperti itu. Terbukti, ia sendiri berinisiatif menjumpai Yesus, sampai-sampai ia mengatakan dirinya tak layak menerima Yesus dirumahnya- ’katakan saja sepata kata, maka hambaku itu akan sembuh’. Lagi pula, menurut Lukas, pergaulannya dengan orang Yahudi tidak diragukan karena ikut menanggung pembangunan rumah ibadat Yahudi. Kemungkinan besar, tua-tua Yahudi itu memberikan referensi dan rekomendasi: ”Ia layak Engkau tolong”

Sebaliknya, Yesus mau memperhatikan orang-orang Yahudi yang konsepsi imannya lebih ditentukan oleh syariat agama, tetapi lumpu dalam sikap hidup yang benar. selama konsepsi iman seseorang masih ditentukan oeh perbuatan yang menempatkan prestasi dan prestise dalam memenuhi syariat agama, maka yang terjadi bukanlah kehidupan iman yang benar, tapi sebaliknya kehidupan iman yang dangkal. Selama prestasi dan prestise masih bercokol dalam diri seseorang, tantu tidak membawanya kepada kerendahan hati seperti sikap perwira tadi – yang terjadi justru sebaliknya.

Dari prespektif Alkitab, iman bukanlah prestasi manusia tapi karunia Tuhan. Jangankita mengukur iman seseorang un si dari perbuatan, lahiriah, seperti rajin kegereja, aktif dalam pelayanan jemaat, tapi juga sejauh mana orang itu merespons kasih karunia Tuhan sehingga membawa perubahan total dalam keseharian hidupnya. Biasa kemungkinan kita hanya beribadah secara rutin, tapi dalam praktek hidupnya sehari-hari bertingkah laku lebih kasar dan merugikan oarang lain. Zaman Yesus, Ia sendiri mengecam kaum Farisi sebagai penghafal dan ’pengunjuk rasa’ yang mengetahui seluruh hukum taurat dan berdemonstrasi untuk menunjukan ketaatan lahiriah. Sekarang ini, pasti Yesus memantau kehidupan jemaatNya-dan akan mengulangi sikap reformisnya.

Dia tentu muak dengan mereka yang munafik-mereka yang di mulut dan bibir mengaku kristen, secara rutin pergi beribadah, tapi dalam ibadah total, yaitu kehidupan sehari-hari, dalam berinteraksi dengan manusia lain, justru tidak mewujudkan kasih yang sejati, ini jauh lebih baik dari ’mereka’ yang tidak mengetahui tapi jujur dan konsekuen dengan pandangan, daripada mereka yang sok suci, mengklaim diri sebagai yang relegius dan beriman, tapi dalam tingkah lakunya justru bertentangan dengan hakikat agama yang formal dianutnya.

Beriman yang benar akan menghasilkan keteguhan dalam segala hal, termasuk dalam menghadapi tantangan dan pencobaan apa pun. Status sosial, jabatan, intelektual, bahkan lama atau barunya seseorang menjaldi Kristen, tidak menentukan kualitas imannya, Amin.

Renungan Ibadah Pemakaman

”DITINGGALKAN ALLAH?”

Bacaan Alkitab: Markus 15 : 34

PERGULATAN manusia pada masa-masa sulit, apalagi ketika segala sesuatu berjalan tidak sesuai yang diharapka, bisa menggoda manusia putus asa dan pikiran galau berkepanjangan. Belum lagi, ketika manusia tak mampu mengatasi derita yang timbul karena pergumulan pribadi maupun keluarga, atau persoalan-persoalan lain diseputarnya, betapa tidak, ia bisa mengalami kesulitan merasakan sentuhan kehadiran Allah. Manusia selalu berpikir, Allah seolah-olah telah meninggalkan dan membiarkan kebingungan dan kegudahan mendera setiap saat. Benarkah Allah yang kita imani itu meninggalkan kita, kala pergulatan berat menerpa hidup ini?

Orang beriman mestinya memahami penderitaan Yesus di kayu salip sebagai karya ilahi yang bermakna bagi dunia dan manusia sepanjang masa. Ia menderita dan harus mengalami keadaan yangtidak di harapkan. Bahkan, ketika Ia berada pada puncak penderitaanNya, Ia masih berseru: ”Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” KeberadaanNya sebagai Hamba Tuhan yang menderita benar-benar digenapkan disini. Ia menderita bukan saja oleh kenistaan manusia, tetapi juga karena ditinggalkan Allah.

Lalu, pertanyaan penting bagi kita, ”Di tengah jiwa berduka karena kenestapaan yang masih mencekam hidup ini-apa arti seruan Yesus itu bagi kita yang sedang berduga?” Apakah seruan Yesus itu ikut mensahkan kenestapaan karena merasa seolah-olah ditinggalkan Allah? Atau sebaliknya, ketika hidup ini gundah-gulana, dapatkah kita menangkap makna seruan Yesus itu dan memperoleh kekuatanNya? Teriakan Yesus di salip justru menunjukan bahwa Ia berada di tengah kita dan ikut mengalami kepahitan dan kesendirian. Bukan karena Ia harus mengalaminya, melainkan karena Ia rela mengalami bersama kita yang berduka dan putus asa.

Prikop Markus 15:33-41 merupakan klimaks drama penyalipan Yesus yang disaksikan penginjil Markus, yang bertumbuh atas dasar iman mereka kepada Yesus tersalip, mati dan bangkit. Penyalipan itu menjadi puncak pelayaanan Yesus yang datang kedunia untuk menyerahkan nyawaNya sebagai tebusan bagi banyak orang. Bayangkan saja, mulai jam smbilan (ay. 25) Ia disalipkan, berarti setelah tiga jam Ia tergantung disalip-kegelapan meliputi seluruh daerah itu-dan masih ditambah tiga jam lagi baru Ia menyeahkan nyawaNya. Kegelapan itu bukan peristiwa alam biasa, juga bukan semacam gerhana matahari, tetapi tanda ilahi yang menunjukan concern sang khalik atas peristiwa penyaliban itu. Allah ikut menderita bersama seluruh alam semesta menyaksikan kegelapan derita Yesus yag mengorbankan diriNya sendiri.

Mari kita fokuskan paad seruan yesus, ”Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?”- satu-satunya ucapan Yesus dikayu salip yag dicatat oleh Markus. Pendekatan yang memadai unuk memahami makna seruan Yesus itu adalah dengan merujuk Mazmur 22. Rupanya, pembaca pertama Injil Markus sudah tau bahwa seluruh cerita tentang penyalipan Yesus berlatar-belakang Mazmur 22. Yesus menghayati saat-saat diriNya dalam perspektif doa orang benar yang dianiaya. Ia mengalami kesendirian dan kehilangan pengharapan, karena karena Yesus mendesak Allah untuk memberitahukan kepadaNya, mengapa Ia berada dalam keadaan itu, Namun, apa pun yang terjadi, Ia tetap menyerahkan diriNya kepada Allah.

Seruan itu bukan protes melainkan permohonan. Ia berseru bukan karena menolak penderitaan yang harus diterimaNya, melainkan memohon kepada Allah agar allah memberikan penegasan kepada diriNya, agar tujuan dari penderitaan Yesus yang terdalam itu menjadi jelas maknanya. Artinya, kita mengimani bahwa Yesus harus mengalami semua itu sebagai jalan menuju pembaharuan dan mekarnya iman sejati dalam hati kita yang sedang dirudung kedukaan, tapi tetap menaruh pengharapan kepadaNya.

Dalam situasi kekalutan ini, kita perlu bertanya, ”Benarkah Allah meninggalkan kita yang sedang berduka?, dan bila keluhan semacam itu dalam kenyataannya menjadi bagian yang utuh dari pergulatan orang beriman, haruskah keluhan itu merupakan tanda keputusasaan, tapi bisa menjadi suatu ungkapan pergulatan iman untuk memperoleh penegasan mengapa semua itu terjadi? Kita mesti tegar dan tahan uji, karena Allah tidak meninggalkan kita, dan kehadiranNya tetap kita alami dan berguna bagi mekarnya iman dan kehidupan kita-walau ujian atas hidup ini kadang terlampau berat dan bertubi-tubi, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

”HIKMAT YANG ADIL”

Bacaan Alkitab: 1 Raja-Raja 3 : 16-28

Dalam hidup yang semakin tidak menentu di tengah gelombang perubahan yang cepat dan sulit diprediksi, sangat diperlukan kebijaksanaan. Artinya, kebijaksanaan dari Tuhan dalam memutuskan berbagai persoalan pelik yang dihadapi sekarang ini, baik secara perseorangan maupun beragam komunitas yang ada. Kebijaksanaan koheren dengan keadilan, karena kebijaksanaan yang adil bukanlah kebijaksanaan. Keadilan tidak boleh memihak, ia harus obyektif dan berlaku bagi siapa saja tampa membeda-bedakan – apakah orang itu readap atau tidak, berkuasa atau tidak, berpuanya atau tidak, berkedudukan atau tidak, dan lain-lain. Keadilan berpihak pada yang benar, bahkan keadilan berpihak pada yang benar, bahkan keadilan tidak bisa, atau tidak dapat di perjualbelikan. Dalam konteks inilah kita perlu kita belajar dari raja Salomo. Ia tidak mementingkan kuasa, atau menedepankan kekayaan. Ia lebih mengutamakan bagaimana memperolesh kebijaksanaan dari Tuhan ketimbang kemampuannya dalam memilih dan mengadili bangsanya.

Kasus perselisihan antara dua wanita tuna sosila merupakan ujian berat bagi salomo. Mereka tinggal serumah, dan masing-masing melahirkan anak. Anak yang satu meninggal karna tertindih oleh ibunya sendiri waktu tidur. Wanita yang satu menuduh temanya wanita menukarkan bayinya yang mati dengan bayi yang hidup pada saat wanita yang lain sedang tidur. Terjadilah pertengkaran-kedunya saling menuduh bahwa teman wanitanyalah yang curang mengaku-ngaku bahwa bayi yang hidup adalah bayinya, sedangkan yang mati adalah milik temannya.

Menghadapi kasus ini, Salomo dengan hikmat dari Tuhan mengambil keputusan yang sangat bijaksana dan adil. Sebelum menjatukan keputusan, Ia memerintahkan bawahanya mengambil pedang dan membelah bayi yang masi hidup itu menjadi dua bagian – dan masing-masing wanita itu akan memperoleh setengah bagian dari bayi yang sudah mati itu. Wanita yang satu setuju dengan kepusan Salomo, karena itulah keadilan menurutnya, yakni bahwa tidak ada yang memiliki bayi yang hidup. Sedang wanita yang lainya – yang memang berhak memiliki bayi yang hidup karena memang anaknya, mengusulkan agar bayi tersebut tidak di pengagal. Ia merelakan anak tersebut di berikan kepada wanita yang lain, asal bayi itu tetap hidup. Jelas, sekali bagi wanita yang anaknya yang mati, keinginan untuk memiliki seorang anak lebih besar dibandingkan kesedihan dan cinta kasihnya pada seorang bayi. Akirnya, Salomo dengan kebijaksanaan dari Tuhan dapat mengambil keputusan yang sangat adil – bayi tersebut harus di berikan kepada ibu yang memiliki belaskasihan pada si bayi itu, karena bayi itu adalah miliknya.

Bagi Salomo, kasus yang di hadapinya cukup rumit, tak mungkin di selesaikan secara konvensional – apalagi dalam kasus ini tidak tidak ada saksi satupun yang dapat mengutkan benar tidaknya kesaksian kedua wanita tersebut. Orang srael mnjadi takut setelah mendengar keputusan Salomo. Mereka percaya dalam diri Salomo ada hikmah Allah untuk melakukan keadilan. Sebenarnya kasus ini mau mengatakan kepada kita bahwa kebijaksanaan dari Tuhan adalah pencarian kebenaran melalui tes cinta kasih, dan benar juga kalau kebenaran dan keadilan koheran dengan cinta kasih.

Kebijaksanaan itu sendiri berasal dari kata Ibrani ’hokmah’, artinya pengetahuan, kecerdasan dan kemampuan untuk mengambil pilihan kepusan yang tepat pada saat yang tepat pula. Yakobus mengatakan , ”Tetapi hikmat yang datang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, permah, penurut, pennuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik. Dan buah yang terdiri dari kebenaran di taburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai” (3:17-18).

Sering kita menghadapi kerancuan pengguan kata ’kebijaksanan’ ditengah masyarakat. Kata ini sering dengan identik dengan keputusan sepihak oleh pengambil kepusan yang terkesan otoriter, tapi belum tenntu adil apalgi biljaksana.

Demikian keadilan pula, sering diidentik dengan uang atau kekuasan untuk mempengaruhi kepusan yang diambil. Bahkan betapa sering atas nama keadilan, justru yang terjadi adalah ketidakadilan. Bukan yang benar dan yang adil yang kuat, tetapi yang kuat dan berkuasa yang benar. Asal kuat dan berkuasa, pasti menang dan di untungkan. Padahal, adil berarti apa yang berlaku untuk ’orang besar’ juga berlaku untuk ’si besar’. Benarkah kita sudah bijak dan adil dalam setiap setiap pengambilan keputusa – apakah itu menyangkut hidup kita maupun kepentingan orang banyak? Mari kita belajar dari Salomo dan mintalah tuntutan dan didikan dari Tuhan sumber segala kebijaksanaan yang adil, Amin. (gr).

Renungan ibadah rumah tangga

”MUJIZAT, ATAU FIRMAN TUHAN”

Bacaan Alkitab:Makus 6:30-44

ANDA percaya mujizat? Tunggu dulu jangan terburu - buru men jawab pertanyaan tersebut itu. Ada baiknya merenungkanya dengan kepala dingin, lalu ’mengambil jarak’ dengan pertanyaan itu sebelum mencari jawabanya. Berhadapan dengan soal Mujizat, memang orang lebih sering berbicara soal’percaya, atau tidak percaya’-believe it or nit. Hanya itu yang bisa di lakukan. Tidak bisa tidak. Maka, jangan heran, jika ada perbuatan yang ’pnas’ soal mujizat, itu tidak lain debat kusir belaka yang tak akan habis-habinya. Yesus berpidato di depan massa – bayangkan kurang lebih lima ribu orang yang ikut hadir – bukan jumlah yang sedikit. Murid – muridnya malah kewalahan, dan hri mulai gelap – apakah tidak lebih baik mereka disuruh membeli makanan di desa. Namun, Yesus menjawab: ’kamu harus memberi mereka makan’. Tapi apa kata murid-muridnya, ’mana cukup untuk sekian banyak orang, padahal yng kami miliki lima roti dan dua iakn’. Yesus mengambil roti dan ikan itu, Ia lalu mengadah kelangit dan mengucapkan berkat. Roti dipecah-pecahkanya, lalu dibagikanya kepada para murid-murid untuk diteruskan pada orang banyak. Ikan juga dibagikan pada orang banyak. Semuannya mendapat makanan menjadi kenyang. Makanan yang lebih dikumpulkan dan sisa-sisanya, teernyata berjumlah dua belas bakul. Jelaslah, bahwa cerita ini hendak memberitahukan mujizat. Yesus berkuasa menjadikan yang ’tidak mungkin’ menjadi mungkin’ – yang impossible menjadi possible.

Memang, kadang-kadang, Allah bekerja melalui mujizat. Namun, itu bukan cara Allah yang ’biasa’. Bukan cara Allah yang ’normal’. Bukan cara Allah yang ’utama’.Yesus juga membuat banyak mijizat, tapi tidak selalu malah hanya sekali - kali. Tidak semua orang sakit disembuhkanya.Tidak semua orang mati di bangkitkanya. Tidak setiap hari, Ia memecah-mecahkan roti memberi makan orang banyak. Cuma sekali-kali Yesus melakukan itu – Ia malah mengecam orang yang baru percaya setelah melihat mujizat. Yesus tahu, mujizat itu menarik. Tapi, Yesus juga tahu, mujizat itu berbahaya. Bahayanya orang bisa terpesona, tapi belum tentu percaya. Bisa juga, orang bisa terpesona dengan mujizat itu, lalu percaya. Mujizat memang menarik, tetapi jangan lupa, tugas utama gereja bukan mencari - cari mujizat, tapi memberikan firmanyal-supaya orang percaya, dan tidak sekedar membuat orang terpesona karena mujizat.

Kalau kita simak dalam Alkitab, mujizat itu adalah peristiwa yang menyatakan kuasa Allah, di mana tidak ada unsur kesengajaan manusia. Ada sesuatu yang bersifat supranatural yang mengatasi hal-hal yang natural. Fungsi mujizat untuk mengukuhkan pekerjaan Allah, menyatakan kemuliaan, kebesaran dan kehadiran Allah. Mujizat adalah karya Allah. Manusia sama sekali tidak memiliki peranan dalam mujizat-hanya Allah yang bertindak.

Sekarang ini, di mana-mana makin ramai ’kebaktian penyegaran iman’ – dan banyak orang Kristen berbondong-bondong kesana karena gemar sekali mencari mujizat – tidak lagi mempercayai firman Tuhan. Mereka lebih suka percaya kepada apa yang dapat lihat, atau kasat mata. Karena itu, mujizat apa saja semakin dicari-cari banyak orang Kristen. Tapi, harus diingat, mujizat itu hak prerogatif Allah. Hak istimewa Allah. Bukan doa-doa kita yang membuat terjadinya mujizat. Bukan iman kita yang menentukan terjadinya mujizat, bukan kharisma seseorang yang memungkinkan terjadinya mujizat. Tapi Allah sendiri. Di dalam kedaulatanNya. Di daalam kebesaranNya. Tuhan Yesus sendiri mengatakan, ”Sebab di mana dua atau tiga orag berkumpul dalam namaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” Tapi, karena ucapan Yesus itu tidak bisa dibuktikan-tidak kelihatan oleh kasat mata, orang Kristen lau tidak percaya. Seperti Tomas, yang harus mencucukan ujung jarinya. Padahal, Tuhan sendiri berkata kepadanya: ”Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya”. Saya berpikir, muda-mudahan anda setuju dengan saya, bahwa apa yang sering dikatakan Rasul Paulus dalam Surat-suratnya, ’Kita berjalan dengan iman’ bukan ’Berjalan dengan mujizat’. Artinya, iman yang sekarag kita miliki sebenarnya sudah cukup bagi kita menuju keselamatan. Saya bukan anti mujizat! Tapi, dalam hati, membiarkan Allah bekerja menurut cara yang Ia kehendaki. Sebenarnya, orang Kristen yang suka mengejar-ngejar mujizat adalah mereka yang mungkin kurang mempercayai firmanNya. Bukan berarti kita menutup kemungkinan untuk mengenal mujizat. Tapi, kalau ada mujizat, barulah kitaa percaya, itu bukan kristiani namanya. Saya tidak mengalami permasalahan tentang mujizat dalam jemaat yang saya layani sekarang ini. Artinya jemaat saya tidak mengejar-ngejar mujizat. Kalau terjadi mujizat, ya itu memang yang dikehendaki Tuhan. Pernah, seorang anggota jemaat terkena geger otak. Pihak dokter mengatakan tidak ada harapan lagi. Tetapi setelah kami berdoa, termasuk beberapa kelompok doa, beberapa minggu kemudian orang itu sadar kembali dan hidup sampai sekarang melayani pekerjaan Tuhan dengan baik. Kita sama sekali mengharapkan mujizat, namun Tuhan bertindak lain. Sekali lagi, mujizat hanya demi kemuliaan Allah, kita harus kritis melihatnya, agar orang tidak bingung mengejar-ngejar mujizat, mencari yang aneh-aneh, hingga yang dicari bukanlah firman Tuhan tetapi mujizat, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

”HATI YANG MEMBERI”

Bacaan Alkitab: 12 : 41 - 44

PERBINCANGAN, seputar persembahan dalam rangka penatalayanan Kristen, ucap seorang teolog, bisa menggelitik sentimen religius manusia yang terdalam. Saya juga tidak tahu persis, apa sebabnya sehingga mimbar gereja-gereja hampir tidak pernah berbicara tentang persembahan-katakanlah tentang uang. Mungkin menyangut adat ketimuran-kalau bicara uang kurang sopan. Bisa juga psikologis-takut dibilang ada udang dibalik batu, ada sesuatu dibalik khotba. Atau, alasan teologis-uang itu sumber dosa, atau harta itu alat dunia semata, apa benar demikian? Sebaliknya, anda tahu, Alkitab justru berbicara amat banyak tentang persembahan.

Cerita yang sangat terkenal ini melukiskan persembahan seorang janda miskin yang jumlahnya sangat sedikit, tapi yang dinilai jauh lebih berharga dari persembahan orang lain. Ternyata, Yesus mengecam pemberian dan kedermawaan yang berlebihan, sebagai suatu show yang memuakkan. Ia mengecam orang yang memberi persembahan hanya sesuai pancingan-melempar umpan kecil untuk mendapat mansa besar, atau memberi dengan tangan kanan, merampas dengan tangan kiri. Yesus tidak menolak, atau anti pemberian dalam jumlah besar, tetapi ia mencela setiap pemberian yang tampa ketulusan-artinya memberi uang tampa memberi hati dan hidupnya kepada Tuhan. Lalu, apa yang menjadi titik tolak penilaian Yesus terhadap si janda itu?

Pertama, bahwa persembahan janda itu tidak di nilai dari segi jumlahnya, tetapi dari segi diri pemberi persembahan itu sendiri, Yesus, pertama-tama menilai bukan apa yang diberikan orang, melainkan bagaimana orang memberikanya. Tentu, Yesus lebih memperhatikan dorongan-dorongan apa yang ada dalam hati si pemberi. Itulah sebabnya, Ia memuji persembahan seorang janda, bukan karena sedikitnya pemberian itu, tapi karena ”ia telah memberikan seluruhnya yang ia miliki, hidupnya sendiri”. Setiap pemberian adalah pernyataan dari sikap ketaatan dan penyerahan diri kepada Tuhan. Dan itulah yang Yesus berikan! Bukan sebagian hartanya, tapi seluruh diriNya. Bukan sebagian kekayaannya, tapi seluruh kehormatan bahkan jiwaNya sendiri.

Kedua, bahwa persembahan janda itu didorong oleh hati yang penuh kasih dan kerelaan. Bukan untuk mempertontonkan diri. Tidak pula dengan bersungut-sungut. Janda miskin itu memberi karena ia tak dapat menahan diri untuk memberi. Ada orang mengatakan, bahwa ukuran persmbahan yang benar adalah ketika kita merasakan sakitnya memberi itu. Jadi bukan memberi sia-sia yang tak terpakai dari kelebihan dan kelimpahan yang menumpuk. Rasul Paulus juga menekankan persembahan yang diberikan dengan kerelaan dan kesukaan. Tetapi ia pun mengingatkan, ”bahwa yang menabur sedikit akan mamuai sedikit, dan menabur banyak akan akan memuai yang banyak pula. Karena itu, ia tidak hanya mengtakan, berikanlah kepada Tuhan sebanyak yang kamu rela, tetapi berikanlah kepada Tuhan dengan rela, seberapa yang kamu mampu. Bukan dengan seberapa yang kamu mau, tetapi sebarapa yang kamu mampu! Bukan dengan seberapa yang kamu suka. Tetapi seberapa berkat yang kamu raskan.

Ketiga, bahwa persembahan janda itu diberikan dengan latar belakang pengorbanan yang besar. Dua peser, atau satu duit-mata uang tembaga yaang paling kecil nilainya yang diberikan itu adalah milik seluruhnya, dan padanya tak ada lagi yang tertinggal. Ia memberi miliknya seratus persen, dan tak menganggap itu sebagai suatu yang mengkuatirkannya, apakah yang akan dimakannya nanti. Sementara orang-orang kaya yang memasuki Bait Allah, mungkin telah membuat perhitungan dan pertimbangan sebelum memberi. Tapi janda itu memberi tampa ada sesuatu dalam dirinya sendiri yang merintangi. Ia memberi kepada Tuhan-dan perlukah untuk itu macam-macam tuntutan dan perhitungan?

Apakah artinya semua ini bagi kehidupan kita? Di hadapan Tuhan, tidak ada persembahan yang terlampau dasar atau terlampau kecil. Yang dinilai Tuhan, adalah hati yang memberi dan bersyukur. Hati yang memberi da bersyukur, memang tidak boleh terbatas dan dibatasi oleh jumlah. Besar-kecilnya persembahan kita memang tidak menjadi ukuran besar-kecilnya iman dan rasa syukur kita kepada Tuhan. Tetapi sebaliknya, besar-kecilnya iman dan rasa syukur kepada Tuhan, akan nampak melalui apa yang kita persembahkan kepada Tuhan, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

”MENDENGAR”

Bacaan Alkitab: Matius 13 : 9

PENAH, seorang pejabat penting diundang untuk suatu acara di Rumah Sakit Umum Prof. W. Z. Yohanes Kupang. Saya lupa tanggalnya. Saya berada disitu bukan karena diundang, tapi ada keluarga yang anaknya sedang dirawat dirumah sakit. Karena tidak bisa pulang, kecuali sampai acara selesai, saya pun ikut menyaksikan dari jauh. Mungkin juga lantaran acara itu bersifat resmi, apalagi hadir orang-orang penting, maka dengan sendirinya suasana jadi formal. Giliran pejabat penting yang diundang menyampaikan sambutan-para undangan pun mulai duduk tenang mendengar. Tampa diduga siapapun, ternyata yang kena teguran pertama dari pejabat penting itu adalah beberapa wartawan yang hadir saat itu. ”Hei, Saudara-saudara wartawan, dengar sini saya lagi bicara! Jangan sibuk melulu dengan topi-topi putih itu!”-maksudnya, perawat-perawat perempuan yang hilir mudik di situ. Tentu saja, suasana jadi ramai! Tapi satu hal penting bagi kita, kejadian itu mau mengatakan kepada kita, bahwa setiap orang yang berbicara ingin didengar orang lain. Apalagi, kalau yang sedang berbicara ingin di dengar pejabat penting. Maklum! Namanya pejabat penting, jadi mesti didengar.

Dalam hal ”mendengar”, Yesus juga punya pengalaman tersendiri-ketika sedang mengajar orang banyak waktu itu (Luk. 11:29-32). Beberapa ahli taurat menentang dia, mereka meminta sebuah tanda. Apa jawabNya? ”Angkatan yang jahat dan tidak setia ini menuntut suatu tanda. Tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus. Sebab seperti Yunus menjadi tanda untuk orang-orang Niniwe, demikian pula Anak Manusia akan menjadi tanda untuk angkatan ini. Pada waktu penghakiman, orang-orang Niniwe akan bangkit bersama angkatan ini dan mereka akan menghukumnya. Sebab orang-orang Niniwe itu bertobat waktu mereka mendengarkan pemberitaan Yunus.........”

Epictetus, seorang filsuf Yunani pernah berkata, ”Alam memberikan kepada manusia hanya satu lidah, tetapi dua telinga supaya kita mendengar dari orang lain dua kali lebih banyak daripada yang kita ucapkan”. Paling tidak, dari kenyataan alamiah, seluruh ”Anak Adam” – tentu saja yang lahir normal, mempunyai dua telinga, dan satu lidah. Tapi mestinya, bukan sekedar kebenaran alamiah itu saja yang dipaparkan Epictetus, kebenaran lain adalah, ’bahwa mendengar’ itu berfaedah-jauh lebih berfaedah daripada berbicara.

Kata orang bijak yang saya kutip dari bahasanya, ”if you’re talking, you aren’t leaning. But, if you love to listen, you will gain knowledge, if you incline your ear, you will become wise” artinya, “kalau anda berbicara, anda tidak dapat belajar. Tapi, jika anda suka untuk mendengarkan, anda akan menambah pengetahuan, dan jika anda memiringkan telinga, anda akan menjadi bijaksana”. Benar juga kan?

Manfaat mendengar tidak hanya berhenti di sini. Dalam keseharian hidup terbukti bahwa pendengar yang baik merupakan komunikator yang baik. Sebaliknya, kegagalan seseorang untuk mendengarkan orang lain secara efektif, menjadikan orang itu tidak mampu berkomunikasi. Seorang pemimpin yang sukses, bukan karena ia pernah sukses dimasa lalu, dan pula semata-mata karena kharisma memimpin yang ia miliki, tapi kesuksesannya itu terletak pada kemampuannya mendengar dengan baik. Pemimpin dalam bidag apapun, yang suka memasang telinga, gemar mendengar dengan cermat, adalah pemimpin yang mau belajar banyak. Dengan mendengar sungguh-sungguh, ia pun tahu kecendrungan dan perkembangan dari orang-orang yang dipimpinnya dan ini memudahkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana dan tepat.

Banyak contoh dalam Alkitab tentang pemimpin yan sukses, karena mau mendengar orang lain keberhasilan Musa memimpin umat Israel dari Mesir ke Kanaan, walau ia sendiri tidak sempat menikmati keindahan dan kekayaan negeri perjanjian itu, karena ia mau mendengar nasehat mertuanya, jitero. Abraham, karena ia mendengar perintah Yahwe tatkala disuruh meninggalkan negeri leluhurnya, ia pun berpindah ke Kanaan. Dalam sejarah penyelamatan Allah, ’mendengar’ mendapat tempat sentral. Kadang istilah itu muncul sejajar dengan ”percaya”. Makanya, ”mendengar” dalam bahasa Alkitab sering di pertentangkan dengan ”tidak percaya” sebuah misal, akibat dari isteri Lot tidak mau mendengar, atau tidak percaya perintah Yahwe, ”jangan menoleh ke belakang”, ia pun menjadi tiang garam. Nabi Yunus yang diutus ke Niniwe tidak mau mendengar, atau bisa dikatakan tidak percaya pada perintah pengutusanNya sehingga ia mengalami kegagalan dalam tugasnya.

Sayang sekali, sekarang ini, semakin kurang orang yang mau menjadi pendengar yang baik. Semakin banyaak orang menuntut untuk didengar, tapi enggan mendengar orang lain. Mungkin inilah yang disebut dampak negatif daari kemajuan modernisasi. Barangkali, karena kesibukan masing-masing, orang semakin tidak sudi mendengar orang lain. Komunikasi semakin terbatas-dan akhirnyaorang menjadi egois, ’malas tahu’ dan lebih suka mendengar dirinya sendiri. Yesus berkata, ”siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar” dan kepada mereka yang mendengar itu akan diberikan lebih banyak, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

”TUHAN PENYELENGGARA KEHIDUPAN”

Bacaan Alkitab: Yakobus 4 : 13 – 17

SEBUAH ungkapan mengatakan: Man proposes God disposes-manusia merencanakan tetapi Allah menentukan. Ungkapan terkenal ini biasa dipergunakan ketika seseorang harus menghadapi dan menerima kenyataan bahwa yang dialami tidak seperti yang diharapkan, meskipun orang merasa sudah memikirkan, merencanakan dan melaksanakan rancangan itu sebaik-baiknya. Ada kesan, ketika seseorang mengucapkan kalimat ini, orang terpaksa menerima kenyataan walau tak seperti yang diharapkannya. Seolah-olah Allah bertindak semena-mena, karena Dia memiliki kuasa yang lebih daripada manusia, dan kekuatan untuk memaksakan kehendakNya. Jadi, ungkapan diatas memberi kesan bahwa manusia berada pada posisi berhadapan dengan Allah. Manusia berada diluar Allah, dan Allah adalah kekuatan yang berada diluar manusia.

Dari perspektif alkitab, pemahaman demikian menjadi sangat naif. Penulis Alkitab tidak berpikir sedangkal itu. Orang yang beriman kepada Allah tidak diposisikan berhadap-hadapan dengan Allah. Hidup orang beriman tidak berada diluar kawasan kuasa Allah, bahkan berada dalam kerangka rencana dan karya Allah sendiri. Rencana dan karya Allah itu dilaksanakan demi kesejateraan hidup manusia, dan bukan karena ambisi-ambisi Allah. Rencana dan karya Allah itu mesti mendapat respon sebagai wujud dari tanggung jawab manusia untuk merancang serta berkarya dengan mempertimbangkan rencana dan karya Allah itu. Meskipun demikian, tidak dipungkiri bahwa godaan-godaan untuk berbuat salah, walau keliru bisa terjadi pada manusia, tetapi tidak demikian dengan Allah.

Substansi Surat yakobus mengandung nasihat-nasihat etis-praktis, atau hal-hal yang berkaitan dengan perilaku keseharian hidup-yang menurut penulis, seharusnya dilakukan dalam rangka penghayatan iman mereka kepada Tuhan. Penulis ingin membuat keseimbangan yang proposional antara pemahaman tentang ajaran-ajaran pokok yang dogmatis dengan penghayatan iman dalam perilaku. Dogma atau doktrin penting tetapi ia hanya berada diawang-awang jika tidak dilanjutkan dengan praksis-nya. ”jika iman tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakikatnya mati”.

Persoalannya yang akan menjadi lain, bila kita memahami pikiran yakobus dalam uraian berikutnya (13-14). Sikap ini dianggap sebagai sikap over-optimis, malah cenderung takabur, atau lupa diri (band. Ay. 16). Yakobus tidak menyalahkan usaha atau upaya bisnis apapun yang dilakukan manusia. Ini hal yang wajar, dan seharusnya dilakukan. Manusia hidup untuk bekerja, artinya bekerja adalah bagian dari hakekat manusia. Bukankah Allah juga berkarya dengan rencan-rencanaNya bagi kebaikan manusia? Tetapi, yang kritik adalah sikap seolah-olah manusia berkuasa menentukan hidupnya di hari esok. Sadar atau tidak, kita tidak menguasai dua hal ini, yakni hidup dan hari esok. Namun demikian hidup dan hari esok itu hidup dan hari esok itu bukan sesuatu yang menakutkan, karena hidup dan hari esok itu ada ditangan Tuhan sendiri, dan Tuhan sendirilah yang pasti.

Karena itu, pernyataan pengakuan ”Jika Tuhan menghendakinya”, menunjukan kedaulatan dan kekuasaan yang mutlak dari Tuhan atas hidup dan hari depan kita dengan semua seluk-beluknya. Tuhan satu-stunya pemegang hak atas hidup dan hari depan yang menyelenggarakan kehidupan manusia dengan memberikan segala yang baik dan sempurna bagi mereka (1:17). Jadi, tidak ada takdir atau nasib buruk manusia yang dia rencanakan. Orang yang beriman kepada Tuhan selalu bersedia mempertimbangkan dan menyesuaikan rencana dan kerja Tuhan. Ia selalu siap mempersilakan Tuhan menjadi penentu dan pengambil keputusan akhir, karena ia yakin bahwa rencana dan kerya Tuhan yang baik dan sempurna itu akan mendatangkan kesejateraan bagi kehidupannya, dan bagi kehidupan bersama orang lain. Pernyataan pengakuan itu juga tidak boleh menjadi sekedar sebuah simbol formalitas agamawi yang tampa makna dan penghayatan yang serius, ia harus dinyatakan dengan sikap rendah hati, dan dengan menyadari kekurangan dan keterbatasan manusiawi seseorang betapa pun berimannya dia.

Allah sebagaai penyelenggara kehidupan ini memiliki otoritas penuh atas hidup dan masa depan manusia. Seluruh hidup dan tindakannya harus dilandasi oleh pemahaman ini. Ia harus menjadi sebuah pengakuan imaniah yang dihayati dan diimplementasikan dalam hidup ini. Yakobus mengajak kita memandang hidup ini secara proposional dengan mempertimbangkan kedaulatan Allah sekaligus menyadari tanggung jawab manusia. Pemeliharaan Allah atas hidup dari masa depan kita, tetapi juga tanggung jawab kita dalam membentuk hidup ini. Apabila yaang pertama ditiadakan, maka manusia bukanlah manusia yang kita kenal sekarang, atau bila yaang kedua ditiadakan, maka fatalismelah yang berlaku. Hidup kita berada dalam pemiliharaanNya, tetapi pada waktu yang sama harus pula dikatakan bahwa manusia bertanggung jawab atas hidup dan masa depannya, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

”KEMURAHAN HATI”

Bacaan Alkitab: Lukas 6 : 36

BANYAK pengamat ekonomi sekarang ini dengan menggebu-gebu mengatakan, ” dalam era globalisasi persaingan menjadi kata kunci yang mempengaruhi kehidupan manusia karena batas-batas negara dirobohkan dan era pasar bebas makin nyata. Produk luar negeri menjadi pesaing yang lebih diminati dibandingkan produk dalam negeri. Budaya global menjadi pesaing yang lebih diminati dibanding budaya nasional. Pesaing adalah ciri dan sekaligus dampak yang mengiringi harpan dan cita-cita bersama umat manusia penghuni bumi ini untuk saling mendukung serta topang menopang”

Persoalannya, apakah ketika persaingan menjadi kata kunci yang dianggap wajar pada era globalisasi ini masih ada tempat untuk berbica tentang kemuraahan hati? Ketika persaingan sangat mudah mendorong manusia untuk merebut milik orang lain, apakah masih ada ruang untuk berbicara tentang kasih yang diwujudnyatakan dengan kemurahaan hati? Apalagi, bila pertanyaan itu diperhadapkan pada situasi polotik sekarang ini yang lebih berorientasi pada kekuasaan. Bayangkan, untuk meraih kekuasaan yag diharapkan dapat menyiarkan kemuliaan diri manusia itu, segala cara bisa dipakai utuk merebut, menyingkirkan dan menghabisi siapapun yang mencoba menghalang-halangi ambisi. Akibatnya, kemuliaan yang melekat pada kekuasaan tidak mengenal kemurahan hati, kecuali ’kemurahan hati’ untuk pamrih pribadi, atau ’kemurahan hati’, karena ’udang dibalik batu’. Bahkan, panggilan untuk bermurah hati juga menjadi sulit bila pemahaman iman kristiani hanya menekankan kemuliaan, kesuksesan dan berkat melimmpah sebagai ciri bau dalam pribadi orang beriman.

Siapakah sebenarnya si ’murah hati’ itu?, demikian pertanyaan Eka Darmaputra dalam sebuah buku yang pernah saya baca, ”Ternyata, tidak seperti sangka kita semula, mereka bukanlah orang yang mudah mengeluarkan duit dari sakunya, meneken cek dan royal memberi derma para filantropis. Mereka bukan orang yang mudah jatuh iba, lalu spontan barbagi sesuatu dengan sesama. Dermawan-dermawan seperti itu tentu kita hormati, namun bukan merekalah yang Yesus maksud”. Orang yang ”bermurah hati”, lanjut Eka, ”adalah mereka yang bersedia ’masuk’ ke situasi kehidupan orang lain, sampai ia mampu melihat dengan mata orang itu, berpikir dari prospektif orang itu, dan merasakan apa yanng orang itu rasakan”. Lebih gamblang, kemurahan hati mengandalkan kesediaan untuk mengurangi hak pribadi dalam menikkmati kemuliaan, kesuksesan dan berkat agar orang lain dapat ikut menikmatinya.

Kita cermati nas kita (ay. 36) yang bercakup dalam prikop Lukas 6:27-36 ini, yang terkesan terlalu idealis. Pertama, kemurahan hati sebagai tindakan kasih yang murah, tapi bukan ’murahan’. Kasih yang diberikan dengan rela tampa mengharapkan balasan. Kasih yang murah adalah kasih kepada orang yang tidak mengasihi kita, bahkan kepada kepada musuh, atau orang yang membenci dan mengutuk kita (ay. 27-28): Kedua, kemurahan hati sebagai tindakan kasih yang jauh dari balas demdam. Kasih dengan harga biasa adalah kasih yang seimbang, atau ’kasih timbangan’, yaitu kasih yang terjadi dalam ketersalingan. Bila orang lain tidak mau lagi bersikap dan bertindak baik, kita akan mengurangi kadar kasih kita. Bila orang melempar, kita akan menghentikan kasih sebagai balasan atas tamparannya. Bagi Yesus, sebaliknya, yaitu kasih yang menggambarkan ketidakseimbangan itu (ay. 29-30). Ketiga, kemurahan hati sebagai tindakan kasih yang agung, penuh inisiatip bukan menunggu; aktif bukan pasip; tidak hanya menanggapi tetapi bereaksi (ay. 31). Keempat, untuk memperjelas kemurahan hati itu, Yesus membandingkan dengan ’harga biasa’ dalam pergaulan hidup Manusia, yaitu tindakan tindakan kasih yang seimbang (ay. 32-35). Tapi, bagi Yesus, ”Tidaklah demikian dengan pengikutku” kemurahan hati adalah perwujudan kasih yang mengalir dari hati manusia dan dipraktekkan dalam tindakan nyata penuh kerelaan. Klimaksnya, Yesus berkata: ”Hendaklah kamu murah hati sama seperti Bapamu adalah murah hati” (ay. 36)

Ajaran Yesus tentang kemurahan hati memang tidak sejalan dengan kenyataan hidup manusia zaman itu, juga zaman sekatang ini-karena jalan yang ditawarkan Yesus adalah jalan turun, bukan jalan menanjak mencapai puncak. Apakah Yesus hanya menawarkan penderitaan? Tidak! Ia menawarkan kebahagian dan kemuliaan, namun untuk mencapainya manusia harus bersedia turun dengan menjadi pribadi baru, pribadi yang murah hati. Ada seorang mengatakan, tampa kemrahan hati, kekuasaan akan menjadi mahkota kekejaman yang menjerat pikiran manusia. Tampa kemurahan hati, kemuliaan akan menjadi benalu di hati manusia yang akhirnya melahirkan monster yang mengisap darah orang lain. Monster keserakahan yang berakar dari hati yang menginginkan kemuliaan semu. Sanggupkah kita menjadi pribadi yang murah hati?, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

”MEMILIKI INTEGRITAS”

Bacaan Alkitab: 1 : 1 – 6

KADANG, dalam praktek hidup beriman, perkataan dan perbuatan tidak selalu konsisten. Orang yang memiliki segudang pengetahuan belum tentu merupakan orang yang bisa mengatakannya, atau melakukan apa yang dia ketahuinya. Demikian pula, orang yang selalu berucap sesuatu, belum tentu perkataannya itu mencerminkan perbuatannya. Artinya, ucapan dan perbuatan orang tidak selalu persis sama. Lain halnya, orang yang memiliki integritas. Antara ucap dan tidak selalu terjembatani. Orang ini, dalam sifat dan keadaan apapun selalu menunjukan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran dalam hidupnya.

Mazmur 1 menggambarkan kehidupan orang yang memiliki integritas, walau dipertentangkannya dengan fisik. Untuk yang pertama, mereka ini disebut ’orang benar’. pada diri orang benar ini, ada kesukaan untuk mempelajari firman Tuhan. Ia merindukan kebenaran, sehingga Taurat Tuhan direnungkan siang dan malam. Namun, orang ini tidak berhenti pada sikap reflektif belaka. Ia juga menjalankan Taurat Tuhan dengan sungguh-sungguh, karena ia tidak berjalan pada jalan orang fasik, atau berdiri dijalan orang berdosa, bahkan duduk bersama pencemooh. Pengetahuan, perkataan dan perbuatannya mencerminkan kepenuhan firman Tuhan. Kualitas hidupnya dipenuhi oleh keadilan dan kebenaran Tuhan. Ciri-ciri lainnya, selain sikap an perilakunya bersih-ia juga menempatkan firman Tuhan dipusat hidupnya sebagai sumber motivasi dan menjadi penuntun dan pengarah ketika harus memilih dan menentukan prinsip hidup. Hidupnya amat berbeda dengan orang yang tidak memiliki integritas, atau dalam bahasa pemazmur di sebut ’orang fasik’.

Pemazmur mulai dengan kata ”Berbahagialah”, yang dalam kesusasteraan kebijaksanaan, merupakan eksklamasi atau seruan kekaguman. Dalam bahasa aslinya, seruan ini tidak menunjuk pada semua orang, tapi (hanya)’orang itu’, karena ada artikel ’that’ atau ’the’, lalu, siapa orang itu? Orang itu adalah orang yang melaksanakan kebenaran, dan hidupnya berbahagia. Tindakan melaksanakan kebenaran itu sendiri dinyatakan dengan, ’tidak berjalan menurut nasehat orang fasik’, ’tidak berdiri dijalan orang berdosa’, dan ’tidak duduk dalam kumpulan pencemooh’.

Di sini, ’orang fasik’ berarti orang yang tidak percaya kepada Allah, juga tidak adil (unjust). Dalam diri orang ini tidak ada kebenaran atau kejujuran. Berikut, ’orang berdosa’, adalah orang yang ’kehilangan tanda-tanda’ (to miss the mark), atau ’melanggar batas-batas’ (transgress). Jadi, orang berdosa adalah orang yang tidak mampu mengenali kebenaran Tuhan sekaligus tidak menaati perintah Tuhan. Ia tidak hanya tidak melakukan yang baik, tetapi bahkan melakukan yang jahat. Sedangkan, ’pencemooh’ adalah orang yang penuh dengan caci maki, suka melecehkan orang lain dan hatinya tidak tulus. Orang ini terbiasa dengan sikap pandai memutarbalikan sesuatu, licikdan munafik.

Apa akibat keputusan hidup dari ’orang benar’ itu? Ia seperti pohon yang ditanam ditepi aliran air. Ia tidak seperti pohon yang tampa sengaja tumbuh sendiri. Ia ditanam dan dipelihara dengan baik. Air yang menjadi sumber mekanannya bukan air mati dan keruh. Air itu mengalir terus menerus, bersih dan segar. Karenanya, pohon itu tumbuh dengan subur, menghasilkan buah pada musimnya an daunnya tak layu, sesuai dengan kodratnya, semua yang dilakukan dan menjadi tugas panggilannya selalu berhasil.

Berbeda sekali dengan keadaan ’orang benar’ kehidupan ’orang fasik’ amat menyedihkan. Kalau ’orang benar’ diumpamakan seperti pohon yang ditanam ditepi aliran air, maka ’orang fasik’ ibarat seperti sekam. Hidup dan karyanya tidak kokoh, tetapi seperti sekam yang diterbangkan angin. Ia tidak punya pijakan an landasan hidup yang pasti. Nilai hidupnya kosong, karena ia tidak mamiliki dimensi kekekalan. Orientasinya hanya terbatas pada hal-hal yang duniawi dan sementara. Ia juga tidak tahan menghadapi kumpulan orang benar dan pada gilirannya penghakiman Tuhan, tu sebabnya, oeh pemazmur dikontraskan keadaan ’orang benar’ dan ’orang fasik’. Tuhan mengenal jalan ’orang benar’ yang menuju kekekalan, sedangkan jalan ’orang fasik’ menuju kebinasaan.

Orang yang memiliki integritas selalu mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Orang seperti ini tetap bertahan menghadapi angin godaan dan panas terik permasalahan hidup. Seperti dikatakan Yeremia 17:7-8, ”Diberkatlah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan! Ia akan seperti pohon yang ditanam ditepi air, yang merambatkan akar-akarnya ketepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnyatetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghaislkan buah”, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

”TTIDAK MEMBELA DIRI”

Bacaan Alkitab: 27 : 11 – 26 (14)

WALAUPUN, topik renungan ini terletek pada ayat 14, tetapi dari keseluruhan pembacaan Alkitab tersebut memperlihatkan dengan jelas sikap Tuhan Yesus terhadap kebenaran yang diyakiniNya. Oleh karena itu pertanyaan yang harus segera dijawab sehubungan dengan ayat 14 adalah, ”Mengapa Tuhan Yesus terdiam diri terhadap tuduhan yang diajukan kepadaNya?” kalau kita mau meneliti lebih jauh, sebenarnya Tuhan Yesus bukan bngkam terhadap tuduhan atas diriNya. Dalam ayat-ayat sebelumnya (ayat. 11)-terhadap tuduhan wali negeri, ia sendiri sudah memberikan jawabanNya.

Pilatus sebagai wakil sah pemerintah Romawi saat itu hanya bisa bertanya apa yang menjadi kewenangannya, ia tak punya hak mengadili Yesus dalam soal-soal agama, selain mahkamah agama yang berhak mengadiliNya. Dalam hal ini, kewenangan Pilatus hanya menyangkut soal-soal politis, seperti muncul dalam bacaan ini, ”Engkaulah Raja orang Yahudi”, Pertanyaan ini bisa menjebak Yesus, artinya, jika Yesus menawab, ”benar, aku Raja orang Yahudi”, maka Ia dapat dikenakan tuduhan sebagai pemberontak politik, dan hukuman atas tuduhan itu tidak berbeda dengan para Zelot (pejuang politik) lainnya. Tetapi, seandainya Yesus menjawab ”Tidak”, itu berarti Ia ingkar terhadap misi kemesiasanNya-walaupun konsep mesiasnya berbeda dengan konsep mesias orang Yahudi. Perhatikan baik-baik jawaban Yesus. ”Engkau sendiri mengatakannya”. Disini, Yesus mau mengatakan, ”Benar, Akulah raja orang Yahudi”. Tuhan Yesus tau persis konsekuensi dari jawabanNya itu, walaupun kemudian Pilatus tidak berani menghukum Tuhan Yesus dengan tuduhan sebagai penjahat politik. Jadi, kalau dihadapan Pilatus, Ia berdiam diri terhadap tuduhannya sebagai mesias, Anak Allah, bukan karena ia tidak konsisten, tetapi karena Ia sudah mempertanggung-jawabkannya dihadapannya orang berwenang.

Sikap yang bertolak belakang justru terjadi pada diri Pilatus. Ia tahu tentang kebenaran. Ia juga punya kuasa untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran, tetapi ia sendiri tidak berbuat apa-apa terhadap kebenaran, kecuali mengorbankan kebenaran itu. Pilatus tahu bahwa orang Yahudi menyerahkan Tuhan Yesus untuk diadili karena kedengkian hati mereka. Dan Pilatus sendiri sebenarnya mengakui bahwa tidak ada suatu kejahatan pun yang dilakukan Yesus-termasuk dari pengalaman istrinya, bahwa Yesus adalah orang yang benar. Mestinya, Pilatus harus bersikap tegas dan konsekuen terhadap kebenaran yang diyakininya, tetapi ia tidak berbuat apa-apa untuk sebuah kebenaran, Mengapa? Demi stabilitas daerah kekuasaannya, kalau kekacauan itu semakin meluas dan tak terbendung lagi.

Pilatus khawatir kalau sampai diketahui pemerintah Romawi, bisa-bisa dicopot dari kedudukannya karena dianggap sebagai pemimpin yang tidak becus. Dan ini berarti hilanglah semua kuasa, kemuliaan dan segala fasilitas yang selama ini dinikmatinya. Demi stabilitas nasional, atau tepatnya demi stabilitas dirinya, ia korbankan kebenaran. Ia tidak berani bertanggung jawabnya. Bagi Pilatus, ”Apa artinya menegakkan kebenaran dengan akibat menimbulkan kegoncanagan? Apakah untungnya menengakan hukum bila ia mesti menggoncangkan negara? Apakah itu tindakan yang paling bijaksana? ”Menurut hemat saya, kalau saja, Pilatus mau berpikir bahwa pertimbangan-pertimbangan politik tidak semestinya berada dibawah pertimbangan-pertimbangan hukum, dapat dipastikan bahwa Pilatus akan mengubah keputusannya demi tegaknya sebuah kebenaran. Pilihan sebenarnya selalu ada. Soalnya, Pilatus cuma memiliki satu pilihan, yaitu kepentingan diri sendiri. Bagi Pilatus, begitu kuasa ada ditangannya, maka satu-satunya prinsip adalah: Live and let die. Membunuh atau di bunuh, inilah kesalahan terbasar dari seorang pemimpin seperti Pilastus.

Dunia sekarang ini membingungkan, karena banyak orang seharusnya berdiam diri tetapi banyak bicara, atau sebaliknya banyak orang yang mestinya angkat bicara, tetapi justru berdiam diri. Banyak orang Kristen hanya dipahami sebagai hukuman yang harus diterima oleh Kristus karena dosa manusia. Tapi, kita harus ingat, salip juga berarti bahwa kita harus berani menanggung konsekuensi dari suatu yang kita yakini sebagai kebenaran.

Dalam sebuah tulisan harian Kompas beberapa waktu lalu mengatakan, ”Betapa banyak omongan para pemimpin yang tiba-tiba berubah semudah orang meludah. Omongan pemimpin tidak lagi punya wibawa keteguhan yang memanacar dari kejujuran. Inilah yang menyebabkan para pemimpin di negeri ini tak dipercaya. Mulut mereka tak lagi menjadi racun”. Tapi jangan lupa, manusia akan kian cerdas menyeleksi dan menyiangi kebenaran yang orisinal dan kebenaran yang direkayasa dan diberi gincu, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

”PENGOSONGAN DIRI

SEBAGAI DASARKOMUNIKASI

Bacaan Alkitab: Filipi 2 : 1 – 11

KOMUNIKASI adalah perwujudan dari suatu komunitas. Komunitas atau peguyuban bisa berarti keluarga, jemaat maupun masyarakat. Tidak ada komunitas tampa komunikasi, sebaliknya tidak ada komunikasi yang terjadi diluar komunitas. Kualitas komunitas manusia juga ditentukan sejauh mana relasi antar manusia dalam komunikasi. Ironisnya, zaman ini yang disebut ’era komunikasi’, justru komunikasi antar manusia mengalami stagnasi. Komunikasi antar manusia tampa perjumpaan. Mungkin juga, komunikasi antar manusia tampa hati. Keluarga sebagai ’bemper’ terakhir menghadapi arus zaman bisa dilanda kemacetan komunikasi karena perjumpaan begitu sulit terjadi dalam keluarga. Jemaat, terutama jumlah anggotanya cukup besar tak jarang merasakan dinginnya komunikasi yang mereka rindukan dalam komunitas. Makanya, jangan kaget kalau diantara mereka mulai terdorong untuk mencari kehangatan komunitas di gereja lain, atau di luar gerejanya. Soalnya, kita seringkali tidak siap melakukan ’pengosongan diri’ untuk membengun komunikasi dalam cinta kasih yang sudah diterima dari Allah sendiri. Oleh karena itu, panggilan untuk belajar dari Kristus yang telah mengosongkan diriNya sendiri agar dapat berkomunikasi dengan manusia dalam rangka karya keselamatanNya, rasanya tidak dapat ditawar lagi.

Bacaan Alkitab di atas, dikenal sebagai perrikop yang begitu indah karena di dalamnya terdapat ”Nyanyian Kristus”, yang mengungkapkan dengan nyata seluruh proses pelayananNya di dunia. Ada dua cara catatan penting yang dapat kita simak dari bacaan ini.

Pertama, Paulus menasihatkan agar jemaat bersatu dalam kesatuan roh dengan dua sikap mendasar, yaitu menghargai orang lain sebagai yang lebih utama daripada diri sendiri; dan, memperhatikan kepentingan orang lain juga, bukan hanya kepentingan sendiri. Dengan dua sikap mendasar ini, jemaat dapat membangun persekutuan yang diwarnai oleh kasih mesra, sehati sepikir dalam satu kasih, satu jiwa dan satu tujuan demi pembangunan sluruh jemaat. Dalam kerangka inilah, sikap menghargai orang lain harus diperjuangkan dalam perjumpaan, pergaulan dan kehidupan bersama. Artinya, kedua sikap itu harus menjadi modal utama untuk berkmunikasi dan membangun relasi antar manusia.

Orang beriman tidak pantas menyombongkan diri sebagai manusia yang lebih utama dari orang lain, karena kita adalah orang berdosa yang perlu dikasihani Allah. Bila perasaan ’superior’ masih tetap dipelihara dan dipertahankan, apalag dalam komunitas Kristen, maka komunikasi tidak akan jalan dan persekutuan menjadi sangat rentan terhadap berbagai persoalan. Paulus sendiri mengatakan kita telah menjadi ’manusia baru’ didalam Kristus, yang tidak lagi mengarahkan hidupnya untuk ’memiliki sebanyak-banyakbya’, sebaliknya bagaimana mengarahkan hidupnya untuk hidup berbagi, dan mau memperhatikan kepentingan orang lain sehingga tumbuh subur kemanusiaan sejati demi sebuah komunitas. Apa yang Paulus katakan itu tidak sekedar nasihat etis moral dengan dasar pemikiran manusiawi, tetapi juga menjadi sikap dasar dari Allah sendiri.

Kedua, Paulus meletakkan dasar dari kehidupan komunitas, baik dalam pikiran maupun perasaan, yaitu pada pikiran dan perasaan yang terdapat dalam Kristus Yesus. Pikiran dan perasaan Kristus itu bukan sekedar ’pemikiran’ dan ’ungkapan emosi’ dari Kristus yang diterima sebagai ajaran melainkan seluruh kehidupan Kristus itu sendiri. Madah Kristus itu mau dipakai Paulus untuk menyatakan bahwa pikiran dan perasaan Kristus tidak dapat dipisahkan, bahkan ditentukan oleh seluruh kehidupanNya melalui tindakan pengosongan diri dengan mengambil rupa seorang hamba. Jadi, Yesus yang kita kenal lewat Injil telah menyatakan diriNya sebagai hamba yang mengorbankan nyawaNya bagi kepentingan orang banyak. Ia tidak memenuhi diriNya dan seluruh hidupNya dengan keinginan dan rencananya sendiri, tapi Ia memberi tempat yang begitu luas bagi manusia dan kepentingan hakiki manusia, termasuk ’orang-orang pinggiran’ yang sering terabaikan oleh sesamanya. Inilah makna pengosongan diri yang dipentaskan Yesus melalui seluruh kehidupanNya.

Mengosongkan diri adalah prasyarat untuk hidup bersama dan berkomunikasi. Bila sikap dan tindakan pengosongan diri Kristus yang demikian agung itu diterapkan dalam kehidupan jemaat, dan kehidupan bersama umat manusia, kita akan sanggup mengesampingkan keinginan dan rencana sediri demi tersedianya tempat bagi orang lain. Tempat yang tersedia dalam hati dan hidup yang beriman itu berupa penerimaan terhadap orang lain sebagai sesama, bahkan tempat bagi komunikasi-apakah itu dalam keluarga, jemaat maupun masyarakat. Itu sebabnya, pengosongan diri akan memampukan kita menerima orang lain dan memperhatikan kepentingan orang lain dan memperhatikan kepentingan orang lain sebagai dasar komunikasi antar sesama, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

”KEADILAN MEMBAWA DAMAI SEJATERA”

Bacaan Alkitab: Amos 2 : 6 – 16

ZAMAN ini, banyak orang Kristen yang melihat kesejahteraan (kemakmuran) dan kedamaian hatinya secara pribadi sebagai tanda kehidupan yang berkenan kepada Allah. Mereka menyakini bahwa semua itu terjadi karena mereka mengenal dan percaya kepada Tuhan. Pendapat itu manusia bisa saja benar, kalau pengenalan dan kepercayaan itu membawa mereka untuk menjadikan Tuhan sebagai pusat dan pengatur kehidupannya. Tetapi pandangan itu menjadi keliru, kalau ternyata yang menjadi pusat kehidupannya adalah dirinya sendiri, dan Tuhan sekedar ’ban serep’, atau penolong yang ’sakti’ untuk memuaskan pikiran dan keinginannya sendiri. Tuhan memang berkarya untuk mendatangkan sukacita dan damai sejatera bagi manusia. Malah, kita sebagai orang-orang yang dipilihNya-dipanggil untuk ikut serta dalam karya keselamatan Tuhan-memperjuangkan keadilan ditengah ketidakbenaran, dan menyampaikan damai sejatera bagi manusia.

Ini juga terjadi sewaktu Yerobeam II berkuasa di Israel Utara, dan Amos dipanggil Tuhan untuk menyampaikan berita hukuman atas bangsa itu. Kerajaan Israel dibawah pemerintahan Yerobeam II-juga semasa Amos bertugas disana, berada dalam keadaan baik. Stabilitas politik terkendali karena kekuatan bangsa Aram telah dipatahkan, sementara kekuatan bangsa Asyur waktu itu belum muncul, pertumbuhan ekonomi secara nasional cukup memuaskan. Akan tetapi, gambaran stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang kondusif itu, tidak berarti menjamin adanya pemerataan kesejahtraan seluruh warga Israel. Mereka yang menentukan ’nasib’ bangsa itu-baik pemimpin politik maupun agama, termasuk orang-orang yang kaya waktu itu mendapat kemakmuran yang berlebihan, sedangkan rakyat kecil tetap menderita, bahkan mereka sering dperlakukan sebagai ’sapi perah’ demi kepentingan mereka yang ’kuat’ itu.

Perhatikan teguran keras Amos, Beginilah firman Tuhan: ”Karena tiga perbuatan jahat Israel, bahkan empat, ....”, mengungkapkan kejahatan Israel yang kelewat batas di mata Tuhan. Pertama, mereka mejual orang benar-orang yang tidak bersalah karena uang dan orang miskin karena sepasang kasut. Ini berkaitan utang-piutang, dimana yang berhutang tidak dapat membayar hutangnya yang sudah disepakati bersama, tetapi sipemberi hutang tidak peduli, lalu menjual si terhutang sebagai budak untuk melunasi hutangnya. Sedangkan, orang miskin jelas tidak mampu membayar hutangnya, ia pun mengalami nasip ’dijual sebai budak untuk membayar hutangnya’ walau hutang itu hanya seharga ’sepasang kasut’. Kedua, mereka menginjak-injak kepada orang lemah ke dalam debu, dan membelokan jalan orang sengsara. Orang-orang lemah yang sering menderita karena kebodohannya tidak perlu ditolong, tetapi menjerumuskannya (membengkokan jalannya) agar tetap sengsara. Dalam tradisi Yahudi, ’kepada yang diinjak dalam debu’ mengungkapkan tindakan yang menjerumuskan orang ke dalam kesedihan dan penderitaan.

Ketiga, anak dan ayah pergi menjamah seorang perempuan muda sehingga melanggar kekudusan namaKu. Ini bukan perbuatan incest, tetapi mengungkapkan bahwa, baik ayah atau anak sama saja-mereka bisa pergi kepada seorang perempuan muda, yaitu seorang ’pelacur sakral’ dalam ibadah kafir-jadi melanggar kekudusan namaKu. Keempat, mereka merebahkan diri disamping setiap mezbah diatas pakaian gadaian orang, dan minum anggur orang-orang yang kena denda di rumah Allah mereka. pakaian orang miskin yang digadaikan, adalah satu-satunya pembalut tubuh orang itu untuk menghadapi dinginnya malam. Tetapi, mereka dengan nyaman berbaring(merbahkan diri) diatas pakaian orang yang kedinginan. Kemudian, lanjut Amos, kepada merekaAllah memberikan nabi dan nazir untuk pelayanan bagi Tuhan, tetapi mereka ’membungkam’ para nabi, dan mengagalkan pelayanan para nazir bagi Allah. Itu sebabnya, murka Allah pasti terjadi, karena di hadapan Allah tidaklah mungkin tercipta damai sejahtera tanpa keadilan yang merata bagi kemakmuran warga Israel.

Apakah Anda cukup menyediakan waktu bagi orang miskin yang membutuhkan pendampingan Anda agar terlepas dari usahanya yang terus merugi? Beranikah anda membantu, atau membagi keahlian Anda untuk membuat usahanya berhasil? Apakah Anda pernah berpikir untuk membantu dan membela mereka, yang karena keterpaksaan, olah kelemahan atua kebodohannya, selalu menjadi korban pemerasan orang mampu? Ini hanya beberapa pertanyaan refletif dari permasalahan hidup sehari-hari. Janganlah sampia terjadi, Tuhan menilai kita sudah melakukan ”tiga perbuatan jahat, bahkan empat” lalu menjatuhkan hukumanNya. Kalau itu yang terjadi,baiklah kita coba amati benar hidup kita dan memperbaikinya, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

”TIADA BADAI YANG TAK BERLALU”

Bacaan Alkitab: Markus 4 : 35 – 41

TIADA seorang pun yang hidup di dunia ini tanpa persoalan. Setiap orang mempunyai masalah-nya sendiri-sendiri. Demikian pula, setiap keluarga mempunyai salipnya masing-masing, entah sangkut pautnya dengan persoalan keuangan, kesehatan, pekerjaan, relasi dengan orang lain, dan sebagainya. Lalu, menghadapi beragam persoalan tersebut, tak jarang orang merasa putus asa dan cemas-bahkan tak jarang pula orang ingin keluar dari kemelut hidupnya. Caranya bisa berbeda-beda. Menyelesaikan sendiri persoalan hidupnya, atau meminta bantuan orang lain, walau kenyataannya tidak setiap orang bisa menolongnya secara tuntas, malah mungkin merumitkan lagi. Dalam komitmen orang beriman, kita juga berdoa dan menyerahkan seluruh beban hidup kepada Tuhan, meskipun dengan sejujurnya kita menyadari, betapa tidak mudahnya percaya, apalagi mempercayakan diri kepada kuasa Tuhan, karena pikirang galau dan kecemasan hidup acap kali masih mengganggu kita. Namun, sabdaNya selalu mengingatkan kita terus-menerus, ”tidak ada yang mustahil, bagi yang percaya”. Ia tetap hadir dalam kisi-kisi kehidupan kita.

Bacaan Alkitab ini merupakan persiapan untuk kisah selanjutnya, yaitu tentang pengusiran roph jahat dari orang Gerasa. Rasanya, bukan tanpa kebetulan, jika Yesus mengajak para murid menyebrang danau, apalagi hari sudah petang, dan bukankah ajakan Yesus ini dapat menimbulkan pertanyaan; ”Mengapa Ia tidak beristirahat saja ketimbang menyebrang danau petang hari? Bukankah sebentar lagi malam pun tiba, dan dalam kegelapan orang tidak dapat berbuat apa-apa? Bukankah itu merupakan suatu perjalanan yang membahayakan?” yesus bertolak ke sebrang, ke daerah Gerasa dengan maksut tertentu, yakni membebaskan orang yang dirasuk roh jahat di sana. Ini menunjukan bahwa tindakan Yesus merupakan perwujudan dari misiNya ke dunia-mewartakan ”kabar baik” dan membebaskan manusia dari kuasa dosa.

Tidak ada komentar dan keluhan murid-muridNya. Bisa dipastikan dan sebagai nelayan, mereka tidak asing dengan kehidupan danau. Mereka segera maninggalkan orang banyak dan bersama Yesus bertolak ke seberang-sementara orang banyak ikut menyertai Yesus dalam perahu mereka. Rupanya, orang banyak itu masih ingin mendengar pengajaran Yesus, karena cara Yesus mengajar berbeda dengan para ahli Taurat mengajar. Yesus mengajar dengan penuh kuasa, tidak seperti mereka. Ternyata, tampa diduga datanglah angin taufan yang dahsyat menghantam perahu mereka. menarik untuk disimak bahwa goncangan perahu yang sangat keras akibat badai taufan dan amarah ombak itu, Yesus malah tertidur pulas dan tidak menyadari bahaya mengancam? Apalagi, angin taufan yang menerpa perahu murid-murid itu lebih hebat daripada yang biasa-ini terbukti dari keterangan mengenai perahu yang hampir penuh air dalam waktu singkat. Agknya Yesus tertidur karena Ia merasa aman. Ia yakin benar bahwa BapaNya tetap menjagaNya dari bahaya. Namun, ditengah situasi genting itu, para murid tidak sanggup menerima kenyataan sampai mereka berseru kepada Yesus; ”Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?” Yesus menunjukan kuasaNya atas alam. Dengan sabdaNya yang berkuasa itu danau pun menjadi tenang. Ketenangan hatiNya mengalahkan kekacauan alam, termasuk hati para muridNya menjadi tenang. Masalah yang dihadapi murid-muridNya berakhir sudah, karena kehadiran kuasaNya. Yesus menegur murid-muridNya; ”Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidakp percaya?” Ia menghubungkan ketakutan dengan sikap tidak percaya. Bagi Yesus, orang yang takut adalah orang yang tidak percaya. Sebaliknya, orang yang percaya tidak akan cemas dan takut menghadapi bahaya badai apapun, dengan perkataan lain, Yesus meu mengatakan kepada murid-muridNya: ”Di manakah imanmu, sehingga kamu begitu takut menghadapi kuasa roh jahat yang menyatakan diri melalui bencana badai itu?”

Pikiran galau, dan perasaan takut menghadapi berbagai persoalan hidup mesti diakui dan tidak usah disangkali. Tidak ada seorang pun yang tidak yang tidak pernah merasa cemas dan takut ketika menghadapi badai-badai apapun dalam hidupnya. Adakalanya, segala kemampuan kita tidak mencukupi untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Sebagai orang beriman, kita tidak boleh melupakan bahwa kita memiliki Tuhan Yesus dalam hidup ini. Kita percaya bahwa Ia selalu bersama kita, tapi seperti pengalaman murid-muridNya, kadangkala kita juga merasa bahwa seolah-olah Yesus tidak peduli dengan keadaan kita. Kita sudah berjuang keras menghadapi salip-salip dalam hidup ini, namun Tuhan tetap membisu dan tidak menolong kita. Situasi demikian, bukan tak mungkin, membuat kita kehilangan harapan. Lalu, dengan kesal dan ’boto-boto tak karuan’ kita berkata: Tuhan, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?”

Hentikan ’mengomel’ dengan Tuhan, sebab itu bertanda kurang beriman. Jangan pernah lalai berseru kepada Tuhan, seperti kata pemazmur. ”Tuhan dekat pada setiap orang yang berseru kepadaNya.

......”(Maz. 145:18). Ingat! Badai kehidupan bisa terjadi kapan saja, dan pada siapa saja, tapi bagi orang beriman: ”Tiada badai yang tak berlalu atas kehendakNya”, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

“KEKANGLAH LIDAHMU”

Bacaan Alkitab: 3 : 1 – 12

EDITORIAL Media Indonesia pernah menurunkan sebuah rangkaian kata dan gaya yang bersangkut-paut dengan lidah, dibawah topik ”Racun Inkonsistensi”-dalam tayangan METRO TV beberapa tahun lalu: ”lidah para pemimpin kita memang tak bertulang. Mereka menjadi amat kampium dalam hal bersilat lidah. Dan, ciri yang menonjol dari para jago bicara ini adalah inkonsistensi. Meski negara dalam keadaan gawat darurat dan perlu pertolongan segera, tindakan yang muncul bukanlah bagaimana menyembuhkannya tetapi perang statement, obral pernyataan”. Persis, seperti penyanyi legendaris asal Ambon, Bob Tutupoli, dengan lagu hitnya berjudul ”memang lidah tak bertulang”-paling tidak mengingatkan kita tentang bahayanya lidah, menjadi sumber dosa, kalau tidak dikontrol dengan baik.

Sekalipun berukuran kecil, lidah merupakan bagian dari tubuh manusia yang berguna sebagai indra pengecap, perasa, atau untuk kata-kata sebagai organ untuk berkata-kata. Lidah memiliki peran penting dalam proses komunikasi antar individu. Adalakanya, dengan tampa sengaja manusia mengeluarkan kata-kata yang tidak bermanfaat, bahkan merugikan banyak orang, seperti mambicarakan kekurangan orang lain, menebar fitnah, memprovokasi masa untuk tindakan-tindakan anarkis, atau menyebarkan ajaran sesat yang menjerumuskan. Lidah, walaupun letaknya sangat tersembunyi dan dijaga sebarisan gigi-gigi yang kuat, namun seringkali keluar dari persembunyiannya dan membuka pagar-pagar yang kuat itu, kemudian membongkar rahasia-rahasia yang tersembunyi.

Bacaan Alkitab tadi dimaksudkan untuk mengingatkan jemaat agar waspada terhadap lidah sehingga tidak jatuh kedalam dosa karena kegagalan mengendalikannya. Penekanan perikop ini bukan pada larangan menjadi guru, melainkan pada pengendalian lidah. Yakobus menerima keadaan dirinya sebagai guru, namun dengan rendah hati ia mengatakan bahwa kita semua bersalah dalam banyak hal. Dengan menjelaskan kemampuan lidah untuk mempengaruhi dan menguasai tenaga, pikiran, perkataan, atau segala potensi lainnya, Yakobus memberikan beberapa contoh, Pertama, kuda merupakan hewan besar yang memiliki tenaga kuat. Kuda liar yang belum jinak tentu berbahaya dan tidak gampang ditukangi. Lain halnya bila pawang kuda berhasil memaang kekang, maka kuda itu dapat dikendalikan, dan menjadi hewan tunggangan yang aman. Kedua, kapal ditengah laut yang memiliki bobot mati berton-ton. Tampaknya, manusia mustahil mengendalikan jalannya kapal, tetapi para teknisi telah menciptakan sistem mekanik sedemikian rupa hingga seorang jurumudi dapat menguasai kapal hanya dengan memutar kemudinya. Kedua contoh diatas merupakan perbandingan terbalik. Artinya sesuatu yang besar tidak otomatis mengendalikan yang kecil, justru yang kecil dapat mengendalikan yang besar. Tubuh manusia belum tentu dapat mengendalikan keseluruhan tubuh. Ketiga, api kecil memang dapat membakar hutan, terutama dihutan tropis pada musim kemarau. Dalam hal ini , Yakobus menyejajarkan lidah dengan api. Keempat, binatang liar, burung, binatang menjalar, dan binatang laut. Semua binatang itu dapat dan telah dijinakkan oleh manusia. Masalahnya ialah tidak seorangpun berkuasa menjinakkan lidahnya sendiri. Jadi, lidah itu buas, tak terkuasai, dan mengandung racun mematikan. Karena itu, manusia mesti waspada dan berusaha keras agar dapat mengendalikan lidah, minimal bisa mengurangi akibat negatifnya.

Namun demikian, bagi Yakobus masalah sesungguhnya, bukan lidah, melainkan pikiran, menjelaskan hal itu, Yakobus menunjukan tiga contoh, yaitu sumber air tawar tidak mungkin mengeluarkan air pahit. Pahon ara tidak mungkin berbuah zaitun. Pohon anggur tidak mungkin berbuah ara. Mata air asin tidak mungkin memancarkan air tawar. Maksudnya, segala yang dipancarkan mata air, atau dihasilkan pohon pasti sama dengan sumbernya. Tetapi apa yang mustahil dalam hukum alam justru terjadi dalam dalam hidup manusia. Terbukti, bahwa manusia dapat menggunakan lidah untuk hal[ yang baik sekaligus jahat. Kalau dengan lidahnya seseorang bisa memuji Tuhan sekaligus mlengutuki sesama, maka yang bermasalah bukan lidah melainkan otak. Jadi, upaya menguasai lidah sebenarnya tidak lain dari upaya mengendalikan pikiran. Orang yang mampu mengendalikan akal budi niscaya akan mampu menguasai seluruh tubuh, termasuk mengekang lidahnya. Semua kata-kata yang keluar dari mulut berkaitan dengan pengendalian lidah berarti mengendalikan seluruh diri dan kehidupan. Kekanglah lidah anda, supaya tidakp keluar dari persembunyiannya, lalu membuat gosip, fitnah, atau kutukan-kutukan pahit, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

”MEMONISME”

Bacaan Alkitab: 1 Timotius 6 : 2b – 10

MAMON bukan nama dewa, melainkan kata yang menunjuk pada harta benda atau kekayaan materi. Jadi, mamonisme adalah paham yang mengajarkan, bahwa uang harta itulah yang menjamin kelansungan hidup dan kesejateraan manusia. Paham ini, tentu saja ada unsur kebenarannya, artinya tampa uang atau harta, hidup ini akan menghadapi kesulitan. Dalam hal ini, uang masih diliat sebagai sarana bagi kepentingan manusia. Tetapi, paham ini melupakan unsur kekuatan uang yang berpotensi merusakan kehidupan manusia, bila uang itu diliat sebagai tujuan, dan bukan alat untuk mencapai tujuan.

Dalam keseharian hidup, tampak bahwa harta benda atau kekayaan meteri memiliki kekuatan yang dasyat untuk memperbudak manusia. Demi uang manusia bersedia menyerahkan dan membuktikan seluruh hidupnya, bahkan dapat melakukan segala macam perbuatan yang merusak diri, dan kehidupan bersama. Uang atau harta dapat membuat orang bersaudara saling berebut dan bermusuhan. Perbedaan kepemilikan harta atau uang yang mencolok bisa juga membuahkan kecemburuan soaial dengan segala dampaknya, seperti kebencian, penjarahan atau pembunuhan.

Itu sebabnya, uang atau harta sering dipersonifikasikan sebagai ’tuan’ atau ’dewa’ yang kuat dan destruktif. Personifikasi ini mestinya mengingatkan manusia, bahwa uang atau harta itu sangat berpotensi menghasilkan kerusakan, kejahatan dan penderitaan. Manusia tidak mampu hidup selaras dengan kesadarannya, malah menyerahkan diri kepada mamon. Mereka telah jatuh pada kebodohan dalam mamonisme. Mereka tidak waspada sehingga membiarkan dirinya dihancurkan oleh kekuatan uang atau harta. Celakanya, mereka tetap merasa tidak peduli, dan karena itu sulit mendengar suara bijak yang dapat menyadarkannya.

Konteks bacaan Alkitab di atas berisikan pesan Paulus kepada Timotius tentang konsekuensi-konsekuensi iman bagi hidup jemaat dan pribadi, ditengah kecenderungan guru-guru sesat yang mengajarkan ajaran lain. Menurut Paulus, pengajaran yang baik, bila didasarkan atas perkataan Tuhan kita Yesus KristuS, dan diarahkan kepada penghayatan iman dalam hidup sehari-hari sesuai dengan ibadah kita. Berbeda dengan para guru sesat yang dikritik paulus sebagai ”tidak tahu apa-apa”, walau menganggap dirinya lebih pintar dari pada orang lain. Mereka ini suka menciptakan masalah dan bersilat kata. Tidak heran, dalam suasana semacam ini, dimana yang satu memandang yang lain rendah, dapat dimengerti kalau timbul dengki, cidera, fitnah, curiga dan percekcokan.

Guru-guru sesat itu tidak lagi berpikiran sehat, karena budinya tidak lagi berfungsi baik dan kehilangan kebenaran. Mereka ini, kata Paulus, tidak melakukan ibadah dengan motivasi yang benar, melainkan dengan cara-cara yang egois untuk mencari kehormatan, atau mencari keuntungan materiil, karena mengira ibadah itu adalah sumber keuntungan. Paulus sendiri menganggap imbalan itu layak, tapi ada bahayanya juga, bila imbalan itu dijadikan motivasi untuk pelayanan mereka.

Namun, bagi Paulus, ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar motivasi pelyanan. Maksud Paulus, keuntungan besar di sini mengandung arti rohani, seperti dikatakan pada bacaan sesudahnya, ”Ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini, maupun untuk hidup yang akan datang” ( I Tim 4 : 8 ). Akan tetapi, rasa cukup itu tidak merupakan syarat untuk memperoleh keuntungan rohani, melainkan akibat dari keuntungan itu. Artinya, bilamana orang sudah merasakan ibadah sebagai keuntungan rohani yang besar dalam hidupnya, ia tidak lagi memburu kekayaan harta secara berlebihan. Karena akar segala kejahatan adalah cinta harta, dan oleh kecintaannya pada harta, banyak orang yang menyimpang dari imannya.

Nasehat Paulus kepada Timotius ini, sebenarnya bertolak dari pengalamannya sendiri, ”Aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan, yaitu baik dalam kelaparan maupun kekurangan. Karena segala perkara dapat kutanggung didalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” ( Flp 4 : 11 dst ). Kesanggupan Paulus menyesuaikan diri dan ”merasa cukup” dalam segala keadaan ialah karena Kristus memberikan kekuatan kepadanya. Di dalam Kristus ia memiliki suatu kekayaan yang jauh melebihi segala kekayaan dunia, sehingga ia merasa cukup dengan apa yang diterimanya, tidak berkeinginan mengejar kekayaan materiil.

Mamon memiliki kekuatan melumpuhkan akal sehat manusia. Harta yang sebenarnya merupakan sarana bagi kepentingan manusia, justru lebih sering menguasai dan memperbudak manusia. Karena itu, sekalipun pengalaman dan akal sehat manusia menyatakan bahaya cinta harta, manusia tetap memilih untuk menyerahkan diri dan hidup kepada mamon. Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

” KEJENUHAN ”

Bacaan Alkitab : Pengkhotbah 1 : 1 – 11

Hidup dalam kegiatan yang sama, berulang-ulang, dan selama bertahun-tahun, bisa menimbulkan kejenuhan. Dan jenuh itu jemu, atau bosan. Situasi dan kejadian yang sama terulang dari masa ke masa, tidak ada yang baru. Hidup dalam siklus kejadian yang rutin sangat melelahkan batin manusia. Orang sering mengomentari tugas penjaga persimpangan kereta api dan jalan raya. Apa orang itu tidak jenuh? Pekerjaannya itu-itu saja. menutup dan membuka palang, duduk menanti kereta berikutnya, lalu berdiri lagi untuk menutup dan membuka lintasan kereta. Atau, seorang petani yang menghadapi sawah yang sama, cara dan alat kerja yang sama, siklus musim menanam dan menuai yang sama, dan jenis tanaman yang sama pula. Pergi ke sawah pagi hari, sorenya pulang melalui jalan yang sama. Besoknya terulang lagi, dan berlangsung bertahun-tahun.

Coba ambilkan sepotong kain, misalnya sapu tangan, teteskan air di atasnya dan amati. Kain akan menyerap air sampai semuanya menjadi basah. Kemudian terlihat air menetes dari kain jika air terus ditambahkan padanya. Mengapa? Kain itu sudah jenuh, penuh, dan kenyang. Ia tidak mampu lagi menampung air. Begitulah banyak orang dalam hidupnya. Kenyang dan bosan menghadapi hidupnya yang sama, rutin, tidak ada hal baru yang dirasakannya. Dan hal itu membuat kita malas dan tidak bergairah untuk berprestasi. Ada orang mencari pekerjaan lain demi penyegaran hidup.

Inilah yang dikatakan penulis kitab pengkhotbah, dengan menyebut para petani atau orang desa pada zaman dulu di Israel. Mereka melihat segala sesuatu secara global. Tidak ada yang baru. Matahari bergerak tiap hari dari Timur ke Barat. Angin berhembus pada pagi hari dari tempat rendah ke atas bukit. Sungai mengalir dari pegunungan ke laut. Perkawinan, kehamilan, kelahiran, dengan segala upacara dan adat tentang semua itu diulang-ulang dengan alat-alat yang sama. Lagu-lagu dalam upacara tidak berubah. Sejarah manusia, peristiwa alam terulang dengan cara yang sama. Karya-karya manusia pun hanya pengulangan dari apa yang sudah pernah ada. Mereka hafal betul dengan semua itu, dan tertarik dengan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan secara detail. Siklus ini terpatri dan menyatu dalam ingatan mereka.

Jadi, tidak mengherankan kalau mereka pada umumnya tidak menangkap bahwa sebenarnya tidak pernah ada pengulangan yang persis sama. Suasana hati tidak selalu sama pada saat bangun pagi; suara yang terdengar pertama kali hari itu mungkin juga berbeda dengan sehari sebelumnya. Kejadian-kejadian sebenarnya selalu memberikan pengalaman baru, mungkin bertemu dengan orang yang berbeda pada pukul 10.00 kemarin dengan pukul 10 hari ini. Begitu pula senang-susah; sehat-sakit; gembira-marah; datang bergantian. Termasuk juga, persoalan-persoalan yang muncul dalam pekerjaan, bisa saja berbeda dalam detailnya, untung-rugi; cepat-lambat; sukses-gagal; atau hujan panas.

Ada tantangan bagi kita untuk menyegarkan kehidupan ini agar terhindar dari segala kejenuhan. Kita membutuhkan kehidupan yang segar, seperti tanaman segar untuk bertumbuh. Kita tidak seperti orang kuno yang melihat segala sesuatu secara garis besar sehingga semuanya menjadi rutin dan sama. Kita sudah terlatih mengamati situasi dan kejadian-kejadian secara detail. Dan mungkin kita melihat hal yang berbeda dan selalu baru. Pengalaman kita bekerja, menghadapi dan menggumuli situasi rumah tangga, pergaulan sehari-hari senantiasa menjadi indah dalam penyelenggaraan Tuhan ( 3 : 11 ). ”Indah bisa berarti” bisa berarti tepat, sesuai dan cocok. Tuhan membuat segala sesuatu tepat dan sesuai pada waktunya. Apakah kita menangkap hal itu? Bukankah perbuatan Tuhan dalam menjadikan segala sesuatu indah, patut ditangkap dan dirasakan. Artinya, apabila kita berdiam diri atau bergiat, senantiasa memandang hidup kita dengan irama penanganan Tuhan, maka segala sesuatu menhadi indah, dan bukan sebaliknya merasakan kejenuhan dan melelahkan.

Kita tidak berteriak ”sia-sia aku berjerih payah!”. kata Pengkhotbah: ”Tuhan menaruh kekekalan dalam hati kita”. Di sini, orang dapat merasakan dan menyadari karunia dan kelimpahan dari Allah, lalu menikmati semua hasil jerih payah. Ia makan dan minum dengan senang dan penuh sukacita. Bumi yang baik ini, penuh dengan kelimpahan dan karunia dari Tuhan. Dan, manusia adalah yang paling berkesempatan menikmatinya. Itu suatu hikmat dan pengetahuan, kalau manusia merasakan menerima kelimpahan dari Allah. Di dalam hatinya hal itu menjadi nilai yang kekal. Sementara orang berdosa (bodoh tidak berhikmat) tetap saja menjaring angin, bahkan hasil jerih payahnya diserahkan kepada orang benar. kiranya persekutuan yang benar dengan Tuhan dapat memberi hikmat untuk menangkap perbuatanNya yang menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya. Dengan demikian, kita dapat berkata dan mengalami, bahwa betapa indah hidup ini, walau kejenuhan sering datang menatapnya. Amin

Renungan Ibadah Rumah Tangga

” PERSEMBAHAN YANG MENJADI BERKAT”

Bacaan Alkitab : Galatia 5 : 16 – 26

Banyak khotbah seputar persembahan acapkali menekankan kewajiban orang beriman untuk selalu mengucap syukur kepada Tuhan. Tuhan telah melimpahkan berkatNya, sehingga patut kita mengucap syukur melalui persembahan yang kita berikan kepadaNya. Lebih lagi, persembahan Kristen adalah partisipasi dalam pelayanan Kristus. Makanya, Ia adalah anugerah, karena panggilan untuk ambil bagian dalam pelayanan Kristus adalah sesuatu yang istimewa dan luar biasa. Dan ini merupakan suatu pengakuan puji-pujian kepada kemurahan yang tak terbatas, yakni kemurahan Allah, yang telah memberi segala sesuatu untuk keperluan anak-anakNya di bumi. Bahkan, di dalam Yesus Kristus, Allah, pencipta dan pemilik itu telah memberikan diriNya sendiri bagi keselamatan umatNya. Kita memberi bukan supaya untuk manerima, melainkan karena kita telah menerima. Sebab itu, tak ada sikap yang lebih tepat dalam memberi selain dari sikap pengucapan syukur. Karena segala-galanya kita menerima dari Allah sebagai karunia, malah kesempatan dan kemampuan memberi itu pun adalah karunia yang Tuhan berikan kepada kita.

Terlepas segala hal diatas, saya berpikir, itu semua berpangkal dari motivasi – apa yang ada di dasar nurani seseorang. Memang, Allah sangat memperhatikan dorongan hati manusia. Allah tidak menilai seseorang dari pakaian yang dikenakannya, tapi pada pribadi yang ada dibaliknya. Ia tidak menilai seseorang dari tindakan apa yang dilakukannya, tapi dari dorongan apa yang ada di balik perbuatannya. Ada tindakan yang kelihatan suci, tapi di dorong oleh motivasi yang salah. Bagi Allah, salahlah nilainya. Tapi, ada juga tindakan yang nampaknya salah – karena tidak sesuai dengan kelaziman, namun dilakukan karena motivasi yang suci. Bagi Allah sucilah nilainya.

Lalu, bagaimana manfaatkan persembahan jemaat agar menjadi berkata bagi pelayanan? Sebagai penatalayan Allah, adalah tugas kita membagi-bagikan harta benda Allah bagi keperluan keluarganya di bumi ini. Apa yang kita berikan kepada sesama kita yang butuh, sebenarnya kita berikan apa yang mereka punya. Sebaliknya, kalau kita menyimpan apa yang orang lain butuhkan untuk kepentingan kita sendiri, maka kita menginjak-injak haknya. Dan, bukan hanya itu, kita juga menentang keadilan Allah. Kita perlu menyadari bahwa status pemilikannya bukan sebagai sesuatu yang mutlak bagi kita, tapi sebagai kepercayaan saja yang Allah berikan kepada kita guna dipakai untuk melayani maksudNya.

Elisa adalah seorang nabi yang menggantikan Elia, pendahulunya. Namun, Elisa bukanlah Elia. Elisa juga mendapat kuasa dari Allah yang sama yang telah memberkati Elia. Kisah tentang memberi makan kepada seratus orang merupakan pengalaman yang unik bagi Elisa. Seseorang dari Baal-Salisa membawakan Elisa roti hulu hasil, yaitu dua puluh roti jelai, serta gandum baru dalam sebuah kantong. Rupanya, sudah menjadi kelaziman yang dikenal luas bahwa seorang abdi Allah menerima pemberian dari umatNya. Orang yang membawa roti itu tidak dikenal identitasnya. Mungkin ia salah seorang murid Elisa. Atau, mungkin ia pernah merasakan pertolongan dari sang nabi ( band. II raj. 4:1-7 ; 38-41), sehingga ia merasa berhutang budi dan ingin mengucap terima kasih kepada Elisa. Tentu saja, semakin besar pertolongan yang diberikan, semakin besar pula ucapan syukur dan rasa terima kasihnya.

Dan, bersama-sama dengan Elisa ada seratus orang yang tampaknya belum makan, dan merasa lapar. Elisa segera menyuruh Gehazi, peleyannya, menyuguhkan roti pemberian orang tadi kepada para tamunya. Gehazi meragukan persediaan roti buat tamu sebanyak itu. Tetapi, Elisa tetap percaya bahwa roti itu cukup bahkan berlebih. Inilah keyakinan Elisa kepada Tuhan yang telah berfirman padanya.

Cerita nabi Elisa menjadi pengalaman menarik bagi orang percaya untuk direnungkan dan diberlakukan dalam hidupnya, maupun dalam komunitas berjemaat. Gereja yang hanya ingat kepentingan sendiri pasti kakn selalu berkekurangan. Seperti komentar seorang teolog : ”Jangan hanya pandai berkhotbah dan berteriak : Berilah persembahanmu kepada Tuhan, tetapi juga jadikanlah persembahan umatMu itu ibarat saluran berkat bagi orang lain”.

Saya, lalu jadi teringat, sebuah lembaga internasional – World Vision Internasional (VWI)- konon sebuah lembaga nirlaba yang menggantungkan hidupnya hidupnya 100% kepada para dermawan di seluruh dunia. Mengapa lembaga ini bisa berkembang dan memiliki tenaga kerja yang cukup besar?-padahal lembaga ini tek pernah menuai keuntungan material dari hasil kerjanya. Kuncinya, karena mereka menyediakan diri sebagai saluran berkat tuhan bagi orang lain, dan karena itu banyak orang Kristen tergerak ikut dalam misi yang agung itu untuk menolong sesama hidup yang masih menderita tampa harapan yang pasti, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

”HIDUP DAN DIPIMPIN OLEH ROH”

Bacaan Alkitab: Galatia 5 : 16 – 26

TOPIK seputar roh kudus, memang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan, bahkan diperdebatkan, terkesan adanya pertikaian dan kontroversi paling alot diantara umat Kristiani sendiri. Antar gereja saling tuding-menuding, atau dilingkungan jemaat sendiri bisa terjadi tuduh menuduh. ”kamu tidak memiliki Roh kudus”, ”Gereja Anda belum ada Roh kudus”. Pertanyaan sederhana yang diajukan Eka Darmaputra: ”siapa yang senang melihat suasana seperti itu? Setan! Iblis senang dengan orang Kristen saling berkelahi dan saling menghancurkan sesama sendiri. Iblis tidak perlu kerja keras lagi, tidak perlu susah-susah dihancurkan, karena orang Kristen sendiri sudah saling menghancurkan”.

Saya melanjutkan renungan ini dengan sebuah pertanyaan teologis. Apa artinya hidup oleh Roh: ”Keinginan Roh” atau ”keinginan daging?” Istilah-istilah khas Paulus ini kadang menimbulkan pemahaman dikotonis yang keliru. Roh dan daging sering dipahami dalam bingkai ontologis-artinya eksistensi manusia terpilah dua, yaitu daging dan roh. Manusia harus hidup oleh Roh. Daging itu dosa, karena berbau nafsu dan kesenangan; dan Roh itu suci, berarti segala sesuatu yang spiritualistik dan bermoral, karena memang berasal dari Allah. Orang Kristen harus berpikir secara surgawi, tidak boleh duniawi. Tapi, ingat, kekristenan seperti ini bukan khas pemikir teologis Paulus. Paulus sendiri malah menentangnya.

Sadar atau tidak, corak pemikiran ini juga masih mewarnai kekristenan di GMIT. Sebagian warga kita masih dipengaruhi pemikiran yang pietistik-pietistik. Kadang, kita gampang alergi dengan semua yang bercorak duniawi. Kesenangan dan hobi merupakan wujud hidup lama. Pelayanan gereja pun tak boleh berbau sosial, apalagi politis. Kecuali yang satu ini, sektor ekonomi, karena menyangkut keperluan bersama, tentu dengan berbagai pembenaran, atau sikap kompromis dengan cara-cara yang ada, lebih gawat lagi hidup seperti bunglon. Pokoknya, ”hidup oleh Roh” menjadi terlepas dari keseharian hidup di tengah dunia. Antitese antara daging dan Roh paling jelas diungkapkan Paulus dalam perikop ini.

Siapa yang menjadi oposan Paulus di jemaat Galatia? Pertanyaan ini penting karena ajaran Paulus dalam perikop ini menjadi ”counter” atas corak pemikiran agamawi lainnya yang turut mempengaruhi pandangan teologis jemaat Galatia. Dalam jemaat ini terdapat pluralitas ajaran sehingga mau tak mau Paulus mengemukakan argumentasi pandangannya. Pertama, kelompok Yudais yang menawarkan Taurat dan surat sebagai jalan menuju pintu keselamatan. Paulus menentang, karena Taurat hanya berlaku sebagai ”penuntun” sebelum Kristus datang. Agak emosional dan sangat kasar bunyinya, kalau Paulus katakan dalam perikop sebelumnya(5:12), ”Baiklah mereka yang menghasut kamu itu mengebirikan saja dirinya”. Menyamakan sunat dengan pengebirian pasti menyakiti kelompok Yudais ini, Kedua, kelompok Libertinis yang menawarkan kebebasan mutlak. Akibatnya, terjadi suatu kekosongan di mana tidak ada pedoman hidup yang jelas. Kebebasan yang dimiliki menjadi peluang untuk hidup dalam dosa. Menurut Paulus, jemaat galatia dipanggil untuk kemerdekaan, dan panggilan itu sendiri memerdekakan, tapi kemerdekaan itu hanya dapat diterima bila mereka dilepaskan dari perhambaan untuk hidup secara merdeka, oleh dan didalam Kristus yang telah memerdekakannya. Ini yang meu dikatakan Paulus kepada lawannya.

Pokok utama dari bacaan di atas, mengetengahkan kehidupan konkret sesehari yang harus dijalani orang Kristen. Kesan sepintas, sepertinya Paulus berpikir dualistik, namun dualisme ’daging’ dan ’roh’, tetapi dualisme ’hidup dalam roh’ dan ’hidup dalam daging’. Artinya, totalitas kehidupan ini dijalani dengan memilih ketaatan pada satu kekuatan saja: Roh kudus, atau perbuatan dosa. Siapa yang memberi dirinya dipimpin oleh Roh. Berarti terlepas dari kekungkungan dosa yang terwujud dalam ’sarx’, atau juga Taurat. Pada pihak lain, paulus katakan, keinginan Roh dikaitkan dengan ’buah Roh’, bukan buah-buah Roh. Paulus memahami bahwa keseluruhan ’buah Roh’ itu utuh dan internal. Seperti hidup manusia utuh, tak terpilah-pilah. Buah Roh itu harus terkait dengan kemerdekaan Kristen yang menghasilkan buah. Dengan demikian, bagi Paulus, hidup dipimpin oleh Roh berarti menjadi milik Kristus.

Bagi orang beriman, hidup oleh Roh itu jelas, gaya hidup yang jelas, dan buah yang jelas, hidup oleh Roh perlu memiliki ketegasan, tampa kompromi, atau bersikap plin-plan. Ia harus memilih satu diantara kedua pilihan itu. Ciri khas Roh bukan gejala-gejala yang luar biasa, melainkan dorongan dalam iman untuk mempersatukan diri dengan Kristus Roh Kudus diam dalam diri orang beriman, dan karena itu seluruh hidup imannya adalah ’buah Roh’ Godaan yang paling besar bagi orang kristen adalah rasa puas diri dengan ”hidup oleh Roh”, tapi lupa ”berjalan menurut Roh”. Kata Paulus, ”Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah kita juga dipimpin oleh Roh”, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

”SALING MENAGSIHI”

Bacaan Alkitab: Yohanes 15 : 9 - 17

Pernah ilustrasi ini disampaikan oleh seorang pastor pada kesempatan bincang-bincang. Ia mengatakan kita semua pernah menghadiri upacara pemakaman. Biasanya upacara semacam itu berjalan tampa banyak variasi, kadang membosankan, apalagi kalau kita tidak terlbat dalam kedukaan itu. Tetapi dalam keadaan yang tampa variasi itu, ternyata ada hal yang menarik, yakni kata-kata penghiburan-mulai dari lurah sampai atasan lansung almarhum, belum termasuk pihak-pihak tertentu yang terkait dengan almarhum semasa hidupnya, dan keluarga sendiri. Menarik, karena sudah semacam tradisi untuk melahirkan perasaan hati yang berisi pujian dan penghargaan yang musti diteladani oleh yang masih hidup. Sejarah hidup almarhum diungkapkan dengan rasa kagum, bahkan jasa-jasanya ikut terpampang. Memang, benar juga obrolan pastor tadi-karena saya sendiri berpikir belum pernah seseorang dicap penjahat, atau dimaki-maki ditepi liang lahat. Karena itu, jika anda belum pernah dihargai seumur hidup, tak usah ragu dan gusar – yakinlah bahwa pujian dan penghargaan itu niscaya akan diberikan disana, ditepi liang kubur. Tapi jangan dulu anda berprasangka buruk pada saya, seolah-olah kita tidak boleh berbicara tentang hal-hal yang baik dari kehidupan almarhum. Itu memang pantas, bukan saja sebagai penghormatan terakhir baginya, tetapi juga barangkali bisa menjadi suri teladan bagi keluarga yang masih hidup, termasuk para pelayat yang menghadapi pemakaman. Cuma, kebiasaan itu membuat kita amat suka untuk melebih-lebihkan jasa seseorang. Lalu sekadar basa-basi. Penilain kita berat sebelah, karena kita sebelumnya tahu bahwa sebagai manusia, dia tentu punya kesalahan- kesalahan.

Sebenarnya, kejadian seperti itu merupakan konpensasi saja. selama kita hidup bersama, umumnya kita gampang melihat sesuatu yang kurang baik dan tercela pada diri seseorang. Bisa jaga benar, tetapi bisa juga bukan mustahil bahwa pandangan kita keliru yang pasti kebiasaan seperti itu dapat menjadi halangan penting bagi kita untuk mengasihi sesama kita. Ini juga diperintahkan Tuhan yesus dalam bacaan Alkitab tadi. Mengobrol cinta kepadanya dalam bentuk pujian atau penghargaan apapun sebelum makam ditutup sebenarnya sesuatu yang terlambat. Padahal, Yesus memerintahkan, ”Supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku Telah Mengasihi Kamu”. Perintah Yesus ini berarti bahwa hendaknya kita mengasihi orang yang masih hidup, lengkap dengan segala cacatnya, dan bukan baru mencintainya, bila sudah mati.

Yesus memberikan tugas kepada murid-muridNya untuk mengasihi dan saling mengasihi. Bagi yesus, bukan mengasihi dan saling mengasihi yang verbal saja, tetapi juga dengan perbuatan konkret. ”sama seperti Bapa telah mengasihi aku, demikian juga aku telah mengasihi kamu. Tinggalah di dalam kasihku!”. Kasih yang dituntut yesus ialah kasih kasih yang dilandasi oleh kasihNya kepada mereka dilandasi pula olah kasih Bapa kepadaNya. Dalam kasih Yesus mereka mengalami kasih Allah. Kasih ini, yaitu kasih Bapa kepada anak dan kasih anak kepada kepada mereka, harus mereka teruskan kepada orang lain. Kasih Allah ini, bukan saja teladan bagi mereka, tetapi juga dasar dari kasih mereka. Yesus sendiri menyebut murid-muridNya sebagai sahabat. Sebagai sahabat-sahabatNya, Ia rela memberikan hidupNya sendiri utuk mereka. Karena itu, Ia tidak dapat menyebut mereka hamba, sebab hamba tidak tahu apa yang diperbuat oleh tuannya; seorang hamba hanya mengerjakan perintah tuannya. Tetapi mereka tidak demikian. Mereka adalah sahabat-sahabatNya, sebab Ia telah memberitahukan kepada mereka segala sesuatu yang Ia dengar dari BapaNya. Dalam keseluruhan hidup dan pelayananNya, Ia telah membuktikan melalui Penyerahan dirinya bagi manusia. Karena itu, murid-murid diminta untuk tetap tinggal dalam kasih seperti itu. Kasih dengan pengorbanan yang tulus kepada orang lain, tampa mementingkan diri sendiri, atau menjelekkan satu sama lain.

Perintah untuk mengasihi dan saling mengasihi bukan hal baru bagi kita. Yesus ingin agar setiap pengikutNya melakukan perintah untuk saling mengasihi. Namun, dalam realitas kehidupan yang kurang bersahabat ini, rasanya kian sulit menemukan kasih yang tulus tampah pamrih. Orang mau bersahabat bila kepentingannya dilayani. Kita ingin mengasihi orang lain dengan harapan ada balasan dari perbuatan baiknya. Kita mau bersahabat, tetapi dengan sikap pamrih. Persahabatan terasa ikut-ikutan mahal seperti harga sembako. Ia sudah menjadi satu komoditi yang mahal harganya. Ia mulai diukur dengan materi, status, dan kedudukan seseorang dalam masyarakat. Ia menjadi barang mewah yang sekedar dipajang, bukan dinikmati.

Mother Theresa memberi hatinya bagi dunia, hati yang menjangkau kaum miskin dan papa di kepadatan dan kekumuhan kota New Delhi. Menurutnya, ”Kasih yang tampak mesti berharga, meski sakit karena kita mengosongkan diri untuk itu”. Memang, kita bisa saja memberi tanpa mengasihi, tetapi kita tidak bisa mengasihi tanpa memberi. Kasih mesti terbit dari hati nurani kita yang bersih, dan rasanya tak perlu di jelaskan, kecuali dilaksanakan. Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

”MERUBAH KEADAAN”

Bacaan Alkitab: Filipi 4 : 8

Saya mulai renungan ini dengan mengemukakan beberapa pertanyaan sederhana. Mengapa rumah tangga si Ami kelihatannya lebih maju dibandingkan dengan rumah tangga si Nuning? Tentu, ada sebab musababnya. Mengapa si Upik lebih mujur dari nasib si Polan? Pasti, ada penyebabnya. Memang, ada keadaan yang menyenangkan silih berganti dengan keadaan yang yang kurang menyenangkan. Akan tetapi, kebanyakkan orang lebih cenderung mencari penyebabnya dari apa yang disebut ’nasib’. Kata orang, kalau nasib sudah menentukan demikian, mau apa lagi. Karena itu, kalau si Ami kelihatannya lebih maju, itu nasib yang baik. Sebaliknya, kalau si Polan kelihatannya kurang mujur, memang nasibnya sudah begitu.

Apakah benar demikian? Apakah betul, nasib itu sangat menentukan adanya perbedaan di dalam khazanah hidup ini? Benarkah, perbedaan itu mutlah harus demikian? Apakah seseorang tidak dapat lagi melakukan perubahan dari keadaan yang kurang menyenangkan itu? Apakah nasib yang dibilang orang memang tak mungkin berubah? Inilah salah satu masalah yang dihadapi kebanyakkan orang dalam hidupnya sekarang ini. Benar, setiap orang ingin mengubah keadaan yang kurang menyenangkan. Namun, banyak orang belum mengetahui begaimana caranya merubah keadaan itu.

Fakta menunjukan bahwa keadaan dunia ini dari waktu ke waktu berubah terus. Keadaan manusia berubah terus-menerus, bukan keadaan ’hewan’ atau ’alam’ ini. Sarang burung dari sejak seratus tahun lampau akan sama bentuknya dengan sarang burung yang dapat kita lihat di tahun 2007, bahkan untuk tahun-tahun mendatang akan tetap sama. Bentuk bulan sejak sejuta tahun lampau akan sama bentuknya dengan bulan yang setiap malam kita pandang diangkasa luar itu. Lain halnya rumah, tempat manusia berteduh. Dahulu dan sekarang sudah berubah bentuknya. Kalau dahulu, rumah atau gedung biasa, sekarang rumah istana, atau gedung pencakar langit.

Jadi, manusia mempunyai kemampuan untuk merubah keadaan hidupnya. Yang perku kita temukan ialah letak dimana letak sumber dari perubahan itu? Artinya, dengan menemukan sumbernya kita akan mampu melakukan perubahan-perubahan dari keadaan hidup kita. Segala perubahan itu dimulai dari perubahan pikiran Manusia. Kalau pikiran manusia berubah, maka keadaan hidupnya pasti akan berubah. Selama belum ada perubahan dalam cara berpikir, tak mungkin kita dapat berubah keadaan.

Mengapa masyarakat sering melihat adanya perubahan terus-menerus? Oleh cara berpikir manusia dipengaruhi untuk merubah terus-menerus. Apa yang disebut ’Modernisasi’ tak lain bertujuan merubah cara berpikir lama dengan cara berpikir modern. Cara berpikir modern berarti mempergunakan temuan-temuan iptek untuk kebahagian hidup manusia. Orang yng tidak mau merubah cara berpikir kolot akan ketinggalan Zaman, dan tidak akan menikmati keaadan hidup ini lebih baik. Alkitab juga mengatakan, kalau kita menginginkan suatu ’hidup baru’, kita harus berani menanggalkan cara berpikir ’manusia lama’ yang dikuasai oleh nafsu jahat, dan itulah yang menyebabkan kita hidup menderita. Tetapi, kalau kita mau berpikir sebagai ’manusia baru’, yaitu cara berpikir yang dipimpin oleh Roh Allah, Roh kebenaran itu, maka kita akan mengalami hidup baru yang penuh damai sejahtera.

Rasul Paulus, dalam bacaan Alkitab tadi, setelah memberikan nasihat kepada komonitas Kristen di Filipi, ia mengakiri nasihat itu: jadi akhirnya, saaudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang dapat didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji,.....’pikirkanlah semua itu’(Fil.4:8). Perhatikanlah kalimat yang paulus katakan: ’pikirkanlah semuanya itu’ (Fil. 4 : 8). Perhatikan kalimat yang paulus katakan: ”pikirkanlah semuanya itu”. Paulus tidak tergesa-gesa mengatakan ”kerjakanlah itu”, melainkan ”pikirkanlah semuanya itu”. Artinya, semua keadaan dan perubahan yang diinginkan dalam kehidupan manusia berawal dari kandungan pikiran manusia itu sendiri. Paulus menggunakan delapan kata untuk mencirikan watak yang khas kepada hal-hal yang harus memenuhi pikiran orang percaya. Hal-hal yang memiliki keunggulan moral dapat merubah dan membentuk sikap orang beriman.

Sebagai orang percaya, kita tidak perlu kuatir menghadapi masa depan hidup ini. Kita percaya ada penentuan dari pihak Allah mengenai hidup manusia, tetapi serentak itu pula harus dikatakan bahwa manusia bertanggung jawab atas hidupnya dari masa depan yang didatangkan Allah. Tuhan memberikan kebebasan kepada kita untuk mempergunakan hidup ini dengan arif dan benar. Kita percaya, hidup ini selalu dalam pemiliharaan Tuhan, tetapi juga menjadi tanggung jawab kita manusia. Karena itu, bila kita ingin merubah keadaan, ubalah cara berpikir yang lama dengan cara berpikir yang baru yang sesuai dengan kehendak Tuhan, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

DORONGAN HATI YANG TULUS

Bacaan Alkitab: Yohanes 8 : 2 - 11

KUPU-KUPU MALAM”, lagu ciptaan Titiek Puspa yang pernah melangit di tahun 70-an itu, kembali populer belakangan ini melalui suara Ariel Peterpan. Apakah lantaran masalah pelacuran kembali merebak? Atau, banyak orang cenderung ’sok suci’ sampai mencela bahkan menghakimi pelacur? Anda sendiri yang bisa menjawabnya. Tapi, paling tidak, lagu itu terdengar sangat indah dan mampu menyentuh perasaan. Sekalipun, kita mungkin termasuk orang yang suka mencibir kalau melihat perempuan yang melacur tampil genit menggoda, bila mendengar atau menyanyikan lagu itu kita toh pasti berempati pada sosok pekerja seks. Tahun berganti tahun, masa berganti masa, istilah ini tetap segar saja dibicarakan, bahkan sering dipinjam untuk pemeo di bidang politik, seperti dalam kalimat ’pelacuran intelektual’. Teryata, namanya seolah abadi tak kunjung berakhir.

Terungkap dalam penggalan kisah yang saya kutip dari sebuah buku ”Menelusuri remang-remang Jakarta”, terbayang bagaimana seorang wanita bernama Rini yang memiliki wawasan sangat terbatas, dengan beban pergulatan hidup keluarga yang tak tertanggungkan, ditinggalkan suami, yang bekerja sebagai sopir, meninggal dalam kecelakaan lalulintas, sehingga yang dia tahu hanyalah menyambung nyawa sebagai pekerja seks komersial, karena harus menghidupi empat anak, satu adik remaja, dan dua orang tuanya. Dari wawancara yang sangat pribadi dengan penulis buku tersebut, ia mengaku tidak dapat menikmati hubungan seks dengan para tamunya, kecuali ia hanya menemukan kepuasan ketika berhubungan dengan suami, yang menurutnya sangat baik dan sangat dicintainya.

Ia sudah cukup sering menangis, kendati tanpa air mata. Ia cukup lama meratap, tapi meratap menyesak dada, tanpa kata, tanpa nada. Bila ada tamu datang, wajahnya harus dihiasi senyum manis, walau menusuk hati. Mata harus pandai mengerling genit, meski dalam kepura-puraan. Bibir merah olesan lipstik mesti pandai merayu, walau sesaat, dan terus pada pelukan mesra tak terbayangkan kehangatannya sampai mengakhiri detik-detik dosa yang begitu singkat. Lalu, setiap kali tamu pergi, hanya raung perih menekan diri dengan kenajisan yang meniscaya. Inilah hidup orang-orang seperti Rini yang selalu menerima perlakuan ejekan tanpa melihat di balik semua itu.

Berbeda sekali sikap Yesus, ketika kelompok ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa seorang pelacur yang tertangkap basah ke hadapanNya. Untuk memohon pertimbangannya, apa yang pantas dilakukan mereka terhadapnya. Yesus malah berusaha membebaskannya. “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” Ada orang menjadi eksentrik, hanya karena mengada-ada. Sekadar untuk menarik perhatian, karena ingin bersikap lain daripada yang lain. Tapi, apakah cuma popularitas yang dicari Yesus? Sama sekali tidak. Kalau Yesus lain dari yang lain, itu bukan karena Ia ingin popularitas, tapi karena terpaksa lain. Karena ada alasan yang sungguh-sungguh kuat di balik semua itu, yakni dorongan hati. Seperti dikatakan seorang teolog, Yesus sangat mengutamakan motivasi, pada apa yang ada di dasar nurani. Ia tidak menilai seseorang dari pakaian yang dikenakannya, tapi pada pribadi yang ada di baliknya. Ia tidak menilai seseorang dari tindakan apa yang dilakukannya, tapi dari dorongan apa yang ada di balik perbuatannya.

Bagi Yesus, sikap yang paling dibenciNya adalah hipokrit, sikap berpura-pura - lain di bibir, lain di hati. Sikap ini dimiliki ahli Taurat dan orang Farisi yang berpekik-pekik tentang kesucian, tapi dalam hati penuh dengan rangsangan-rangsangan kecemaran dan kecenderungan untuk mencobai Yesus. Karena itu, dapat dimengerti mengapa Yesus menantang orang yang mau menghukum si pelacur, hanya karena mau kelihatan ’sok suci’. Sebaliknya, Ia mengampuni dan menerima pertobatan si pelacur, yang bertekad memulai hidup baru sepenuh hati. Si pelacur yang dibebani oleh rasa penyesalan, terpisah dari Tuhan, dan oleh sebab itu terpisah juga dari cinta kasih sesamanya, kini dicapai oleh cinta Tuhan dan dirangkul ke dalam persekutuan hidup yang penuh anugerah dan pengampunan. Ia menemukan dirinya kembali, sebagai orang yang diperbarui secara utuh dan memperoleh kedamaian abadi.

Dorongan hati! Alangkah pentingnya! Ternyata kita membutuhkan, bukan saja pakaian yang apik, tapi juga pribadi yang resik. Bukan saja tindakan-tindakan yang suci, tapi juga dorongan hati nurani yang bersih. Bukan saja khotbah-khotbah yang membakar semangat, atau berucap pintar meyakinkan orang lain, tapi juga tindakan-tindakan konkret yang lahir dari pribadi yang menyatu. Bukan hanya karena ingin disebut lain daripada yang lain, tapi karena ada saat-saat di mana dengan sangat terpaksa kita harus berani berbeda, ketimbang membiarkan nurani kita tersiksa oleh pembenaran diri yang pada akhirnya menjebak diri sendiri. Kata orang bijak, dorongan hati yang tulus, itulah nafas dinamika kehidupan yang sesungguhnya, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

LEPASKAN PESIMISME

Bacaan Alkitab: 1 Petrus 1 : 3

ALKISAH ini sebagai awal perenungan kita. Seorang perempuan muda yang menjadi tumpuan harapan keluarga sangat gelisah saat ia memasuki semester terakhir sebagai mahasiswi. Sebutlah namanya Fitri. Pada saat orang lain melangkah semakin ringan, Fitri merasa kemampuan dan prestasinya sedang-sedang saja, sementara peluang kerja sangat sempit, justru merasa tak berdaya menghadapi masa depan. Mungkin, Fitri tidak sendirian dalam hal ini, kita juga bisa mengalaminya dan mudah sekali merasa kalah dalam pertarungan hidup. Dengan sejumlah keyakinan negatif yang berkembang, kita yang mengalaminya cenderung menyembunyikan diri, bahkan melarikan diri, tidak berani menghadapi ragam tantangan dan kurang menghargai kemampuan sendiri. Seperti, kata orang, hidup ini seumpama arena pertandingan. Siapa menang akan dielu-elukan, dilimpahi kepercayaan. Sementara yang kalah mungkin dihujani caci-maki, dipandang dengan sebelah mata, tidak mendapat kesempatan dalam pertandingan selanjutnya. Namun, ini hanya terjadi bila Anda sendiri menjadi pesimistis - hidup dalam ketiadaan pengharapan akan masa depannya. Sebaliknya, pola pikir optimis merupakan penyangga, bahkan dapat menjadi motivasi untuk percaya diri sehingga benar-benar kita dapat mewujudkan impian.

Jadi, sukses atau gagal sebenarnya lebih banyak ditentukan oleh keyakinan kita yang melahirkan pengharapan untuk berjuang gigih menggapai masa depan yang didatangkan Tuhan bagi kita. Ibarat gelas berisi air ”setengah penuh” atau ”setengah kosong” - itu tergantung bagaimana orang memandangnya. Dengan gelas yang kita yakini berisi air setengah penuh, kita akan lebih berani melakukan sesuatu yang berarti dalam hidup ini, ketimbang bila kita meyakini gelas itu setengah kosong. Optimisme, sebagai sikap yang memiliki pengharapan dalam hidup ini akan membuat segala sesuatu menjadi lebih baik. Dengan berpikir optimis - alias penuh harapan, kita akan melihat hal-hal yang sebelumnya tidak terlihat, merasakan sesuatu yang sebelumnya tidak dirasakan, dan akhirnya dapat mewujudkan apa yang hendak kita wujudkan.

Sebenarnya yang perlu dilakukan Fitri, adalah menghapus semua gambaran negatif mengenai masa depan, dan menggantikannya dengan gambaran-gambaran positif. Gambaran-gambaran positif akan membuat emosi juga menjadi positif, dan akibatnya akan lebih efektif ketika kita belajar menjalani hidup ini, dan lebih mudah berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian bukankah kelak pada saat lulus, Fitri sudah mampu mengembangkan kemampuan diri dan tampil sebagai pribadi yang menarik dan berpengharapan.

Modal utama hidup kita adalah pengharapan. Andar Ismail pernah menulis, kita berpengharapan selama kita hidup, dan kita hidup selama kita berpengharapan. Pengharapan berbeda dari sekadar dambaan. Pengharapan bukan hanya tertuju ke depan, atau kepada yang akan terjadi, melainkan juga menoleh ke belakang, atau kepada yang sudah terjadi. Dalam perspektif iman Kristen, yang sudah terjadi itu adalah kebangkitan Kristus. Ini yang hendak dikatakan dalam bacaan Alkitab di atas, bahwa kebangkitan Kristus memaknai hidup yang berpengharapan. Kebangkitan Kristus menjadi dasar dari segala pengharapan kita. Pengharapan ini yang membuat kita bertahan ketika ditimpa penyakit dan musibah, kesulitan dan ketidakpastian.

Pengharapan melahirkan optimisme sekaligus melepaskan pesimisme. Optimisme yang berpengharapan tentu saja membuat kita tetap bersemangat dalam jerih dan juang menghadapi masa depan hidup ini, sedangkan pesimisme yang tidak berpengharapan hanya membuat kita apatis dan berpikir tidak realistik. Namun, kecenderungan untuk pesimistis perlu dikoreksi. Sebab kenyataan yang terjadi menunjukkan bahwa Fitri sudah kalah sebelum berjuang. Kita malah dapat menduga, jangan-jangan kemampuan dan prestasi Fitri yang menurut penilaiannya sendiri biasa-biasa saja disebabkan pesimisme yang sejak awal melekat sehingga menghambat perjuangan hidupnya.

Tapi juga perlu diingat bahwa pengharapan itu bukan sesuatu yang langgeng, artinya stabil t’rus, tak ada labilnya. Kapan saja, pengharapan bisa berubah, lalu kita menjadi pesimis dan kehilangan kecerahan masa depan. Bukankah, memiliki hidup yang pesimis selalu memilih jalan pintas ketimbang menghadapi tantangan ke depan. Mungkin juga kita, yakni ketika tantangan dikorbankan demi kenikmatan sesaat; ketika jalan lurus beraspal lebih dipilih, ketimbang jalan naik-turun, berliku, dan terjal; ketika hamparan rumput hijau lebih sering dipijak, ketimbang sebentang lahan tandus dan kering di lereng bukit berbatu; dan ketika pilihan didasarkan atas pertimbangan irasional, ketimbang pemikiran yang rasional. Lepaskan pesimisme Anda, sebab hidup yang berpengharapan selalu mengingatkan bahwa masa depan kita adalah apa yang kita lakukan pada hari ini. Kita sendirilah yang berhak menentukannya, karena kita juga yang menjalaninya, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

KEHENINGAN HATI

Bacaan Alkitab: Mazmur 42 : 2 - 6

MENGHADAPI kemelut kehidupan, banyak orang beriman meresponsnya dengan marah. Marah pada Tuhan, menyalahkan orang lain, menuntut dimengerti, dan sebagainya. Persoalan bukannya reda, bahkan bertambah runyam. Lain halnya, bila persoalan hidup di bawa ke dalam keheningan hati yang mencerahkan. Dalam studi kasus, sewaktu penulis berada di bangku pendidikan teologi, dikisahkan seorang ibu berusia 31 tahun, baru saja mengungkapkan kebahagiaannya yang luar biasa, dan cinta yang meluap-luap. Suasana hati seperti ini sungguh berkebalikan dengan suasana hatinya selama lima tahun terakhir, sejak suaminya lari ke pelukan wanita lain. Apakah ia menemukan cinta dari pria lain itu? Tidak juga. Yang ia temukan adalah cinta Tuhan yang luar biasa, sehingga ia merasa tenteram dan damai. Perasaannya utuh, terintegrasi, dan dalam keheningan hatinya, ia mampu menjalin relasi dengan Tuhan.

Kebahagiaan seperti yang dialami oleh ibu tadi merupakan hasil spiritualitas yang berkembang dengan pesat. Hasil yang seolah tiba-tiba ini merupakan puncak dari perjuangannya mengatasi pergulatan batin sejak kepergian suaminya. Ia telah mengalami berbagai hal buruk dalam hidup: ditinggalkan suami, ditinggalkan ibu tercinta menghadap Tuhan, hancurnya bisnis yang baru mulai berkembang, dijauhi teman dan keluarga. Sementara, ia harus membesarkan lima anaknya yang masih kecil dan remaja. Dapat dimengerti sekian lama ia marah terhadap keadaan yang menimpanya. Marahnya si ibu itu terbias dalam relasinya dengan beberapa orang terdekatnya. Mereka lalu menjadi bosan karena selalu mendengar keluh kesah tak berkesudahan. Belum lagi ungkapan kejengkelan terhadap beberapa pihak yang dianggap ikut bertanggung jawab atas persoalan hidupnya. Dan yang satu ini, sepanjang kemelut itu dialami, banyak pihak yang diminta untuk berbagi beban hidup, alias ‘sharing’ bersama. Anehnya, persoalan bukannya diselesaikan, bahkan tak jarang justru menghasilkan persoalan baru, yakni ketika ia mendapat respons berbeda dari yang diharapkan. Sungguh luar biasa, akhirnya ia menemukan jawaban atas persoalan-persoalan yang dihadapinya. Sekarang ia tahu bagaimana harus menyikapi persoalan hidupnya. Ia menjadi sabar dan penuh kasih, dan merasa tidak perlu berpikir apa-apa lagi tentang persoalannya. Ia mulai merasakan bahwa jalan keluar itu satu persatu terpecahkan. Jiwanya menari-nari, bergerak lemah gemulai mengikuti iringan gendang yang ditabuh oleh kekasih barunya, tidak lain, Kristus sendiri. Kini, ia siap mengasihi siapa pun, termasuk suami yang mengkhianati cintanya.

Bagaimana hal itu terjadi? Ia masuk dalam keheningan hati, menyelami misteri cinta Kristus. Suatu jalan yang tidak mudah ditempuh ketika jiwa seseorang terlalu riuh dan gundah gulana. Seperti pemazmur berkata dalam beberapa kalimat yang saya kutip: ”Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah? Mengapa engkau tertekan hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepadaNya, penolongku dan Allahku!“ (42:3, 6). Pemazmur sendiri haus kepada Allah, karena Tuhan sajalah yang dapat memberikan hidup yang mencerahkan. Ibarat rusa hanya dapat hidup dengan air, demikian pula kita bisa hidup dengan Tuhan. Lalu, dengan menggelengkan kepalanya sendiri, pemazmur bertanya: ”Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku”, sehingga engkau memandang ke bawah saja, dan memikirkan kesulitan yang sedang dialami, ”mengapa gelisah di dalam diriku”, sehingga engkau memandang keliling dengan penuh ketakutan, kepiluan, dan melihat ancaman dan bahaya di mana saja. Padahal, cukuplah jiwa itu memandang ke atas, berharap kepadaNya, dan mengimani bahwa Allahku akan menolong, sehingga aku akan bersyukur lagi kepadaNya.

Tidak mudah untuk dapat masuk dalam keheningan, terutama bila harus sendirian mengalaminya. Banyak orang lari dari kesendirian, karena kesendirian baginya berarti kesepian yang menyiksa. Kata orang, ibarat lorong sempit, siapa pun enggan memasukinya karena yang terbayang adalah kesesakan. Luka-luka batin akan bermunculan. Namun, keheningan bukanlah lorong sempit tak berujung pangkal. Bila kita bertahan dalam keheningan hati, dan terus menerus menyatukan diri dengan pribadi tak terbatas itu, Kristus, kita akan menemukan kesadaran baru yang sama sekali berbeda. Kesadaran akan cintaNya yang sangat besar, yang memberikan kekuatan, kehangatan, rasa mampu, dan optimisme. Keheningan hati merupakan saat-saat merefleksikan diri. Dalam keheningan hati, dengan jujur dan rendah hati kita berkaca, memutar film kehidupan kita sendiri. Dalam keheningan hati, kita dapat membuka diri untuk mengalami Tuhan dalam kemelut yang menimpa kita. Sang Pribadi yang maha agung; yang keberadaannya tak mengenal batas; yang selalu siap menghibur dan menjadi sobat kita, bila kita dihadapkan pada kemelut. Hanya saja, untuk memanggilnya perlu keheningan hati: Tutup mata dan bayangkan Dia, dalam kemelut hidupmu. Friedrich Oetinger, seorang penginjil Jerman abad 18, menggoreskan ”Doa Keheningan Hati”: ”Ya Allah, berikanlah saya keheningan hati untuk menerima apa yang tidak dapat saya ubah. Keberanian untuk mengubah apa yang dapat saya ubah. Dan kebijaksanaan untuk membedakan kedua hal itu”, Amin.

Renungan Ibadah Rumah Tangga

”UNTUK APA MENIKAH?”

Bacaan Alkitab: Efesus 5 : 22 - 25

BAGI banyak orang, menikah merupakan suatu panggilan kudus dan mulia. Di dalamnya ada cinta sekaligus tanggung jawab terhadap orang yang dicintai. Dalam pernikahan, seseorang menyatukan diri dengan seorang lawan jenis yang menjadi pilihannya untuk mencapai kebahagiaan bersama. Namun, sayang sekali, tidak semua orang dapat merealisasi keinginannya untuk menikah dengan orang yang dicintai. Sebagian dari mereka tetap melajang, dan sebagian lainnya akhirnya menikah dengan berbagai alasan, misalnya, mengikuti kehendak orangtua, demi status, atau demi kesejahteraan fisik (materi) dan lain-lain. Sebagian orang lainnya tidak menemukan daya tarik nyata dari pernikahan. Bagi mereka, pernikahan lebih merupakan serentetan tanggung jawab, bahkan mungkin merupakan serentetan persoalan. Anehnya, mereka yang memilih tetap melajang pada kenyataannya juga tidak selalu tenang menikmati masa-masa melajang. Banyak di antara mereka mengalami keraguan pada usia matang, lalu bertanya-tanya mengenai pilihannya sendiri: benarkah tidak perlu menikah?

Hasil angket yang dibuat media Kompas beberapa tahun lalu tentang beberapa alasan mengapa orang memutuskan untuk menikah, ternyata posisi pertama sebagai alasan terbanyak adalah cinta. Di dalam cinta yang tulus memang diperlukan komitmen, tetapi melalui komitmen timbal-balik untuk merajut cinta juga dapat diharapkan bahwa cinta yang sebenarnya akan dapat bertumbuh. Hubungan perkawinan yang dilandasi oleh cinta dapat mewujudkan relasi yang intim, hangat dan jujur bagi setiap insan yang ingin menikah. Dengan cinta yang tulus itu seseorang dapat mengisi kekosongan dirinya, yang oleh Erich Fromm disebut sebagai jawaban bagi masalah kekosongan eksistensial manusia. Keduanya dapat saling memberi dan menerima cinta secara eksklusif. Setiap pasangan berpeluang untuk bersama-sama mengembangkan diri menjadi pribadi yang utuh, dan menyatu. Tanpa relasi ’saling’ di antara keduanya sebagai pasangan yang harmonis, pernikahan akan banyak diwarnai tuntutan dan paksaan yang sepihak. Dan, bukan tidak mungkin, pernikahan akan menjurus kepada percekcokan, bahkan perceraian.

Dalam Efesus 5 : 22 - 23 dikatakan, ”Hai istri tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat”. Lalu, Paulus lanjutkan lagi, ”Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya”. Paulus menulis surat ini dalam konteks masyarakat paternalistik di mana laki-laki dianggap memiliki kedudukan dan status yang lebih tinggi dari perempuan. Namun, ketundukan istri kepada suami tidak serta-merta dapat disamakan dengan ketundukan hamba kepada tuannya, atau bawahan kepada atasannya, sebab dalam ayat ini hubungan suami-istri dilukiskan sebagaimana hubungan Kristus dengan jemaatNya.

Paulus memperjelas lagi dalam ayat 33, bahwa kata ’tunduk’ di situ sebenarnya berarti hormat. Istri menghormati suaminya: ”Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah istrimu seperti dirimu sendiri, dan istri hendaklah menghormati suaminya”. Kasih inilah yang menjadi dasar dari relasi antara suami-istri. Penundukan diri (hormat) seorang istri kepada suminya harus dipandang sebagai jawaban istri atas kasih suaminya. Istri baru dapat menghormati suaminya apabila suami mengasihi istrinya. Sebaliknya, suami baru dapat mengasihi istrinya, apabila istri menghormati suaminya. Di dalam relasi ’saling’ inilah, keduanya terpanggil untuk saling mengasihi dan menghormati, dan terus bertumbuh bersama menjadi pribadi yang matang dalam persekutuan suami-istri. Ingat, pernikahan bukan hanya soal apa yang bisa kita terima dari pasangan kita, tetapi juga soal apa yang bisa kita berikan kepada pasangan kita. Jangan hanya menanyakan apa yang dapat diberikan pasanganmu, tetapi tanyakan juga apa yang bisa Anda berikan kepada pasanganmu.

Masih ingin bebas? Apakah jika sudah menikah Anda tidak akan bebas lagi? Bukankah semuanya berpulang pada komitmen Anda dengan pasangan? Tentu saja Anda masih dapat menjalankan segala aktivitas Anda dengan bebas di bawah kesepakatan dengan pasangan. Dalam hal ini, Anda menjalankan kebebasan dalam tanggung jawab, bukan? Ataukah, masih ingin menikmati kesendirian alias melajang? Sampai kapan? Jangan sampai nanti Anda justru menyesali setiap waktu yang terlewati dalam kesendirian itu. Sekadar mengutip bahasa mancanegara, ‘We can’t turn back the hand of time’. Kata seorang teolog, menikah adalah ibadah. Kenapa harus menghindarinya? Bukankah segala ketakutan dan trauma masa lalu (jika ada) akan terhapus melalui tangan waktu dan kebahagiaan yang menanti di balik optimisme. Kecuali, ada fenomena lain, yakni, Anda ingin melayani banyak orang dengan cinta kemanusiaannya yang universal. Sebab, tanpa itu orang akan tetap merasakan kekosongan dalam hidupnya, Amin.

HEDONISME

LANGKAH sudah diayun. Tak terasa kini kita sudah berada dititik awal tahun 2006. mungkin banyak yang kita peroleh. Disamping itu, tentu banyak pula yang belum kita raih. Tak apa majulah terus, meskipun dimulai dari titik awal lagi. Berpikir positip adalah sikap yang menumbuhkan spirit untuk melakukan hal-hal yang baik sehingga kita mencapai kesempurnaan hidup dan tingkat kesadaran yang lebih tinggi, dengan pemahaman gaya hidup yang benar.

Memulai dititik awal, kami hadir lagi ditengah anda, merintikan keluh kesah. Melambaikan gagasan, dan meneriakkan harapan. Kami mencoba menuturkan kejujuran dalam mengoreskan tinta pada setiap edisi yang bertajuk ”Refleksi”, dan memulai dari titik awal ini kami mencoba melihat sisi lain yang tak kalah pentingnya, hedonisme.

Kata orang hedonisme menjadi muara kesepakatan dari sekian banyak ide lain. Disinyalir, virus hedon ternyata erat melekat dalam hidup kita. Kelekan itu berupa seringnya orang terjebak dalam pola hidup hedonis. Deras mengalirnya budaya barat kedalam dunia kita berusaha selektif dengan semua itu. Budaya itu hadir dalam berbagai rupa dan wujud. Televisi dengan beragam informasi. Komputer dengan fasilitas internetnya. Motor bebek dengan kopling tangannya. Hendphone, dengan ruang komunikasi yang tak terbatas dan berfungsi dimanapun. Belum lagi dunia mode yang menawarkan gaya baru berpakian, corak sepatu mulai dari Bucherry sampai Bally dan yang termahal lagi, model rambut menjadi warna-warni ibarat pelangi, aroma parfum yang menusuk atau lembut tak tertahankan dan masih banyak lagi produk kecanggihan zaman ini yang setiap saat menawarkan perubahan dan peningkatan kenyamanan hidup. Begitulah, orang tidak saja mekin lama materealistik, tapi juga makin konsumtip. Konsumtip bukan saja untuk hal-hal yang memang perlu dikonsumir, tetapi juga semakin hedonistik. Memperdewakan kenikmatan dan kesenangan hidup.

Budaya-budaya baru kebanyakan cendrung menjadikan orang lebih permisif. Yang dulunya tidak boleh, sekarang kenapa tidak? Yang dulunya untuk melakukan pembicaraan mesti bertatap muka lansung, kini tinggal angkat gagang telepon, tidak capek-capek, malah bisa berlama-lama. Pola hidup konsumtif semakin terbuka dengan hadirnya mall, merebaknya rumah makan, mulai dari yang menu barat sampai yang sedang trend saat ini, nabas alias nasi babi. Belum lagi gaya pacaran seks bebas, sementara masih ada yang berpegang pada norma dan nilai sosial ala Timur.

Tapi juga berbincang-bincang soal pengalaman seputar kenikmatan, rasanya ada juga pengalaman kami redakpsi BAGI, yakni proses penulisannya. Melelahkan, dan memang pekerjaan yang melelahkan, bukan pekerjaan yang sekali jadi. Perlu pembenahan dua kali untuk menjadikannya optimal, walau tak kunjung-kunjung koreksi, komentar malah enggan atau cuek untuk menjadi pelanggan, padahal ini berita kita, Berita GMIT. Tapi tak mengapa, ini namanya tantangan dan peluang untuk terus melangkah maju, dan kali ini dimulai di titik awal lagi. Dan ini tak sederhana, seperti tuntutan dan komentar publik. Anda mau tahu, kalau tidak juga tidak apa-apa, bahwa pikiran, waktu dan tenaga terkuras sampai pada batas-batas kejenuhan malah bisa ngambek dengan segala macam alasan. Menyerah? Tentu tidak. Redaksi BG mencoba bertahan pada komitmen bahwa proses ini adalah bagian dari belajar dalam banyak aspek.

Menyerah pada kelelahan dan kejenuhan adalah kalah. Memang, jika lelah dan jenuh, tentu kami berhenti dari aktifitas, tiada beban yang mesti dipikirkan. Kami bisa memanjakan tangan dari pada menulis dan mengisi berita berlembar-lembar sampai segera dirampungkan. Kami bisa mengistirahatkan kaki untuk tidak berjalan menyusuri lorong-lorong ruang kerja, menyadarkan badan untuk tidak duduk berlama-lama didepan komput er. Tapi jika kami memilih menghentikan semua aktifitas, berarti kami bisa dikatakan hedonis juga.

Kata seorang teolog, bila Yesus bernasib lebih buruk dari burung dan serigala, sebab Ia tak punya tempat yang tetap untuk membaringkan kepalaNya, itu pasti bukan karena Yesus memilih Betlehem dan bukan Yerusalem; atau memilih Galilea dan bukan Yudea; memilih Golgota dan bukan istana, itu pasti bukan karena Ia seorang masochis rohani, yang sedang bersifat sadis terhadap diri sendiri. Yesus memang miskin. Ini karena Ia tidak menolak kemiskinan. Namun walau begitu, jangan disangka karena Ia menolak kekayaan. Ia memang pernah berkata, lebih mudah seekor unta masuk kelubang jarum, dari pada orang kaya masuk Kerajaan Sorga. Tapi bukan kekayaan itulah yang jadi masalah. Soalnya adalah, bagaimana orang bersikap terhadap kekayaan atau kemiskianannya.

Sebenarnya bagi Yesus. Kaya dan miskin tak bisa dibuat ukuran mana yang terlebih mulia. Bagi Yesus, kaya dan miskin, masing-masing ada hikmany. Yesus bukannyatidak punya kesenangan dan kenikmatan. Tetapi seperti pemazmur katakan, kesenangan dan kenikmatannya adalah melaksanakan titah dan perintah BapaNya. Yesus bukannya tidak menghargai kekayaan. Tetapi kekayaan dan kemuliaaaNya, justru terletak di dalam kerendahan dan ketaatanNya sampai mati di kayu salib. Yesus bukannya tak pernah berdoa bagi kebutuhan hidupNya, tetapi doa yang diajarkanNya adalah, ”Berilah kami hari ini makanan kami yang secukupnya”.

Virus hedon sangat ampuh dan bisa mengakibatkan kita meninggalkan prinsip-prinsip hidup kita yang lebih penting, daya tularnya sangat tinggi, dan celakanya lagi, virus ini tak berwarna dan tak berbau sehingga agak sulit dideteksi keberadaannya didalam diri seseorang. Metode yang paling tepat untuk mengecek keberadaannya adalah mawas diri atau refleksi pribadi. Amati diri kita sendiri, jangan-jangan kita pun sedah terjangkiti virus hedon ini. Pokoknya, dimana kita mencari kesenangan dan kenikmatan, di situ ada godaan untuk terus-terusan mencari senang dan nikmatnya saja. artinya, di situ ada ancaman virus hedon. Namun, semuanya berpulang pada kita. Bersediakah kita menjadi manusia yang pasrah dilalap begitu saja oleh yang namanya hedonisme? Ataukah kita hendak menjadi manusia yang mandiri, bebas dan sekaligus bijak? Hanya kita sendiri yang mampu menjawab dan menyikapinya, dalam artian kita mau menjadikan hidup ini bermakna, berguna dan mempunyai tujuan yang jelas dan pasti.

Kita merasakan apa yang mungkin juga dirasakan oleh orang lain, atau mungkin juga Anda, yakni ketika tantangan dikorbankandemi merasakan kenikmatan; ketika jalan lurus beraspal lebih dipilih ketimbang jalan naik turun, berliku dan terjal; ketika hamparan rumput hijau lebih sering dipijak daripada sebentang lahan tendus dari kering di lereng bukit berbatu; ketika pilihan didasarkan atas rasa sesaat, atau bisikan kenikmatan, dan bukan atas pemikiran dan perenungan yang rasional, tentu dimulai dari diri kita sendiri. Sejauh mana kita memiliki integritas yang tinggi, sejauh itu pula kita bisa mengendalikan keinginan-keinginan yang ada.

SALIB

SEBUAH cerita ’tak selesai’, pernah saya baca. Suatu ketika raja Inggris, George V mangkat sudah. Dan memang siapapun harus mati, alis wafat. Sebelum ia dimakamkan, sebuah pemandangan lumrah mesti terjadi, rakyat diberi kesempatan untuk penghormatan terakhir kalinya. Lalu, jenasah sang raja diarak mengelilingi jalan- jalan protokol. Seluruh rakyat membut pagar betis seraya menundukan kepala bertanda duka mendalam. Jenasah sang raja disemayamkan dalam sebuh kereta kancana. Di tas peti jenasahnya bertengger sebauh mahkota. Mahkota yang dikenakan George V semasa menjadi raja. Sebuah Mahkota emas bertahta pertata permata, tentu saja. Sebab memang begitu baiknya, Mahkota dimanapun juga. Namun, mahkota yang satu ini adalah istimewanya. Ia mempunyai sebuah salib, salah satu ornemen perhiasanya. Arak-arakanpun mulai bergerak, kuda-kuda penarik terkejut, mereka meringkik dan melonjak-lonjak - dan keretapun tergoncang-goncang. Terjadilah sesuatu. Salib penghias mahkota itu terlepas. Ia terlempar dan terjatu keluar. Melihat, seorang perjurit pengawal segera memungutnya dan menghadap komandannya. ”Pak! Salib ini mesti dipasang kembali!, begitu laporannya”. Sang komandan bukan tak setuju, tapi ia tidak ingin arak-arakan itu terhenti. Oleh sebab itu ia menjawab: ”Aku tahu! Tapi menurut pendapatku, tak perlu itu dilakukan sekarang juga”. Begitulah awal ceritanya, salib sebagai ornamen, penghias belaka, jadi tak penting kan, masih lebih penting prosesi arak-arakan itu.

Dalam edisi Februari, bertajuk ”Refleksi” ini, mari kita ngobrol soal salib. Apalagi bertepatan dengan perayaan minggu-minggu sengasara Tuhan Yesus, biasanya dalam tradisi gereja, salib hanya dikenang masa sebelum dan memasuki masa Paskah sebagai rumusan resmi untuk digemakan. ”Maaf, bukan maksud saya untuk sinis”. Tapi itulah kenyataannya. Diluar masa-masa itu, salib tidah lebih dari panjangan, atau hiasan yang terpampang mentereng pada menara gereja, dan ini di mana-mana bisa kita liat. Belum lagi sebagai hiasan didinding ruang tamu dari setiap rumah orang Kristen. Bahkan salib juga menjadi ciri kekristenan yang dinyatakan secara ornamental, misalnya, striker salib dipanjang di mobil, atau kalung ciri khas orang katolik Roma, salib sehari-hari jadi sekedar ritus, membuat ’tanda salib’, dan itulah ’formula resmi’, sesuatu yang diajarkan turun temurun dan menjadi bagian aktivitas rutin. Dalam khotbah pendeta, misalnya, ternyata salib berubah bentuk menjadi semacam ’beban psikologis’, jemaat diminta untuk ’memikul salib’, padahal sudah jelas, salib tidak pernah dipikul, karena sudah tergantung dimenara geraja, rumah dan tempat lain.

Sama seperti Yesus, ketika Dia menegaskan kalimat-kalimat yang kemudian jadi terkenal, bahwa setiap orang yang ingin mengikuti Dia, ”haruslah menyangkal diri dan memikul salibnya”, tentu yang dimaksud dasib disitu adalah sebuah metafor. Dia tidak menginginkan murid-muridnya lalu mamikul salib dalam artian yang benar, kan? Tapi bedanya, Yesus sendiri, pada akhirnya harus menjalani ucapanNya itu. Dia konsekuen dan memikul salib, kali ini salib beneren, (bukan metafor), sampai mati. Apa yang dibuat Yesus itu, sadar atau tidak, telah menggugat dan merubah seluruh tatanan nilai yang waktu itu kian mapan. Kerangka makna yang tadinya membeku dalam dogma dan ritus-ritus agamawi, kini mencair. Orang Kristen harus mempertanyakan kembali seluruh tatanan kehidupannya dan menilai kembali maknanya.

Dalam harian Kompas beberapa bulan lalu, Maskot sembiring, dengan berjubah putih, pedagang biasa di Kabupaten Karo Medan, menyalipkan dirinya sebagai puncak protesnya terhadap kemapanan tentang nilai saat itu. Berbeda dengan pemuda GMIT, menjelang perayaan Paskah, adegan ’pikul salib’ terkesan didramatisir sedemikian rupa, karena merupakan simbol penderitaan Kristus sendiri yang mesti dihayati. Tapi Maskot, memang tidak dipaku, walau itu yang dimintanya berulang kali, ’Pakulah Aku’, permintaan Maskot. ’demi keadilan, aku rela menebus penderitaan kalian’. Seorang wanita yang menyaksikan peristiwa itu, menjawab permintaan Maskot, ’kalau itu sudah menjadi tekadmu, jangan kau saja yang disalib. Kami pun rela untuk itu demi keadilan dan kebenaran. Keadilan itu sudah tidak ada lagi’. Sesekali gagasan semacam itu muncul sehingga dapat meruntuhkan kerangka tatanan nilai yang mapan.

Sanggupkah kita meruntuhkan nilai-nilai kemapanan itu, demi kebenaran yang di yakini dan dihayati, meski kita tidak harus seperti Maskot? Dan memang tak mungkin seperti Maskot, sebab bukankah itu suatu penyangkalan terang-terangan terhadap apa yang telah Yesus lakukan di katu salib untuk kita semua? Bila kita sanggup dan memulainya dari sekarang, maka pada titik itu, salib kembali memperoleh makna baru. Berani mengambil risiko demi kebenaran yang dinyakini itu, adalah wujud gugatan terhadap segala bentuk kemapanan yang tak lagi mampu memaknai kehidupan ini.

Tapi ini yang aneh, justru orang masih lebih menyukai yang mapan, kata orang mirip dengan abnormal, betapapun sejarah sudah membuktikan, entah berapa banyak korban yang jatuh sia-sia karenanya. Jangankan meratapi penderitaan Kristus, apalagi asyik memakai salib sebagai panjangan atau penghias diri, selama kita tak pernah bertekad apa-apa untuk menjadikan penderitaanNya itu berubah nyata melalui sikap dan kehidupan kita.

Memang dalam hidup ini untuk menemukan yang benar dan berharga tak jarang menuntut resiko. Hidup yang tak pernah bersedia memikul resiko akan menjadi hidup yan statis, beku, begitu-begitu saja, dan inilah nilai-nilai kemapanan yang dipertahankan selama ini. Begitu pula dengan iman kita. Apakah iman itu sesuatu yang berharga bagi kita, tergantung sejauh mana kita berani menempuh resiko demi imannya. Bahkan apakah seseorang itu memiliki iman yang benar, atau sekedar, ’iman’, itu juga ditentukan dari sikap apakah yang diambilnya ketika ia harus berhadapan dengan resiko.

Seorang teolog mengomentari realitas salib Yesus dan implikasinya bagi kehidupan kekristenan sekarang ini: ”Salib Yesus adalah bekas tangan Pilatus, seorang pejabat yang tah persis keadilan, tapi tak berani mengambil resiko kehilangan kursi jabatan. Salib Yesus adalah bekas tangan para ulama, yang paling tahu tentang kebenaran, tapi tak berani mengambil resiko kehilangan status sosial. Salib Yesus adalah bekas tangan murid-muridNya, yang tahu dimana keselamatan sejati, tapi tak berani ambil resiko kehilangan keselamatan diri. Dunia ini memang dipenuhi oleh tipe-tipe manusia seperti itu. Di mana saja dan kapan saja. Juga di sini dan sekarang ini. Tapi syukurlah, perubahan dan perkembangan sejarah justru tidak ditentukan oleh orang-orang seperti Pilatus dan Kayafas, tapi oleh orang-orang semacam Yesus, yang berani sendirian menempuh arus pandangan masa maupun penguasa, demi kebenaran yang dinyakini dan dihayati. Mereka ini, lanjutnya, kematiannya memang tampa kehormatan dan pengibaran bendera setengah tiang dimana-mana. Malah mungkin Cuma seperti daun kering yang gugur dari tangkainya, tetapi jadilah kematianNya menjadi pupuk yang menyuburkan.”

Salib Yesus memperingatkan kita, untuk menilai ulang penghayatan iman kita kepadaNya. Muda-mudahan kita sempat menjadi menangis seperti Petrus. Sebab kalau begitu, salib berarti juga pengampunan, yang mesti kita lanjutkan dengan pertobatan yang nyata. Tetapi kalau tidak begitu, maka tangis penyesalan kita hanya seperti Yudas Iskariot, yang mengakiri penyesalannya dengan bunuh diri. Tapi paling tidak, Yudas Iskariot masih lebih unggul daripada orang banyak yang tak punya penyesalan apa-apa, bukan? Ini kata orang lhoo! Tapi benar juga, karena ternyata Yesus membayar mahal sekali, Ia harus mati di kayu salib.

.MEMIHAK PADA YANG MENDERITA

Dalam Alkitab, orang miskin memang tidak pandang lebih baik atau lebih benar ketimbang orang kaya. Tetapi dalam kasus-kasus yang mempertetangkan atau membandingkan keduanya, sering dikatakan Tuhan berpihak kepada orang miskin. Keprihatinan, solidaritas, atau bahkan empati Tuhan, sepertinya tersedia lebih besar bagi orang-orang yang susah dalam hidupnya, daripada mereka yang hidupnya secara relatif lebih enak. Alasannya, karena orang itu sangat menggantungkan diri mereka kepada Tuhan. Orang-orang ini tidak memiliki kekayaan yang dapat dijadikan pegangan atau gantungan hidup. Mereka juga tidak memiliki kekuasaan, kedudukan atau status sosial yang ang dapat dimanfaatkan untuk menunjang kehidupan mereka. Akibatnya mereka hanya mampu berseru kepada Tuhan yang menciptakan mereka. Tapi justru sikap yang berharap inilah yang dipandang berharga dan diterima oleh Tuhan. Alasan lain, karena orang-orang miskin itu seringkali merupakan korban penindasan dan ketidak-adilan sesamanya. Mereka adalah kelompok orang yang tidak memiliki ”akses” kepada distribusi kekayaan atau sumber daya yang lain. Mereka menjadi korban dari keserakahan, ketidak-pedulian, dan bahkan kejahatan sesamanya atau struktur masyaraknya. Kepada mereka yang menderita inilah solidaritas Tuhan yang dinyatakan.

Ini adalah realitas yang harus kita hadapi. Realitas itu seolah datang menerpa, sehingga sangat mengherankan jika kita tidak tahu akan keberadaannya. Seperti antara lain, terjadi pada kisah Lazarus dan orang kaya. Peake’s Commentary secara lansung menyatakan bahwa, perumpamaan itu dipakai untuk menyerang orang Farisi. Perumpamaan itu merupakan ”ringkasan” atau ”ikhtiar” dari serangan terhadap para pemimpin Yahudi aleh karena sikapnya yang melecehkan orang-orang tersisih dan juga orang asing. Sementara William Barclay dalam tafsirannya, tidak tegas-tegas menyebut-menyebut kelompok elit institusi keagamaan Yahudi itu sebagai sasaran ”serangan”. Meskipun berbeda pendapat mengenai arah sasaran perumpamaan itu, kedua tafsiran itu sepakat menyatakan bahwa perumpamaan itu bersumber pada sebuah cerita rakyat. Tuhan Yesus mengangkatnya menjadi sebuah perumpamaan yang padat isinya. Lukas kemudian menempatkan perumpamaan ini dalam satu kelompok bersama dengan perumpamaan-perumpamaan yang lain. Tetapi dari segi bentuk dan isi cerita tentang orang miskin dan orang kaya yang agaknya universal ini, barangkali dapat kita katakan bahwa pada mulanya cerita perumpamaan ini menjadi cerita untuk umum, semacam peringatan agar orang kaya tidak pelit atau serakah. Sebaliknya, orang kaya itu harus mau memperdulikan orang miskin, supaya jangan sampai mereka tertindas oleh ”zaman yang berputar” yang bisa membalikkan keadaan yang sangat kontras.

Cerita perumpamaan ini menarik karena ia tidak bercerita banyak. Isinya hanyalah adegan yang sangat kontras yang diikuti oleh adegan lain yang menunjukan situasi yang berbalikan dari yang pertama. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya yang terjadi diantara kedua adegan tersebut, apa yang telah dilakukan oleh orang kaya itu terhadap Lazarus sehingga ia mengalami situasi terbalik secara menyedihkan. Akan tetapi, saya pikir justru di sinilah pokok permasalahannya. Orang kaya itu dihukum bukan karena apa yang dilakukannya melainkan karena kegagalannya untuk melakukan apa yang ia lakukan. Ia dihukum bukan karena ia menindas lazarus melainkan karena rasa belas kasihannya yang rapuh sehingga membuatnya sadar pun tidak, bahwa ada lazarus yang duduk dipinggir gerbang rumahnya.

Cerita ini merupakan fakta bahwa kita hidup dalam kehadiran orang lain. Ada solidaritas kemanusiaan yang mengakibatkan penderitaan dirasakan secara umum: kita semua menderita sebagai contoh, akibat krisis ekomoni, gempa bumi, gagal panen, konflik sosial-politik, infasi dan ketidak stabilan bersama-sama. Suka atau tidak, kegagalan seseorang merupakan indikasi kesalahan dan kekurangan semua orang. Bisa jadi bukan sebagai akibat dari apa yang kita lakukan, melainkan akibat dari kegagalan kita untuk melakukan sesuatu bagi kebutuhan orang lain.

Cerita tentang orang miskin dan orang kaya terdapat di mana-mana. Gereja dipanggil untuk memahami dan meneladani sikap Yesus terhadap mereka yang menderit. Gereja dipanggil bukan hanya untuk tidak ikut-ikutan bertindak tidak adil atau bersikap tidak peduli kepada orang miskin tetapi juga ikut berjuang menciptakan peluang dan kondisi kehidupan yang lebih baik dan mensejahterakan semua orang. MeneladaniNya adalah panggilan kita terus menerus. Sikap dan tindakan memihak kepada orang miskin dan menderita dapat kita wujudkan dengan jalan memperjuangkan agar orang-orang miskin dan lemah itu memperoleh keadilan dan bagian atau ”share” kesejahteraan yang juga menjadi hak mereka.

SOLIDARITAS KEMANUSIAAN

Bagi orang kristen, atau agama apa saja, mendoakan orang lain yang sedang dalam nestapa atau tertimpa atau musibah, adalah hal yang galib. Tetai halbegitu, mendoakan orang-orang yang sedang menderita disekitarnya, ia mempunyai cara tersendiri. Misalya begini, setiap hari selama limabelas menit, ia selalu menyisihkan waktunya untuk memintal benang dengan alat tenun yang amat sederhana. Untuk apakah kerja yang melelahkan itu? Dengan melakukan itu, Chowdurr paling tidak selama limabelas menit setiap hari, ia mau merasakan sendiri, beetapa melelahkan dn betapa sengsaranya wanita-wanita India sebangsanya, yang memenun seharian dan untuk itu mendapat upah 30 sen.

Kalau ada yang haruis dikatakan mengenai doa-doa kita, maka itu dalah mengenai betapa doa-doa kita semakin kehilangan jiwa. Kenapa kehilangan jiwa? Sebap sering doa-doa kita itu Cuma tinggal kata-kata, mulah juga tidak, tagi juga bunyi-bunyinya yang mirip kata-kata, tidak lagi didukung oleh penghayatan penuh. Betapa kita mendoakan orang-orang lapar, tetapi sementara itu kita membuang-buang nasi hanya sekedar karena lauknya kurang cocok. Betapa kita mendoakan sesama kita yang menganggur, tapi sementara itu tampa pergumulan kita menempelkan papan pengumuman ”Tidak Ada Lowongan Pekerjaan” didepan kantor kita. Betapa kita mendoakan mereka yang tertunta-tunta, sementara siang kita mengendarai mobil kita cepat-cepat sambil menebarkan debu ke muka mereka. kita berdoa dengan mulut kita tampa hati kita. Kita berdoa di satu waktu, lalu kemudian melupakannya seluruh waktu. Dengan doa kita berhubungan dengan Allah, tampa jalinan sebab akibat dalam sikap kita terhadap sesama.

Pemahaman tentang solidaritas kemanusiaan yang diutarakan oleh Tuhan Yesus menurut Injil Lukas 10:25-37 menarik untuk disimak lebih jauh. Yesus mengisahkan seseorang yang terjatuh ketangan penyamun, yang merampok harta bendanya dan menyiksa sang korban sampai tergeletak tak berdaya. Kebetulan lewat seorang iman (konon baru baru pulang dari tugasnya dibait suci) tapi ia menjauh ke seberang jalan dan meninggalkan sang korban tampa berbuat sesuatu. Kemudian seorang lewi (pelayan seorang iman) melewati dan meninggalkan sang korban. Yesus dengan sengaja menyebut orang iman dan seorang Lewi karena mereka termasuk golongan dari orang-orang yang dihormati selaku ”rohaniwan”. Bukan justru dari seorang iman dan seorang lewi, ketika dihadapkan dengan kejadian itu, sepantasnya menunjukan simpati kepada orang itu? Tetapi agaknya tidak demikian menurut mereka. Tidak dijelaskan mengapa mereka melewatinya dan meninggalkan seorang korban. Apakah mereka terkejut dan takut? Atau barangkali dikira orang itu sudah mati, sehingga tidak mau ”menajiskan” dirinya. Rasanya, pertimbanga-pertinbangan itu kuramg repat, karena mereka bukan sedang dalam perjalanan keyerusalem untuk memenuhi tugasnya, tetapi sedang dalam perjalanan kerumah. Tetapi tak perlu kita mempersoalkan pertimbangan-pertimbangan itu, sebap yang dimagsudkan Yesus pastilah bahwa sikap mereka mustahil di excuse dengan pertimbangan-pertimbangan apapun juga.Akjirnya, datanglah seorang samaria. Ia tidak berbuat Seolah-olah ia tidak melihatnya, sekalipun barangkali sikorban itu seorang yahudi. Ia memahami solidaritas kemanusiaan dan terus mengambil tindakan sampai mempercayakan sang korban kepada pemilik penginapan dengan menyerakan biaya secukupnya sambil berperan agar orang itu dirawat sampai sembuh dan ia sendiri akan kembali dan menyelaisaikan segala biaya yang sudah dikelurakan.

Kish ini diawali dengan suatu diskusi teologis dan berakhir dengan suatu ugnkapan konkret mengenai solidaritas kemanusiaan. Yesus tidak terjebak dalam suatu diskusi teologis yang hanya menggelinding dalam kelumpuhan analisa, tetapi Yesus menjemput masalah yang abstrak itu dan menempatkanya ditepi jalan kehidupan Manusia. Pertanyaan yang mungkin membenaki Si Iman dan orang Lewi sewktu melihat sang korban tergeletak tampa daya, ”Kalau saja saya berhenti menolong sang korban, apa yang bakal terjadi dengan diriku?” sedangkan orang Samari menanyakan hal sebaliknya, ”jika saya tidak menolong orang ini, apa jadinya dengan dia yang sudah separah begini?” Ukuran terakhir untuk menilai Solidaritas kemanusian seseorang, bukanya pada teman-teman pidato atau khotbah, atau pada spanduk-spanduk yang bisa dibaca pubik, juga bukan pada sikap yang diambil dalam keadaan aman dan kondusif, tetapi justru ketika kita diperhadapkan dengan tantangan dan resiko. Solidaritas kemanusian juga mengandung resiko, yakni bahaya keselamatan pribadi. Seorang ”sesama manusia” yang benar, akan berani mengambil resiko, mempertarukan posisinya, prestasinya, malah hidupnya demi orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan.

Melba Maggay, pendiri sebuah organisasi yang menyuarakan isu-isu politik, Gereja dan budaya mengatakan: ”saya curiga dengan kecendrungan Gereja untuk bersikap apolitis sebagian besar disebapkan oleh ancaman terhadap keberlangsungan hidup instusi dan usaha penginjilannya. Jika itu benar, saya kira cukup adil untuk bertanya begini: Jika kita bersedia menyingkirkan isu-isu sosial yang benar demi mengamankan kebebasan berkotbah, apakah kita tidak jadi sama saja dengan orang lain yang melindungi kepentingan pribadi mereka, dan hanya bersedia mempertahankan prin sip kepentingan pribadinya tidak terancam ?”

Kita tentu menyadari realitas-realitas sosial yang menyediakan disekeliling kita. Pertanyaanya adalah, jika kita tidak melakukan apa-apa bisakah kita tetap disebut Murid Kristus yang setia. Ketika Tuhan mengambil kita dan teriakan orang miskin naik dari bumi bagaikan kidung Rohani, kita harus bangkit dan berjuang lagi. Memang selama kita hidup didunia, kita memang tak dapat mengharapkan hilangnya kemiskinan. Tidak juga dengan meninggalakan kekayaan. Tapi itu tidak berarti, kita lalu tak usa berbuat apa-apa. Diatas bahu kita juga diletakan suatau tgas dan panggilan untuk menyatakan shalom dimanapun kita berada. Bukan saja doa-doa, tetapi aksi nyata dalam kemanusiaan. Tanpa solidaritas kemanusian yang konkrit, kotbah-kotbat dan doa-doa kita sekedar bunyi-bunyian, yang bisa terasa indah, tapi akirnya menumbuhkan sinisme belaka. Tanpa solidaritas kemanusian, gereja Cuma akan melahirkan hipokrit-hipokrtit; lain dimulut, lain dihati.Begini dalam perkataan, tetapi begitu dalam tindakan.

GMIT merumuskan sub temaa persidangan kali, ”Besama kita tumbuh-kembangkan wawasan gereja dalam solidaritas sosial pelayanan holistik”, berimpilikasi juga bagi jemaat-jemaat untuk meengaktualisasikanya melalui program-program pelayanan.Sebap itu ada bahaya untuk membangun mimbar atau menara gereja terlalu tinggi, kita bisa tak sanggup melihat kebawah lagi. Atau membangun tembok gereja terlalu tebal dan kekar, kita bisa tak sanggup lagi melihat keluar. (gr).

HIKMAH DI BALIK MUSIBAH

TAHUN 2006 berakhir, kini tahun 2007 berawal, dan nanti berakhir juga. Begitu seterusnya, seolah tahun tak pernah berakhir. Regenerasi waktu bergerak dalam siklus awal dan akhir tahun yang terbit, tahun baru dengan pengharapan baru. Namun, kita dikejutkan lagi di penghujung tahun 2006 dengan penuh rasa duka-sejak tenggal 28 hingga 31 Desember, terjadi lima kecelakaan kapal Laut di sekitar perairan Laut Jawa.

Dari berbagai media cetak yang dihimpun redaksi BAGI, dimulai tenggelamnya feri KM Tri Star I yang sedang berlayar dari Tangga Butung, Sumatera Selatan, ke Mentok, Bangka Belitung, menyebabkan 24 orang hilang. Berikut, kapal roll on-roll off (ro-ro) Nusa Setia yang sedang bersandar dipelabuhan Bakauheni terserat ombak besar sejauh 10 km. Keesokan harinya, KM Senopati Nusantara, yang sedang berlayar dari Banjarmasin menuju semarang dan membawa 642 penumpang mengalami musibah. Sementara, Sabtu dan Minggu, dua kapal kecil, yakni KM Sinar Baru dan KM Anggrek, dilaporkan tenggelam. Dari lima musibah yang terjadi secara beruntun itu, tenggelamnya KM Senopati Nusantara sangat memukul hati kita, karena hingga kini belum semua penumpang ditemukan dari sekitar 421 korban yang tercatat.

Lalu, diawal tahun 2007, berita kecelakaan pesawat Adam Air rute penerbangan Surabaya-Menado. Hingga kini, nasib 96 penumpang, pilot dan kru belum diketahui dengan pasti, kecuali baru ditemukan serpihan pesawat tersebut. berita naas itu sendiri bagai petir di menyambar disiang bolong, dan seluruh keluarga penumpang harus menanggung duka nestapa tak tertahankan. Belum selesai mengatasi lima kecelakaan kapal laut yang diterpa badai dan gelombang, kini giliran pesawat Adam Air mengalami naas berkepanjangan. Harga nyawa manusia menjadi murah. Seperti dalam gambaran Pramoedya Ananta Toer. ”Datang kedunia (Lahir) satu persatu pergi (mati) beramai-ramai karena gempa, banjir, longsor dan kecelakaan lainnya”.

Bayangkan, seperti diberitakan Harian Kompas (3/1), semua penghuni rumah itu hilang bersama pesawat AdamAir yang raib dalam penerbangan Surabaya-Manado. Jopi, pengusaha diManado yang kerap berdagang ke Sorong bersama istri, ketiga putrinya serta menantu berada dalam pesawat Boeing naas itu. Mereka terbang ke Manado setelah melakukan hajatan perkawinan putri tertuanya di Surabaya (28/12), dan direncanakan resepsi pernikahan dilanjutkan di Manado (14/1). Persiapan sudah dilakukan, undangan pun siap diedarkan. Rumah Jopi sudah dicat baru sebagai pertanda akan adanya pesta.

Namun, nasib berkata lain – dua hari setelah menikahkan putrinya di Surabaya, Jopi mendapat kabar, bahwa kakak tertuanya meninggal di Manado. Rencana pulang ke Manado yang semula 8 Januari 2007 dipercepat untuk melayat dan mengurus kepergiannya. Jopi sempat menelpon agar pemakaman ditunda, menunggu mereka pulang dari Surabaya. Rencana pemakaman ditunda, menunggu mereka pulang dari Surabaya. Rencana pemakaman pun ditunda hari Selasa, satu hari setelah kedatangan keluarga Jopi. Kenyataannya, pemakaman tertunda sehari lagi setelah ada kabar bahwa pesawat yangn ditumpangi Jopi sekeluarga mengalami musibah. Ternyata berita duka di atas duka bagi keluarganya. ”Kami sekeluarga tak berdaya dan hanya bisa pasrah kepada Tuhan, ucap lirih seorang keponakan di Manado.

Cerita pedih pun dituturkan Ny. Durant setelah tiga saudaranya turut menjadi korban pesawat yang hilang itu. Ny. Durant asal Minahasa Selatan, menceritakan, adiknya Yobes beserta suaminya Pdt. Novi Kawengian dan putranya juga berada dalam pesawat itu. Yobes yang hamil empat bulan itu memiliki empat anak. Mereka ke Manado untuk menyambut Tahun Baru bersama orangtuanya. Namun, keinginan itu tak tersampaikan. Ny. Durant menangis tersedu-sedu ketika mendengar berita pesawat yang ditumpangi Yobes dan keluarganya hilang. Terakhir, masih berita memilukan, ibu Rosemari (40), tampak masih tenggelam kepedihan sangat. Perasaan perempuan ini seperti terombang ambing, karena baginya musibah ini tragedi keluarga, sebab telah mengancam hilangnya ”tiga generasi” keluarga Rosemari – karena orangtuanya, dua keluarga bersama anak-anak dan menantu-menantu lenyap tanpa tersisa.

Bencana silih berganti, dan jelas-jelas mempertontonkan betapa tidak siapnya negeri ini menghadapi alam dahsyat. Di balik musibah, yang rentetannya beruntun, mulai dari kelaparan, busung lapar, flu burung, banjir, tanah longsor, gempa dan tsunami, kecelakaan kapal laut, dan hilangnya pesawat AdamAir beberapa waktu lalu – kelihatan jelas bahwa manusia itu sesungguhnya kecil, mikro-kosmos yang tidak berdaya. Manusia dapat berdiri, berpikir sampai merasakan sesuatu yang dipikirkannya itu, tetapi tidak sanggup mencerna lebih dalam ”misteri” dibalik ragam musibah tak henti-henti menimpa manusia.

Manusia dan segala makhluk di bumi mesti bersedia menerima segala konsekuensinya. Bumi sama sekali tidak pernah pura-pura untuk menunjukkan geliat alamiahnya. Sebab, karena ’kebetulan’ saja manusia ada di atas permukaannya. Karena itu ia turut bergoyang dalam ’irama alam’. Untuk Bumi, gerakannya adalah sebuah goyangan, namun bagi manusia itu adalah guncangan Skenario pun dibuat, ’musibah’ dihadirkan sebagai drama kolosal yang tragis, penuh tangis, bersimbah darah dan chaos. Manusia lalu menganggap Bumi itu kejam, tak berpihak pada Manusia. Bumi tidak bersahabat lagi dengan manusia. Lalu, siapa yang salah ?

Tuhan menciptakan bumi seperti sebuah lukisan. Kekuatan lukisan itu ada pada keseimbangan unsur-unsurnya. Kemudian ia memberikan roh pada setiap lukisanNya, ada denyut kehidupan. Roh yang dimaksud adalah roh keseimbangan. Ia tidak pernah mendatangkan ketidakteraturan, sama seperti arti ’musibah’ rekaan manusia. Dan, segala sesuatu yang dilukiskan Tuhan itu akan bergerak mencari keseimbanganya sesuai dengan identitas dan kebebasannya masing-masing. Yang menjadi soal adalah ketika sebuah keseimbangan orde kosmos dari lukisan Tuhan itu diubah, di intervensi, bahkan dirusakkan manusia, maka hukum keseimbangan itu akan menjadi dalil untuk menyempurnakan kembali perubahan itu. Sifatnya bukan balas dendam, bukan juga karena kemarahan, atau iri hati. Bentuknya pun jauh dai kriminalitas. Ia hanya berusaha mengisi ’kekurangan’ dari keseimbangan yang sudah dirusakkan. Mempertahankan kebaikan, harmoni, dan mencari keseimbangan baru dari perubahan yang sudah terjadi. Alam sedang menyembuhkan dirinya sendiri dari luka akibat dirusakan manusia. Jadi Tuhan tidak bersalah kan?

Bayangkan saja bintang-bintang dilangit, entah berapa milyiar jumlahnya, tapi semuanya serba bergerak. Mengapa tak terjadi tabrakan? Sebab masing-masing bintang mengikuti alur dan jalur yang telah ditetapkan Allah. Melanggar alur dan jalur itu, berarti datang musibah. Bencana bagi bintang itu sendiri, an bagi yang lain juga. Sayang sekali, bintang-bintang itu jauh lebih patuh daripada manusia. Manusia mempunyai kemungkinan, bahkan kecendrungan untuk keluar jalur. Dan, memang itulah sebabnya mengapa kiya tidak pernah bebas dari musibah dan malapetaka.

Selain bersedih dan berduka cita pada setiap bencana ataupun musibah, kita diajarkan untuk bisa mengambil hikmah. Artinya ada kebaikan dibalik bencana. Ada hikmah di balik musibah. Apa hikmah atau kebaikan itu? Itu yang sering menjadi persoalan bagi manusia. Tidak mudah bagi kita untuk melihat kebaikan dari sebuah bencana atau musibah apa pun. Kita lebih sering fokuskan pada musibah itu, dan akibatnya kita meratapi musibah itu dengan segala akibatnya. Padahal dibalik musibah selalu tersembunyi sebuah kebaikan.

Allah memiliki suatu tujuan dibalik segala musibah. Musibah beruntun silih berganti dialami manusia. Musibah yang dihadapai belum terselesaikan, bencana lain sudah menanti, tapi semuanya itu penting didalam proses pertumbuhan yang disisipkan Allah bagi bagi manusia. Musibah lepas musibah sebenarnya mendorong kita untuk memandang kepada Allah dan bergantung padaNya, dan bukan pada diri kita sendiri. Rasul Paulus memberikan kesaksian kepada komunitas Kristen di Korintus tentang hal ini, ”kami merasa, bahwa ajal kami hampir tiba. Kami sadar, bahwa kami tdak berdaya menolong diri sendiri. Tapi hal itu baik, sebab dengan demikian kami menyerahkan segala sesuatu kedalam tangan Allah. Hanya Dialah yang dapat menyelamatkan kami” maksudnya, manusia tidak akan pernah mengetahui bahwa Allah itulah satu-satunya yang manusia butuhkan sebelum Allah sendiri satu-satunya manusia miliki dalam hidupnya.

Apapun penyebab dari setiap musibah yang terjadi, namun tidak ada satupun bencana yang terjadi tampa seizin Allah. Dialah perancang agung dibalik segala musibah yang terjadi. Manusia bisa membuat kesalahan. Allah tidak pernah membuat kesalahan, karena Dia adalah Allah. Segala musibah yag terjadi selalu dipakai Allah untuk kebaikan manusia. Ini komitmen orang beriman-seperti baris terahkir dari0 ucapan syair dalam kidung jemaat 408, ”suka duka dipakaiNya untuk kebaikanku” dan itulah salah satu misteri hidup manusia-ada kehendak Tuhan yang biasa diketahui manusia, tetapi ada juga kehendakNya yang tak berani berselami manusia-tetap tersembunyi bagiNya. Manusia hanya berserah diri dan berkata : ”Bapa ajar aku ikut, apa juga maksudMu, takp bersangsi atau takut, beriman tetap teguh”.

Mengakhiri refleksi ini, saya teringat apa yang Paulus katakan kepada jemaat di Roma, ”Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia”. Ini tida berarti bahwa orang-orang yang mengasihi Allah hanya akan mengalami kebaikan. Sama sekali tidak! Bagi Paulus, betapa pun buruk pengalaman kita, Allah mampu mengubah yang buruk itu menjadi bermanfaat untuk kebaikan kita. Lalu, dimanakah Allah ketika pengalaman-pengalaman buruk itu dimanusia? Dia ada didalam peristiwa itu. Dia ada disitu untuk menghasilkan yang baik dari yang buruk. Jadi, bukan sengaja menciptakan musibah itu dengan tujuan menghasilkan kebaikan. Sebab, alangkah kejamnya Allah bila demikian, bukan?.

PENDIDIKAN

COBALAH AMATI! Berapa banyak orangtua yang terpaksa menjual murah harta miliknya setiap awal tahun ajaran baru karena pentingnya pendidikan itu. Berapa banyak orangtua terperangkap harus mendatangi kantor pegadaian, hanya karena kebutuhan biaya sekolah yang terus meningkat, atau uang pembangunan anak mereka yang masuk sekolah atau menapak ke jenjang pendidikan selanjutnya. Celakanya bila tidak mampu membiayai pendidikan anak, arangtua harus pasrah menerima nasib buruk anaknya. Putus sekolah kini jadinya. Karenanya, pengangguran atau bekerja keras untuk membantu orangtua-walaupun usianya masih terlalu muda untuk itu-telah menanti sang anak. Pengangguran itu sendiri bisa menimbulkan bermacam-macam ekses, sementara bekerja keras di usia terlalu muda akan menjadikan sang anak terlalu cepat tua. Ia akan menjadi orangtua yang muda, dan tentu, pendek umurnya.

Memang kesulitan orangtua dalam membiayai pendidikan anak, terutama pada awal tahun ajaran baru tidak harus diterima sebagai nasib. Hanya saja setiap orangtua perlu membuat suatu perencanaan yang matang tentang anggaran belanjanya, termasuk biaya pendidikan anak-anak mereka. Ini sangat mungkin terutama karena anak itu sendiri misalnya, sebelum masuk sekolah dasar, minimal ia lahir dalam keluarga selama 6 tahun. Mengapa selama itu orangtua tidak menabung untuk biaya pendidikan sang anak kelak? Tetapi tentu saja hal itu baru mungkin kalau orangtua mlenyadari pentingnya pendidikan bagi sang anak-anak mereka. Apalagi mesti didasari oleh siapa saja bahwa masa depan bangsa kita ini ditentukan oleh kualitas manusianya. Tampa pendidikan yang memadai, sudah pasti kita akan tercecer dan tak mampu menata hidup ini secara layak dalam masyarakat yang sedang berkembang.

Disini setiap orang tua bertanggung jawab untuk memungkinkan anak-anak mereka mengecap pendidikan secara layak. Itu berarti dengan adanya sekolah formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, sama sekali tidak mengurangi tanggung jawab orang tua. Karena sebanarnya-kecuali bertanggung jawab memberi biaya yang cukup-orang tualah yang paling banyak menentukan pembentukan kepribadian anak.

Dalam masyarakat baheula, peranan orang tua, atau katakanlah peranan keluarga-dalam pendidikan sangat menonjol. Kadang-kadang sama dengan tanggung jawab keagamaan. Sebelum Yesus, pendidikan anak dalam keluarga sudah dikenal. Orang Israel dalam sejarahnya yang kuno sekalipun sudah mengenal pendidikan semacam itu. Ketika itu orang tua berkewajiban untuk menceritakan kepada anak-anak mereka tentang sejarah penyelamatan Allah, disamping pengejaran kebajikan. Pengalaman spektakuler Abram itu amat pribadi sifatnya, tetapi maknanya melebihi hal-hal yang semata-mata pribadi.

Para pemimpin Yahudi berkesimpulan ditegaskan untuk menyampaikan kekayaan iman Yahudi kepada setiap ankatan baru. Biasanya anak-anak dalam satu keluarga dikumpulkan dan duduk berurutan menurut umur, kemudian orang tua menjelaskan tonggak sejarah yang dialami para leluhurnya, dan atas dasar itu pengajaran kebajikan dipaparkan (UI, 6:4-9).

Ruang lingkup pendidikan agama Yahudi sungguh mengejutkan. Ia bukanlah suatu pekerjaan sambilan saja, yang hanya dilaksanakan pada salah satu sudut kehidupan, melainkan bagian inti dari0 kegiatan sehari-hari yang lazim dilakukan. Untuk memenuhi syarat pendidikan yang diharapkan itu para orang tua sendiri wajib menjadi pendidik seumur hidup. Sungguhpun orang Yahudi menghormati kekayaan akal insani, namun mereka tidak mendewakannya. Mereka mengakui kesanggupan yang terbatas dalam diri manusia, khususnya hal-hal yang berhubungan dengan Allah. Berbeda dengan orang Yunani yang amat optimis terhadap kekuatan akal manusia, orang Yahudi lebih cenderung bersandar pada Tuhan yang menyatakan diri melalui firmanNya, peristiwa-peristiwa sejarah, dan perbuatan-perbuatan yang ajaib.

Pendidikan dizaman kuno itu diselenggarakan selalu sebagai bagian dari kepercayaan terhadap Tuhan. Ini sesunggunya tersirat dalam skema Israel, yang merupakan salah satu doa (pengakuan iman) yang paling kudus dari semua doa yang diucapkan orang Israel. Doa pengakuan iman tertua dikalangan umat israel ini sekaligus merupakan janji dan tekad untuk mewariskan kebenaran, bahwa Allah yang berkarya sekarang, dan masih akan berkarya, pada hiakikatnya Esa. Tidak ada duanya, karena Dialah yang patut disembah.

Penyampaian dan pewarisan kebenaran itu selalu dikaitkan dengan tanggung jawab orangtua bagi masa depan anak-cucunya, da karena masa depan manusia. Karena ia merupakan masa depan manusia, pendidikan dikalangan umat Israel betapa pun tidak formalnya, senantiasa bertolak dari rasa tenggung jawab-bagian dari kepercayaan-dengan tujuan yang pasti, agar manusia benar-benar menjadi manusia di hadapan Tuhannya.

Tujuan yang sama tercermin pula dalam pendidikan yang diselenggarakan Yesus sebelum ia mendirikan Gereja di atas ’batu karang’. Dimasa kecilNya, Yesus mendapat pendidikan sebagaimana berlaku dalam keluarga Israel. Dan sebelum Ia membentuk komunitas orang percaya, Ia terlebih dahulu membidik sekelompok angkatan muda, yang kemudian disebut sebagai murid-muridNya. Kedua belas murid itu sedang belajar bahwa mengikuti Yesus, guru mereka, bukanlah seperti piknik digunung, atau semacam perjalanan yang menyenangkan, melainkan Ia condong melibatkan mereka dalam pengalaman yang mirip dengan apa yang akan dialamiNya sendiri-penderitaan.

Dahulu Ia sendiri adalah seorang murid. Ia belajar dari guru-gurunya-sama halnya dengan anak laki-laki Yahudi lainnya. Keluarga, adalah guruNya yang pertama. Orang tuaNya berusaha memenuhi semua syarat agama Yahudi yang berlaku bagi mereka, baik yang bersifat liturgis maupun bukan liturgis. Lalu, keti0ka Ia beranjak dewasa, Ia masuk kerumah ibadat, menurut kebiasaanNya pada hari sabat. Ia membaca dan menafsirkan gulungan Kitab Yesaya, malah Ia juga mengetahui pola pikir kaum Farisi dan Saduki. Ia diberi gelar Rabi, guru, sebuah gelar yang tidak pakai sembarangan dalam pembicaraan. Jadi, paling tidak Yesus telah memperoleh pendidikan sebagai guru.

Pendidikan yang dilakukan Yesus tidak terikat ruang dan waktu, dilakukan kapan dan dimana saja. Di gunung, di bukit, di perjalanan, di rumah, diatas, perahu, bahkan dalam segala interaksi dengan mirid-murid dalam masyarakat, pendidikan senatiasa mendapat tempat utama. Maksud dari pendidikan yang dilakukan Yeus itu untuk melanjutkan misi, karena Ia akan segera kembali pada BapaNya.

Di sini nampak pentingnya pendidikan, bahwa masa depan manusia harus lebih baik. Dan adalah tenggung jawab orang tua untuk memungkinkan itu tercapai melalui proses belajar menagajar, tidak saja disekolah formal, tetapi terutama dalam keluarga, dan tentunya dalam lingkungan mesyarakat. Pendidikan jadinya merupakan bagian dari pengalaman nilai-nilai keagamaan.

BERMUKIM DAN BERTANGGUNG JAWAB

DI TAMAN EDEN

SETIAP orang, sadar atau tidak, sebenarnya hidup dalam temannya sendiri-sendiri yang diupayakannya, dan yang dicita-citakannya. Dalam taman apa,dan taman bagaimna kita bermukim, dari situlah kita bisa bercermin mengenai siapakah kita ini sebenarnya. Sebagai manusia seharusnya kita menjadi orang yang sadar akan siapa sebenarnya dirinya. Saya adalah kenyataan yang paling dekat pada diri saya. Sejak lahir pada saat ini, saya telah hidup dengan saya. Ini sekadar introduksi, jangan dulu berprasangka buruk, karena yang mau di bahas di sini tentang lingkungan hidup. Orang lupa kalau berbicara tentang lingkungan hidup itu di mulai dari diri sendiri dengan segala kehidupan yang di jalannya. Kata orang, bila anda mau mengenal pribadi seseorang dari tempat tinggalnya, amatilah dua hal: jangan ruang tamunya, jangan pula kamar tidurnya, tapi kamar kecilnya dan pekaranganya. Bila keduanya bersih, indah dan rapi, begitu pulalah pemiliknya.

Penulis kitab Kejadian melukiskan Taman Eden, bukan sebagai taman yang terletak di luar dunia, melainkan di bangun oleh tuhan di suatu tempat di bumi ini. Di taman Eden ini, Tuhan menumbuhkan berbagai macam pohon. Ada pohon yang berfungsi untuk keindahan dan kelestarian taman, ada juga berfungsi untuk di nikmati buahnya. Tuhan juga menempatkan pohon yang lain, pohon yang berfungsi menempatkan memberi ”kehidupan” dan” pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk”. Namun, kehidupan seperti itu tidak berarti manusia berbuat sesuka hatinya. Ada batasan-batasan yang berlaku menurut ukuran Tuhan, karena itu di samping pohon kehidupan, ada pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk.

Penempatan oleh Allah itu, bukan sekadar supaya manusia bisa menikmati kebahagiaan dengan segalah fasilitasnya, tetapi juga memberi tugas kepada manusia untuk mengusahakan, memelihara dan melestarikan taman itu sebagai milikNya. Konsekuensinya, manusia harus memberikan pertanggungjawaban hasil pekerjaanya kepada Tuhan, pemilik taman itu. Melanggar batasan itu berarti mati, dan itu berarti hidup di luar persekutuan dengan Tuhan.

Masalahnya, bukanlah mengapa begitu, tetapi apa artinya itu. Soalnya juga bukan benarkah begitu, sebab sekiranya tiada begitu mengapa di katakan itu. Jadi yang itu kira-kira begini. Manusia di ciptakan Allah, agar ia menaklukkan dan berkuasa atas ciptaanNya, dan serta merta jadilah ia makluk yang di beri tanggung jawab. Karena apa artinya kuasa tanpa tanggung jawab? Namun sekiranya benar bahwa ia mempunyai tanggung jawab, di manakah ada tanggung jawab tanpa kebebasan? Lalu apa itu tanggung jawab? Tanggung jawab ialah ketika ada kebebasan yang di batasi oleh kewajiban-kewajiban, dan ketika ada kewajiban yang di laksanakan dalam sepenuh-penuh kebebasan. Pertama, adalah kebebasan. Pohon pengetahuan itu sekaligus menawarkan diri, tetapi juga memampangkan larangan. Pohon itu memperhadapkan kepada manusia sebuah pilihan. Dan setelah pilihan, keputusan. Tetapi ketika manusia di haruskan untuk memilih dan mengambil keputusan atas beberapa kemungkinan, inilah yang di sebut kebebasan. Kedua, adalah kewajiban. Karena Allah memberikan kepada manusia tanggung jawab, maka di berikan oleh Allah: kebebasan. Tetapi hanya kebebasan, bukanlah jaminan. Karena kebebasan itu di berikan tidak tanpa alasan, tetapi supaya tanggung jawab tadi dapat di laksanakan. Oleh sebab itu, kebebasan tadi baru daat memenuhi tujuan, kalau ia di terimah dalam ketaatan. Itulah mengapa, di samping kebebasan terpampang larangan. Silahkan memilih, tetapi memilih dengan tnggung jawab sendiri. Adakah manusia memilih kebebasan dalam ketaatan? Ataukah, ia menikmati kebebasan dengan mengambil buah larangan?

Perbincangan sekitar masalah lingkungan hidup bukanlah hal yang sama sekali baru. Lingkungan hidup di sini adalah segalah sesuatu yang terdapat dalam ruang yang kita tempati dan yang mempengaruhi hal-hal yan hidup termasuk manusia. Dari perbincngan yang ada, baik lokal maupun internasional dapat di simpulkan bahwa keseimbangan lingkungan hidup sedang terganggu akibat pencemaran udara, tanah, hutan dan air yang di sebabkan ulah manusia. Manusia dengan kemampuan iptek saat ini tidak lagi peduli bahkan menghargai alam sebagai ciptaan dan milik Tuhan. Budaya konsumtif yang serakah, yang tidak lagi memikirkan hari esok bagi generasi mendatang sedang mengancam kelestarian lingkungan hidup. Sungai, danau dan laut bahkan samudera raya terancam oleh pencemaran dan sampah manusia. Debu dan pencemaan di atmosfir telah mengubah suhu bumi sehingga mengancam iklim yang perlu untuk keberhsilan pertanian.Penerbangan hutan bersamaan dengan lenyapnya rumput yang melindungi tanah menuju ke erosi, kekeringan dan banjir, yang pada giliranya dapat mengancam kelangsungan hidup alam dan segala ciptaanNya.

Kita hidup dalam suatu ekosistem yang terdiri dari semua faktor dalam lingkungan kita. Semua faktor itu saling mempengaruhi. Kalau salah satu faktor diganggu smua faktor ikt terganggu. Karena itu manusia tidak bisa merusak lingkungan di mana ia hidup bersama ciptaan-ciptaan lainnya tanpa merugikan dirinya sendiri. Ia di beri tanggung jawab untuk memperjuangkan kelangsungan dan keutuhan hidup ”taman eden” agar tetap terjaga, permai dan lestari. Kesewenang-wenangan dan keserakahan manusia yang tanpa batas atas lingkungan dan alam ciptaanNya merupakan suatu penyangkalan akan kedaulatan Allah, dan kealpaan terhadap tanggung jawab yang di berikan Tuhan kepadanya. Ia menjadi wakil Allah di anatra makluk-makluk ciptaanNya. Ia hidup di dunia ini sebagai duta Allah. Dan sebagai duta Allah ia di beri tugas untuk mengatur dunia sesuai kehendakNya. Tidak ada kehormatan dan kepercayaan Tuhan sendiri untuk memelihara dan melestarikan ”taman eden” ciptaanNya sendiri. karena itu, semua upaya dan pelayanan kita dalam rangka pelestarian dan pengembangan ”taman eden”, tempat kita bermukim ini merupakan implementasi dari pembaruan yang telah, sedang dan akan di kerjakan oleh Tuhan sendiri.

DAMAI DI HATI, NATAL DINANTI

Selama bulan puasa dan menyongsong lebaran Idul Fitri 2005 yang lalu, khusus bebagai acara yang di tayangkan oleh RCTI- mengingatkan saya pada sebuah tulisan: ”Fitri di hati, RCTI di nanti”.Tak salah juga, dalam konteks minggu-minggu adventus sekaligus menyambut suka cita Natal, tulisan itu saya merubah menjadi ”Damai di hati Natal di nanti”, karena Sang Penebus telah datang ke dunia untuk menyelamatkan manusia dan semua ciptaanNya. Minggu-minggu adventus ini di rayakan selama empat minggu berturut-turut, sebagai masa penantian ’kini’ dan ’akan datang’ dari kedatanganNya yang definitif itu.

Damai di hati, Natal di nanti, artinya penantian dan perayaan Natal itu baru berarti, jika hati manusia telah di singgahi damai yang utuh apa artinya merayakan adventus dan Natal dengan segala kesyahduannya, sementara hati kita masih terkoyak-koyak oleh kebencian dan kepentingan diri karena keserakahan yang tak pernah habis-habisnya. Minggu-minggu adventus menjelang Natal adalah ketika kita semestinya lebih melihat dan mendengar betapa orang berteriak dan meratap akibat angkara murka manusia terhadap sesamanya. Minggu-minggu adventus menjelang Natal adalah ketika kita semestinya lebih memahami betapa teriakan dan ratapan mereka itu telah sampai ke hadirat Allah. Minggu-minggu adventus menjelang Natal adalah ketika kita semestinya lebih merasa sebuah tuntutan untuk segera menjawab panggilan Allah, meyatakan syalom Allah kepada mereka yag terbelenggu hati nuraninya oleh berbagai kepentingan, kelicikan dan ketamakan.

Dalam hubungan ini ada baiknya kita bercermin pada Yakub, salah seorang tokoh dalam Alkitab-yang menurut hemat saya sangat kontroversial. Dari kesaksian Alkitab, siapa yang tidak kenal Yakob? Umat Israel sendiri menyebut diri sebagai keturunannya, bahkan Allah sendiri-bila memperkenalkan diri-Ia menyebut diri: Allahnya Abraham, Isak dan Yakub. Tapi jangan lupa, ia juga seorang manusia dengan lembaran sejarah hidup amat hitam di belakangnya.bayangkan saja, harga diri dan berkat tersangkut dengan kelicikannya, kelihainnya yang beridikasi penipuan terang-terangan. Ia menipu Esau dengan sepiring kacang merah untuk sebuah hak keselungan, dan karena itu membohongi Isak, ayahnya untuk membatalkan berkat yang sama sekali bukan haknya. Belum lagi Laban pamanya di kelabui sehingga menjadi kaya raya, banyak istri, banyak harta dan banyak hamba sahaya. Hidupnya sukses tetapi sekaligus tragis amat. Bergelimang harta tapi jauh dari bahagia, sampai matinya.

Tetapi ada sesuatu yang tak tercerna oleh akal sehat kebanyakan orang, yaitu Yakub memutuskan untuk kembali ke kampung halamanya. Pada hal sejak ia menipu kakak kembarnya, dan ayahnya sendiri, perasaan takut menghantui dirinya, sampai melarikan diri dan mengungsi kerumah Laban, serentak juga demdam kesumat Esau karena merebut berkat yang semestinya adalah hak Esau. Bagi Esau, ini penipuan dan perampokan terang-terangan dan sudah pasti ia bersumpah,Yakub mesti mati di tanganya. Yakub memutuskan kembali, meski ia ia tahu semua risiko yang bakal di hadapinya. Di atas semua sukses lahiriah yan g sudah ia raih, tetap dad sesuatu yang mengganggu dirinya: bayangan hitam masa lalunya. Ternyata keluarga yang bahagia, harta milik berlimpah, bukanlah jaminan yang dapat memberikan satu hal yang paling ia butuhkan: kedamaian di hati. Dan terjadilah drama yang mengagumkan itu. Ia menyeberang sungai Yabok, dan di situ bergulat untuk mendapat jaminan berkat Allah. Akhirnya, rupa-rupanya itulah satu-satunya yang menjamin kedamaian hatinya, ketika drama itu kemudian berakhir dengan bertemunya dua saudara kembar itu, saling berpelukan dan bertangis-tangisan.

Mari kita belajar dari pengalaman-pengalaman Yakub. Kita bercermin pada kisa hidupnya. Pasti bukan pelajaran yang terlalu di luar jangkuan kita.sebab baginya kedamaian di hati itu menjadi sangat utama, yang lainnya, betapapun berharga, bukan satu-satunya. Kita dapat memiliki apa saja, kita dapat menguasai apa saja, tetapi bila yang tak kita miliki adalah kedamaian di hati, maka yang tak kita miliki itu adalah kebahagiaan.

Minggu-minggu adventus menjelang Natal, mengingatkan kita syalom itu adalah kenytaan. bahwa syalom itu, kini ia tawarkan kepada siapa saja yang rela berjuang demi masa depannya. Kalau begitu, makna adventus bagi kita adalah begini. Bahwa kedamaian di hati adalah sesuatu yang mesti kita temukan dalam hidup ini, memasuki Natal yang penuh suka cita. Memang Damai di hati merupakan ssuatu yang untuk di upayakan, menyongsong Natal di nanti, yang bersorak demi kemuliaan namaNya.

KELUARGA SEBAGAI PEMBAWA BERKAT

Menngetahui mitologi sejarah dan asal-usul merupakan kebutuhan setiap orang. Dengan mitologi dan asal-usul, manusia memiliki jati diri sebagai pegangan hidup.

Jati diri yang mengarahkan manusia untuk bersikap, berbudaya, berpola-pikir,memiliki pandangan hidup dan menjalankan kehidupan. Mitologi sejarah dan asal-usul dapat bersifat individual atau komunal. Kitab kejadian fasal 12 yang sudah sering kita baca, merupakan salah satu mitologi sejarah dan asaul-usul orang Isarel. Mitologi ini bersifat komunal, dan kisahnya ini lebihb berperan bagi orang Israel dala memahami eksistensi dan sikap mereka sebagai umat Allah.

MEMANG kejadian 12 ini tidak bisa secara gamblang dan picik di hubungkan dengan sepak terjang bangsa Israel zaman ini, apalagi dalam dunia politik. Kitab kejadian berbicara tentang asal-usul bangsa Israel, sebuah komunitas beriman dibawah kuasa Allah. Sedangkan bangsa Israel abad ini adalah negara sekuler yang menjalankan pemerintahannya berdasarkan kepentingan politik. Ada yang masih berpikir bahwa bangsa Israel yang sekarang ini adalah umat Israel di zaman Perjanjian Lama. Akibatnya, perseturuan antara Israel dan Palestina dewasa ini dihubungkan dengan perseturuan antara Kristen dan Islam. Padahal perseturuan mereka adalah soal politik murni. Bangsa Israel yang sekarang pun tidak ada hubungan iman dengan umat Israel di Alkitab, apalagi hubungan kepentingan. Ada sebuah tulisan yang menyatakan, 10 % bangsa Palestina beragama Kristen dan secara batin bangsa Palestina merasa sangat dekat pemeluk agama Kristen, dan ini nyata dalam sikap Yasser Arafat semasa hidupnya sangat familiar dan inklusif dengan Kristen.

Tokoh Abram ditampilkan disini sebagai pembuka sejarah dan asal usul Israel secara partikular. Ia merupakan nenek moyang bangsa Israel sekalis teladan iman bagi orang percaya. Tanpa kisah Abram ini, kemungkinan orang Israel tidak memiliki mitologi dan asal-usulnya.

Abram menerima perintah Tuhan: ”Pergilah dari negerimu, ........... ke negeri yang akan Kutunjukan kepadamu”. Abram harus meninggalkan kampung halaman dan ayahnya di Ur Kasdim. Perintah ini berpijak pada pertimbangan Allah sendiri, yang merupakan pernyataan perjanjian yang pernah di ucapkanNya kepada Abram ini janjiNya sebagai konsekuensi atas pemilihan Allah kepada Abram, bahkan melalui Abram segala bangsa di atas bumi akan mendapat berkat.

Usia Abram pada waktu itu tujuh puluh lima tahun. Bila di bandingkan zaman sekarang, usia seperti itu tergolong manusia lanjut usia. Abram berhak memegang KTP seumur hidup, pensiun sejak lama, dan tidak tergolong usia produktif. Bayangkan, kaya dan sehat, maka kerjanya di usia senja itu adalah menikmati hari tua. Bisa berpesiar keliling dunia, mengadakan reuni dngan teman-teman lama dan keluarganya. Seandainya ia memiliki sejumlah perusahan yang cukup bonafit, orang-orang kepercyaannya akan menyetor hasil keuntungan dari perusahaanya. Kalau ia tidak punya anak, maka di usia itu, ia pun tidak perlu memikirkan cucu, melainkan dengan beramal menjadi orang tua asuh. Abram sudah mencapai tehap mapan dan aman ketika dipanggil keluar oleh Tuhan. Mapan, karena usia dan pengalamannya, aman karena di tinggal di tanah leluhur bersama sanak saudaranya. Namun yang dialami Abram berbeda dari kelaziman para manula seperti kondisinya.

Tuhan memanggil umtuk memulai hidup baru diusia lanjutnya. Hidup baru dimulai dinegeri asing, karena Israel adalah bangsa asing dikanaan, tetapi Tuhan berjanji akan membuatnya menjadi bangsa yang besar, memiliki kemasyhuran, penuh berkat dan kuasa untuk mengutuk. Tuhan juga menegaskan kembali dan berjanji untuk memberikan negeri Kanaan kepada keturunannya. Diusia lanjutnya, Abram bukan hanya tak memiliki segalanya: nama, negeri asing, tetapi juga baru kehilangan segalanya: negeri asal, tanah leluhur, karier, kekayaan dan sebagainya. Abram mau mendengar perintah tuhan dan siap meninggalkan negerinya. Kondisi Abram akan sangat berbeda, jika ia pergi meninggalkan negeri untuk memulai hidup baru di negeri asing ketika masih usia produktif. Modalnya hanya satu, yakni janji Tuhan akan negeri dan keturunannya. Sampai akhir hayatnya, Abram hanya memiliki seorang anak dan sebidang tanah untuk keturunannya. Mana keturunan yang banyak? Mana negeri yang dijanjikan itu?

Tetapi generasi berikutnya, anak Abram memiliki keturunan yang banyak dan menjadi suatu bangsa yang besar. Peran Israel sebagai bangsa yang besar terjadi di zaman Raja-raja. Namun semuanya hanya berlansung selama tiga-empat abad. Kerajaan Israel segera lenyap karena dosa-dosa mereka sendiri. Mereka menjadi bangsa tanpa tanah air hingga kini. Keturunan Abram memang banyak, tetapi berserakan di segala penjuru dunia, termasuk Indonesia. Saya sendiri pernah menyaksikan di Surabaya ada sebuah persekutuan Yahudi bagi keturunan Yahudi. Mereka memiliki rumah Ibadah sendiri: Sinagoge. Di negeri Israel. Namun Abram sebagai nenek-moyang Israel tetap menjadi bagian internal mereka sebagai nenek-moyang.

Belajar dari pengalaman Abram ini, kita juga dipanggil untuk tugas yang sama sebagai keluarga Kristen untuk berperan menyalurkan berkat-berkatNya kepada orang lain. Kita di ingatkan akan peran dan tanggung jawab keluarga sebagai anugerah Tuhan serta menjadi berkat bagi sesama. Abram telah memberikan dasar-dasar beriman bagi setiap keluarga. Sikap mendengarkan perintah Tuhan adalah hal utama dalam kehidupan keluarga beriman, dan bukan materi atau kemasyhuran duniawi sesaat. Iman tidak didasarkan atas kepuasan sesaat, pragmatis, impulsif, melainkan menatap jauh kedepan, kepada masa depan yang didatangkan Allah bagi kita. Menjadi keluarga beriman berarti menjadi saluran berkat bagi dunia, bagi masyarakat dimana kita berada. Kita perlu menyadari, bahwa menjadi berkat berarti membutuhkan perjuangan untuk melawan egoisme, dan meyambut panggilan Tuhan. Menjadi berkat bagi keluar dari rasa aman dan kemapanan keluarga sendiri untuk mendengarkan panggilan Tuhan. Menjadi berkat berarti memiliki kepekaan sosial dan tanggung jawab sosial terhadap lingkungan masyarakatnya. Untuk mewujudkan panggilan dan tanggung ini memang tidak mudah. Tergantung keseriusan dan kepekaan kita dalam melaksanakan panggilan tersebut.

Bulan Oktober sebagai bulan Keluarga, yang memberikan perhatian khusus kepada sikap solidaritas sosial (sesamaku dihatiku) telah kita lewati bersama, tetapi masih menyisahkan sejumlah pertanyaan asensial: Apakah kita sudah membangun keluarga kita sebagai sekolah sosial yang pertama dan tak tergantikan bagi anggota keluarga, sehingga setiap anggota keluarga kita miliki kepekaan sosial terhadap yang lain? Sudahkah keluarga kita menjadi ujung tombak yang baik dalam kehidupan pelayanan dan kesaksian gereja? Apakah masyarakat sekitar kita merasakan manfaat positif sebagai berkatNya dari kehadiran keluarga kita?

KEMERDEKAAN SEBAGAI KARUNIA TUHAN

Peringatan kemerdekaan ke-60 Republik Indonesai baru saja berlansung. Terbayang lagi pada pagi hari, 17 Agustus 1945 di Jakarta, telah membaca Proklamasi Kemerdekaan yang disepakati dan dirumuskan hanya beberapa jam sebelumnya,

Ir Soekarno berkata: ”Demikianlah saudara-saudara, kita sekarang telah merdeka”. Tak heran juga, rasa haru dan riang, pasti mendenyuti dada setiap putra Indonesia di saat-saat kita merayakan HUT kemerdekaan bangsa kita. Kenangan silam dan harapan mendatang membaur dibenak kita masing-masing.

DIBANDING banyak negara didunia yang sudah ratusan tahun menikmati kemerdekaannya, kurun waktu 60 tahun tidak lagi tergolong muda tapi lansia, sehingga dianggap lebih matang, lebih arif, lebih bijaksana dan lebih mengayomi. Namun peringatan itu masih diwarnai kegelapan yang menyelimuti mesyarakat Indonesia. Kurun waktu 60 tahun merdeka, bukannya makin matang, dan tegar menghadapi dinamika yang berkembang, melainkan makin tidak terkendali untuk tidak mengatakan ’berjalan di tepat’ atau bahkan mengalami kemunduran.

Ketika semua wacana hidup bermasyarakat dipolitisasi, ruang kebebasan semakin kebablasan diartikulasikan, ketika eufaria publik semakin tidakp menentu, maka pada saat yang bersamaan, manusia sebenarnya sudah masuk perangkap keterjajahan alias tidak lagi merdeka. Bahkan kebebasan yang diartikan secara berlebihan menjadi euforia, yang akhirnya mengakibatkan manusia kehilangan kemanusiaannya. Belum lagi tragedi busung lapar sampai aksi kekerasan oleh sekelompok masyarakat berkedok keagamaan dengan melakukan penutupan tempat-tempat ibadah, sungguh memprihatinkan. Kasus gelar palsu yang melibatkan orang-orang yang ingin menggondol ’ijazah mentereng’ sekaligus memuaskan keinginan individu-individu yang ’gila gelar’ tetapi tidak siap bekerja keras, telah melecehkan pendidikan kita sekaligus menjengkelkan mereka yang susah payah sekolah untuk mendapatkan gelar akademik yang sah. Rasanya usia 60 tahun bangsa kita merdeka, bukan menikmati hidup, malah masih harus berjuang untuk hidup.

Mukadinah UUD 1945 mencantumkan pengakuan bersama yang merupakan keyakinan religius sebagai bangsa dan negara berdaulat, bahwa kemerdekaan bangsa kita adalah karunia Tuhan. Tuhan mengaruniakan kemerdekaan bagi kita, kita selaku bangsa menjaga, memelihara dan menggunakan kemerdekaan itu secara bertanggungjawab dan tidak menyalagunakan atau menyia-nyiakan. Bila dalam hakikat pengakuan bangsa kita, kemerdekaan adalah karunia Tuhan, jelaslah bahwa tidak mungkin kemerdekaan itu kita anggap sebagai ”privilese” segolongan manusia tertentu dan berbuat sekehendak hati mereka. Sebaliknya kemerdekaan itu kita terima sebagai kesempatan terindah untuk memanfaatkan, mengolah dan memperkembangkan karunia Tuhan itu demi kebahagiaan seluruh rakyat kita malah untuk kepentingan manusia seluruhnya.

Tak salah bila kita merenungkan kembali nasehat rasul Paulus tentang kemerdekaan, sebuah pesan kuno tetapi tetap relavan bagi kita. ”Saudara-saudara, memang kamu telah di panggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layani seorang akan yang lain oleh kasih” (Gal. 5:13). Dari gaya dan nada kalimat tesebut terasa bahwa ia bersifat negatif, karena dimulai dengan peringatan ”janganlah”, yang memang menjadi karakteristik bagi suatu bahasa hukum. Tapi kalimat tadi di susul dengan lanjutan yang bersifat positif, ”malainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih”. Rumusan rasul Paulus ini mengandung makna yang sangat luas dan dalam, ia lebih menekankan bobot sosial dan orientasi kerakyatan dalam segala segi pembangunan untuk lebih meningkatkan upaya pemerataan, sehingga dimensi keadilan sosial makin dirasakan sebagai kriteria yang menentukan, lebih mempertinggi kedar dedikasi, pengabdian, semangat kepahlawanan dan cinta bangsa dan tana air.

Saya teringat catatan George Orwell ten tang kemerdekaan dalam novelnya berjudul : ”Nineteen Eighty-Four”, mengatakan: ”sejarah dipenuhi catatan tentang kenyataan yang getir. Banyak negara yang merdeka, berdaulat penuh, tetapi hany menyisikan ruang gerak yang sempit bagi kebebasan. Seakan-akan antara kemerdekan dengan kebebasan terbentang jurang lebar;malah ironisnya, bertentang secara diametral.”Lepas dari hura-hura massal dan selung idiologi yang didengungkan tentang kebebasan, persoaalanya bukanlah soal kebebasan itu sendiri, kebebasan. un sich melainkan setelah kebebasan. Sejarah masih mencatat ketegangan antara kemerdekaan dengan kebebabasan. Kareena keemerdekaan memang dapat diproklamirkan tetapi tidak untuk kebebasan.Kebebasan ternyata bukan soal ”pemindahan kekuaasaan, ”kebebasan juga soal dapat ”diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Kebebasan lebih dikaaitkan dengan geak resah jiwa atau pengambilan sikap jiwa untuk berani berkata ”tidak”. betapapun lirihnya.

Ada orang mengatakan, kebebasan bukan samudera tampa batas yang boleh diar ungi oleh kapal-kapal, melainkan dibatasi oleh pantai-pantai. Itulah tanggung jawab yang menjadi pantai-pantai dari samudera kebebasan. Membahasakan lebih sederhana nasihat paulus tadi, saya maukatakan ada 2 macam kebebasan: kebebasan semu, yaitu ketika orang bebas untuk melakukan apa saja yang ia inggin lakukan (Mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa) dan kebebasan sejati, yaitu ketika orang bebas untuk melakukan apa yang harus ia lakukan (layanilah seorang akan yang lain oleh kasih). gr

PASKAH YANG TIDAK PASRAH

Belum lama ini, menjelang paskah 2005, seorang anggota Majelis jemaat, mengeluh pada saya. Bukan soal perkunjungan rumah tangga oleh pendeta, kali ini sangkut paut dengan perayaan-perayaan gerejawi, yang menurut dia ”tidak adil”. Itu paling jelas, katanya, jika membanddingkan antara perayaan Natal dan Paskah.

”Waktu Natal, atmosfirnya sangat terasa dimana-mana. Kemanapun kita pergi, suasana Natal dapat dirasakan. Belum lagi, sepanjang kompleks pertokoan, kerlap-kerlip pohon Natal dan sahduhnya Lagu-lagu Natal”, ujarnya. ”coba bandingkan dengan suasana Paskah, bahkan di gereja pun tak terasa lagi, termasuk peghujung ibadah tak berbeda dengan hari-hari Minggu lainnya, kecuali untuk sekolah Minggu, sibuk dengan pawai subuh dan makan ’telur paskah’, nanti usai Paskah, tontonan bermakna setiap tahun dengan Pawai Paskah Pemuda GMIT. Padahal Paskah’kan, seharusnya, perayaan yang paling fundamental?”

Saya menggut-menggut saja. Seharusnya memang begitu?, Jawab saya dalam hati. Memang dikepala saya teringat lagi, pernyataan Paulus kepada komunitas Kristen di Korintus: ”Andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu”. Paulus menjelaskan kebangkitan Yesus, dalam bentuk kata kerja pasif: ’dibangkitkan’, artinya kebangkitan Yesus itu merupakan perbuatan Allah semata.

Yang jelas, saya tidak sempat memberi tahu kepada rekan saya ini, tentang sebuah tulisan yang pernah saya baca. ”terus terang, kata teolog itu, saya justru lebih suka perayaan paskah berjalan sunyi senyap seperti sekarang, dan tidak menjadi perayaan, atau tepatnya pesta hingar-bingar sepeti saat Natal memang sudah melulu menjadi sarana bisnis dengan segala atribut kerohanian yang cengeng itu”. Karenanya, ujarnya lagi, ”saya justru bersyukur Paskah berjalan sunyi senyap. Sama seperti kesunyian senyapan alam semesta, saat Allah sendiri memutuskan untuk memihak dan solider dengan manusia yang compang camping, pada keterbatasan dan ambiguitas eksistensial manusia, lalu mati di kayu salib. Semuanya memang ’sudah genap’, kata Alkitab. Dan karenanya, semuanya kembali pada kesunyian abadi”.

Saya tidak tau pendapat anda,mungkin setuju, atau mendukung komentar rekan saya tadi. Tapi, yang pasti pada titik itu, kontradiksi iman kristiani mencapai puncaknya. Yang transenden menerobos masuk kedalam imanensi, membuat ”retakan” (repture) dari mana cahaya dapat masuk menerangi kegelapan dan memungkinkan manusia ”melompat keluar” dari kukungan imnensinya. Kata seorang penyair, ”kegelapan tak lagi kelam dihadapan-Mu, malam bagaikan siang benderang”.

Sebagiamana keterangan waktu dalam Injil Matius, juga dalam Kitab-kitab Injil lainnya, hanya dengan pengalimatan yang berbeda, ”menjelang menyingsing fajar” jadi keadaan antara gelap dan terang, seperti situasi kita melangkah memahami paskah. Mentari pagi masih bersiap diri sebelum menyingsingkan fajar. Dunia masih terpukau dalam tidur yang menggelisahkan. Namun, ada janji yang pasti dibalik ufuk timur, ada api yang sedang dinyalakan untuk memberi kehangatan baru. Demikianlah suasana itu, ketika Maria Magdalena dan Maria yang lain pergi menengok kubur Yesus. Peristiwa besar dalam sejarah keselamatan mencapai klimaksnya, Ia telah bangkit dan mengalahkan maut. Mereka menyaksikan peristiwa dahsyat itu, dipenuhi oleh sukacita besar yang melahirkan tindakan dan aksi, kendati sebelumnya mereka tenggelam dalam kesedihan dan ketakutan yang menjadi –jadi.

”Jangan takut. Ia telah bangkit”. Inilah detik terangung dari ucapan pembukuaan berita sorgawi. Berita tentang tindak penyelamatan Allah dalam Kristus. Ia telah bergulat dengan dosa dan salib. Allah membuktikan keunggulan kuasa-Nya atas dosa dan maut, dengan membangkitkan sang Penebus dari kegelapan dan kematian. Kini, Yesus unggul dan menjadi satu-satunya pengharapan kita. Kristus, yang katanya sebagai orang ”kalah”, ternyata adalah Kristus yang ”menang”. Dan karena itu disingkapkan pula seluruh masa depan, penuh pengharapan, penuh kepastian

Para murid yang sempat terserak dan terpisah, pragmatis, malah hidup menyendiri dalam ketakutan, dipersatukan dalam ikatan komunitas yang digetarkan oleh cinta Tuhan yang tak pernah mati. Paskah telah merombak dan membarui secara total kehidupan para muridNya. Kedukaan berubah menjadi kesukacitaan; kebutaan iman ditransformasikan menjadi kemampuan untuk melihat masa depan lebih tajam; ambisi-ambisi duniawi beralih menjadi kesediaan melayani dalam cinta kasih, malah sikap kepengecutan mereka beranjak menjadi keberanian keberanian yang polos. Kebangkitan kristus tidak mengubah wajah dunia. Dunia tetap saja bopeng dan penyakitan berkepanjangan; menyeramkan dan meresahkan. Namun, kebangkitan Kristus mengubah manusia. Ia melahirkan harapan baru, semangat baru dan keberanian baru; keberanian untuk hidup dan berkarya ditengah ragam kegelisahaan yang meresahkan. Karena itu, paskah membuat kita dapat pasrah ditengah keresahan dan kegalauan pikiran manusia yang cenderung stres dan seterusnya.

Iman Kristen yang didasari pada peristiwa Paskah, ternyata memberi pengharapan baru kepada setiap pengikut Yesus, sebab tidak berangkat dari kematian, melainkan kebangkitan. Tidak bertolak dari kekalahan, melainkan kemenangan. Ada kecerahan pengharapan di tengah kegelapan ketiadaan pengharapan. Itulah Paskah.

Saya ingin mengatakan semua ini pada rekan saya, tapi saya ragu, apakah dia dapat ”merasa”, atau siapa tau dia sempat membaca tulisan ini, dan kita dapat ”bersambung rasa”. Selamat Paskah (gr)

GLORIA IN EXCELSIS DEO

BETLEHEM adalah kota Daud, terletak sekitar 9 km di selatan Yerusalem. Dahulu bernama Efrat, dan dikenal sebagai Betlehem Yehuda, atau Betlehem Efrata-dengan para gembala di padang, merupakan latar belakang dari cerita kelahiran Tuhan Yesus. Disana berkumandang berita kesukaan besar bala tentara sorga: GLORIA IN EXCELSIS DEO-”Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi” dan damai sejahtera di bumi bagi manusia yang berkenan kepadaNya (Luk. 2:14). Itulah yang terjadi ketika Allah mengutus Putera-Nya, Yesus, turun ke dunia-seluruh ciptaanNya, diberitahukan tentang kedatangan Sang Penebus. Malaikat dengan segala balatentara sorgawi telah menyambut dengan puji-pujian akan perbuatan Allah yang mahabesar itu. Yesus dilahirkan di Betlehem, sebuah kampung gembala – ternyata telah menerima, menyaksikan dam memasyurkan berita kesukaan itu.

Ada yang menarik dan merupakan kekhasan yang sangat penting artinya di seputar kata gembala itu. Di satu pihak, ia dapat berarti seorang raja, imam, atau seorang pemimpin, bahkan kadang-kadang untuk Allah sendiri diperugunakan kata khas Gembala. Daud sendiri, semula profesinya sebagai gembala – sampai di dalam mazmurnya terucapkan, ”Tuhan adalah gembalaku........”. Di pihak lain, kita berhadapan dengan sebuah realita yang berlawanan dengan pengertian gemabala itu. Bukankah, di dalam kehidupan sehari-hari, gembala itu menjalani hidup yang berat dan berbahaya, mereka adalah representatif lapisan masyarakat papa, terhina dan terlupakan – mereka ini tergolong orang kasar dan keras. Namun, itulah pengertian yang sesungguhnya dari kelahiran yesus, ia mau mementaskan kemahatinggian dan kemahamulianNya selaku Raja dan Imam, tapi serentak itu pula menunjukan kepapaan dan kenistaan Yesus, Anak Manusia.

Madah ini sebenarnya merupakan suatu pemberitahuan, atau pernyataan yang cukup tegas – karena ketika itu malaikat baru saja mengumandangkan berita kelahiran Yesus – ”Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat,......” (ay. 10 dyb). Spontanitas balatentara sorga yang menyambur berita ini dengan suatu paduan suara akbar: ”Kemuliaan bagi Allah........”. mereka melihat peristiwa dahsyat di Betlehem itu dalam perspektif penyelamatan manusia dan alam semesta. Dalam karya Allah yang agung ini, mereka melihat Allah seolah-olah merobek dadanya sendiri untuk memberi hatinya kepada dunia ini. Mereka tak tahan menanti seketika pun lagi, dan tiada kata-kata yang mampu untuk melukiskan keagungan dan kemuliaan tindakan Allah itu, kecuali bergemalah puji-pujian bagiNya demi keselamatan dunia.

Pertama, kemulian bagi Allah menjadi nyata. Dengan kelahiran Yesus, kuasa dan kasihNya telah aktualisasikan, dan dimulailah suatu zaman baru di mana tanda-tanda kuasa dan kasih Allah ditampakkan dalam dunia. Kita mencatat di sini, dalam peristiwa Natal itu, prioritas diberikan kepada kemuliaan Allah. Ini berbeda dengan kita yang biasanya merayakan Natal dari sudut pandang kita sendiri. Kita menyambut anugrah Natal itu dengan berbagai kesibukan dan persiapan untuk membuat perayanaan Natal semeriah mungkin. Akan tetapi, belum lagi selesai, atau segera setelah selesainya perayaan, mulai timbul salah paham-ada yang tidak setuju dengan acaranya, ada pula yang memprotes panitia, sehingga perayaan Natal harus berakhir dengan kehebohan. Hal ini disababkan karena kita menempatkan pusat perayaan Natal pada ”kemuliaan Allah di tempat yang mahatinggi” –kita tidak menempatkan jawaban kesukacitaan kita atas hadiah agung Natal itu dalam prospektif ”Gloria in excelsis Deo”-padahal laskar sorgawi dalam menyambut berita kesukaan besar itu terlebih dahulu memuliakan Allah.

Kedua, damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan dengan kepadaNya. Kita butuh damai, rupanya suatu ilusi-padahal damai adalah kebutuhan kodrati manusia. Penulis Kitab Kejadian sendiri mengatakan, ”selama bumi masih ada, tak akan behenti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam”. Adalah benar juga, bahwa selama manusia masih bernafas, perang dan sengketa; kekerasan dan kejahatan tak akan berkesudahan. Dan banyak hati tak berhenti berbisik: ”Tuhan, adakah damaimu tersisa dibumi ini?” Apalagi, orang-orang sekarang ini pada bertanya, siapakah gerangan diantara manusia kini yang masih begitu tolol dan edan meyerukan damai di bumi? Tidakkah kenyataan sejarah sekarang ini menunjukan hal yang sebaliknya?

Tapi bukan demikian perkataan dan pikiran laskar sorgawi yang memuliakan Tuhan. Mereka tidak mengartikan damai itu hanya berarti tidak ada perang. Mereka tahu bahwa damai yang sesungguhnya itu telah diperkosa dan direnggut, ketika manusia pertama memproklamirkan perang melawan Tuhannya di taman Firdaus. Dan selama dosa masih bercokol dalam hati manusia, selama itu pula tak akan di peroleh damai di antara manusia.

Mereka yang lain, masih juga tercatat sebagai juara sampai merebut hati umat manusia. Film Gandhi memenangkan delapan Oscar di Hollywood. Uskup Agung Helder Camara dari Brasilia menjadi pemenang Hadiah Niwano untuk Perdamaian. Lech Walesa dan Sr. Pilar Verzosa, pemenang bersama Hadiah Perdamaian dari Kelompok Kerja Keadilan dan Perdamaian Universitas Katolik Eichstatt di Jerman Barat.

Mengapa mereka ini jadi juara? Kerena mereka datang tepat pada waktunya-ketika dunia jadi ruang pengap dan bersesakan, penuh udara busuk, keserakahan, kekerasan, ketidakadilan, penindasan, perang dan tangisan. Ketika manusia sesak nafas, hampir putus asa, terkurung di dalam batas yang ia ciptakan sendiri. Pada saat itulah mereka datang, membuka jendela, dan angin sejuk berhembus masik. Manusia terhenyak sadar, terbuka mata, melihat keluar dan merasa lega. Damai dialami oleh mereka yang terbuka hatinya. Alasan lainnya, karena mereka keluar dari ’batas’-batas aku, suku, bangsa dan agama. Mereka membawa orang keluar batas.

Ada yang mengatakan, rupanya nyanyian pernyataan ini merupakan puncak dari pelaksanaan tugas malaikat sebagai pembawa berita Allah. Sekarang tugas tersebut dialihkan kepada gereja sebagai pembawa berita Allah. Sekarang gerejalah yang bertugas menjadi pesuruh dan penerus berita kesukaan itu. Gereja bertugas memberitakan dan mewujudkan bahwa dengan kelahiran Yesus dimulailah kehidupan di mana kemuliaan Allah dan damai sejatera manusia ditampakkan. Damai yang dianugerahkan oleh Natal itu jauh lebih kaya dan agung dari pada sekedar kedamaian individual, atau perdamaian yang melulu spiritual. Karena di mana terdapat manusia yang sudah diperdamaikan dengan Tuhannya, maka dengan sendirinya ia akan hidup dalam perdamaian dengan sesamanya. Damai yang dianugerahkan oleh Natal itu adalah damai yang kreatip, dinamis, yang memperjuangkan perdamaian-damai yang melahirkan damai.

Kalau sekarang gereja menggantingkan fungsi malaikat, mestinya gereja juga tau diri bahwa perannya tidak lebih dari sekedar pembawa berita. Malaikat tidak mempunyai arti dalam dirinya sendiri. Malaikat bukan subyek yang bertindak yang bertindak sendiri dan menarik perhatian kepada dirinya dirinya sendiri. Pusat adegan bukanlah malaikat melainkan Yesus. Karena itu, mengertilah kita sekarang, mengapa Natal menjadi pesta yang hiruk pikuk dan penuh warna-warni, tapi jarang menyentuh hati. Sebab berita kesukaan yang diberikan oleh Natal berbeda dengan berita kesukaan yang kita nantikan.

Apakah kita tidak ikut serta memadukan suara kita dengan dengan puji-pujian malaikat tadi? Kenapa tidak? Gloria in excelsis Deo-kemuliaan bagi Allah ditempat yang mahatinggi, dan damai sejatera dibumi diantara manusia yang berkenan kepadaNya.

YESUS ATAU BARABAS

Markus 15 : 1-2

Saudara-saudaraku yang dikasihi Tuhan,

Hidup manusia sering dibayangi oleh sikap pengambilan keputusan. Cepat atau lambat keputusan yang diambil tergantung masalah-masalah yang kita hadapi. Beberapa contoh dapat dikemukakan disini. Seorang pengemudi mobil akan segera mengambil keputusan mengerem laju kendaraannya saat mengahadapi bahaya tabrakan. Ini keputusan yang tepat, bila ia tidak ingin celaka atau mencelakakan orang lain. Contoh lainnya, acara TVRI yang selalu diamati permirsa: ”Berpacu dalam melodi”, atau kuis ”Piramida” di RCTI, juga kuis ”Apa ini, Apa itu” dengan pembawa acara Jeffrey Woworuntu, artis beken pilihan RCTI, menuntut seorang peserta harus cepat mengambil keputusan untuk memilih jawaban yang tepat. Berbeda dalam memilih calon isteri atau suami, pengambilan keputusannya justru lebih hati-hati karena membutuhkan waktu yang cukup lama.

Lalu bagaimana dengan masalah iman kita? Kita juga diminta untuk menjatuhkan pilihan yang tepat, apakah kita memilih Yesus sebagai Tuhan dan Jurusselamat dalam hidup ini, atau memilih ”yang lain” dengan segala konsekuensinya. Detik-detik pemilihan itu amat penting dan genting, sebab salah pilih berarti resiko di tanggung sendiri. Jangan buru-buru mengkambing-hitamkan ”yang lain”, kata seorag teolog, seandainya kematian itu harga yang harus dibayar, mengapa anda tidak berpegang pada keyakinan in: ”bahwa mati di dalam kebenaran, jauh lebih mulia daripada hidup didalam penghianatan”. Memang keputusan soal iman serba merepotkan. Orang bilang ”dilematis”, seperti makan buah simalakama. Soalnya, sekiranya orang mmiliki pendirian yang kokoh untuk berpegang pada prinsip, ia akan memilih dengan tepat dan mengambil keputusan dengan benar pula.

Markus 15:1-15 mengajak kita memiliki sikap pilihan yang tepat dan benar, bukan pilihan yang salah dan spekulatif. Perikop ini memaparkan secara gamblang peranan kekuasaan, pengaruh dan tekanan arus bawah, kesempatan dalam kesempitan dan lain-lain, berbaur menjadi satu dan berproses dengan cepat sekali. Nyaris orang tak dapat berpikir dengan baik dan menimnamg dengan arif.

Kisahnya berawal dari sidang Sanhedrin yang sepakat menyerahkan Yesus kepada Gubernur Romawi, yaitu Pontius Pilatus. Ia menjabat prokuraktor atas wilayah Yudea dan Samaria waktu itu. Biasanya ia berdomisili di Kaisaria, tetapi kali ini di kota Yerusalem sehubungan dengan pesta Paskah dan kemungkinan terjadinya huru-hara pada peristiwa itu. Para penafsir menyebut agaknya kediaman Pilatus selama di Yerusalem adalah Benteng Antonia, disebelah utara pelantaran Bait suci. Kesitulah Yesus dibawah dalam keadaan terbelenggu.

Pemeriksaan Yesus oleh Pilatus dalam kepastiannya sebagai Gubernur Jenderal di wilayah jajahan itu di paparkan secara fragmentaris oleh penginjil Markus. Berbeda Lukas, atau juga Yohanes menyajikan lebih terinci. Tuduhan-tuduhan orang Yahudi atas diri Yesus tidak dipaparkan, tetapi tersirat dari pertanyaan yang diajukan Pilatus kepada Yesus: ”Engkaukah raja orang Yahudi?. Kata ”engkau” memberikan tekanan tertentu, artinya dengan penuh keheranan Pilatus bertanya, ”apakah orang ini raja orang Yahudi?”. Pilatus selaku penguasa sebenarnya mempertegas kebenaran dari semua tuduhan itu, entah sebagai raja orang Yahudi yang hendak memberontak terhadap pemeritahan Romawi, atau sebagai seorang yang cita-cita menjadi pemimpin bangsaNya. Tuduhan itu lebih bernada politik-mesianis, karena itu kedudukan Pilatus bukan sekedar memberi ”keputusan hukum”, tetapi terutama ”keputusan politik”. Semestinya pertimbangan-pertimbanganharus berada di bawah pertimbangan-pertimbangan hukum, tetapi bagi Pilatus justru sebaliknya pertimbangan-pertimbangan hukum itulah yang mesti diletakkan di dalam kerangka pertimbangan-pertimbangan politik. Bagi Pilatus, apa untungnya menegakkan supremasi hukum bila ia mesti menggoncangkan negara, sekaligus kedudukanku tergoncang?

Terhadap semua tuduhan itu, Yesus tidak memberikan jawabanNya dengan tegas. JawabanNya: ”Engkau sendiri mengatakannya”, secara politis tidak terlalu berarti dan berbahaya bagi Pilatus. Dan sekalipun ia diliputi keheranan terhadap Yesus, ia tetap menyerahkanNya untuk di salipkan. Yasus yang adalah hakim dunia menerima hukuman mati dari Pilatus selaku hakim manusia, agar kita dibebaskan dari penghukuman Allah itu. Sementara Barabas yang terpanjang karena melakukan pembunuhan dimanfaatkan Pilatus untuk membenarkan Yesus-tindakan spekulasi yang sangat berbahaya, tak mampu mempengaruhi aklamasi rakyat terhadap pembatalan hukuman (amnesti) atas diri Yesus, karena teriakan massa menjatuhkan vonis agar Yesus disalipkan, dan Barabas dibebaskan. Pupuslah sudah harapan Pilatus, ia tak dapat berbalik lagi, kecuali menyerahkan Yesus kepada suara rakyat. Ada kemungkinan Pilatus berpendapat: ”vox populi vox Dei”, artinya suara rakyat adalah suara Tuhan. Demi memuaskan orang banyak, tetapi kebenaran dikorbankan. Bagi Pilatus, suara rakyat jauh lebih bermanfaat dan berharga ketimbang tegaknya kebenaran. Dalam benaknya, apa artinya menegakkan kebenaran dengan akibat menimbulkan kegoncangan, apakah itu tindakan yang arif ? menurutnya, bukan soal hati nurani yang berbicara, tetapi soal dirinya yang nota bene adalah ”Pejabat”. Dan pejabat itu berarti pemegang kuasa, siapa yang tak sanggup berbuat demikian, tak sanggup pula menjadi pejabat yang baik. Barabas yang bersalah dibebaskan, karena Yesus yang tidak bersalah itu menggantikannya.

Memilih Yesus atau Barabas merupakan pilihan yang setiap kali dihadapi oleh orang Kristen. Sebenarnya kita telah memilih, atau lebih tepat dipilih Tuhan menjadi muridNya. Namun dalam praktek hidup sehari-hari, kita lebih suka memilih Barabas ketimbang Yesus. Barabas dapat saja muncul dalam berbagai rupa. Ia bisa berupa manusia, fasilitas, kedudukan, posisi, kuasa, uang dan lain-lain. Pendeknya, Barabas muncul di hadapan kita dan memojokan kita untuk memilih ”yang lain”, atau tetap setia memilih Yesus. Orang Yahudi bisa salah pilih. Pilatus dapat pula salah pilih, tetapi orang Kristen hendaknya tidak salah pilih mengikuti Dia. Menderita karena kebenaran, atau menderita karena Kristus, bukan sekedar sebuah pilihan yang terpaksa, atau dipaksakan. Sebab bukankah karena penderitaan Kristus maka kita ditebus? Pertanyaan sekarang, anda pilih Yesus atau Barabas? Pilihan ada pada saudara, Amin.

DUNIA PRIA-TEMPAT WANITA, BENARKAH ?

Lukas 24 : 1-11

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,

Dapat kita bayangkan reaksi para murid, ketika mendengarkan laporan beberapa perempuan itu, bahwa kubur Yesus kosong. Batu besar pada pintu masuk kubur telah disingkirkan. Sementara kepiluan hati perempuan-perempuan dalam menemukan kubur kosong itu semakin tak tertahankan, bahkan teman itupun kembali pada kebisuan pagi-pagi buta. Mereka berinisiatip setelah diperingatkan kedua malaikat itu mengenai perkataan Yesus selagi masih di Galilea, untuk mendapatkan para murid, sekaligus memberitakan peristiwa kebangkitan itu. Bukankah murid-murid itu seharusnya mengemban tugas sebagai saksi-saksi pertama mengenai Tuhan yang bangkit? Anehnya, mengapa justru kepada perempuan-perempuan tugas itu dilimpahkan? (band. Mrk.16:17). Apalagi dalam tradisi keyahudian perempuan tidak pernah menjadi saksi yang terandalkan, tetapi sini, justru perempuan-perempuan adalah orang-orang pertama yang mencapai kubur Yesus dan juga menjadi saksi pertama dari peristiwa kebangkitan itu.

Entah Ia di mana. Perasaan gelisah, gusar dan takut berbaur menjadi satu. Lebih-lebih tidak percaya. Barangkali ulah para musuhnya. Rupanya mereka ini tidak puas hanya menyalipkan saja. Bgitulah perasaan beberpa perempuan itu sewaktu menghampiri kuburan Yesus. Dapat kita banyangkan betapa muramnya gejolak hati para wanita itu di tengah menjelang menyinsingnya fajar. Yang tak disangka-sangka itu terjadi ditempat yang paling pasti dalam dalam pengalaman mereka sebagai manusia, yakni mati! Ditempat yang paling gelap, kuburan! Dan di tempat yang paling jauh dan tertutup, maut! Semerbak harum rempah-rempah yang mereka bawa untuk meminyaki tubuh yesus tak ada gunanya lagi. Tetapi ingat!, dibalik semua kepedihan itu masih terselip cahaya mentari seiring terbitnya fajar itu, bahwa mereka masih memiliki segenggam harapan.

Memang butuh waktu dan proses cukup lama untuk membuka mata mereka terhadap realita kebangkitan. Mereka ini diharapkan pada kenyataan yang unik, luar biasa, dan spesifik. Malah tak terbandingkan kejadian itu. Lain sama sekali dengan ”kebangkitan”-nya Lazarus, yang juga tiga hari tiga malam dalam kubur. Sekali lagi, kebangkitan Yesus ini lain daripada yang lain. Tiada seorang pun sempat menyaksikan dengan mata kepala sendiri, kapan dan bagaimana ini terjadi. Para penjaga kubur pun yang semalaman tak tidur kecuali meronda disana tak tahu menahu. Mereka hanya menghadapi kenyataan: ”kubur Yesus kosong”. Belum lagi bagi mereka, penampakan-penampakan Yesus pun masih juga merupakan teka-teki.

Ternyata pelan-pelan namun pasti keimanan beberapa perempuan itu kepada Yesus yang telah bangkit semakin membesar. Terlebih mereka mulai memahami maksud ucapan Yesus sewaktu bersamaNya (ay. 8). Bukankah kebangkitannya sudah sekian kali Ia siratkan dan nyatakan melalui ucapan dan perbuatanNya? Dan begitu keimanan mereka terpahat dan mengakar pada janjiNya yang pasti itu, serta merta keberanian mereka pun tampil ke depan: ”menjadi saksi-saksi pertama dari kebangkitan Kristus”. Mulanya, khabar yang dibawah oleh perempuan-perempuan itu tidak dipercayai oleh para rasul. Bagi kaum lelaki, khabar yang disampaikan perempuan-perempuan itu omong kosong belaka. Berita mereka sekedar isapan jempol, dan karena itu tak mungkin bisa diterima sebagai fakta. Ini pun tak heran, kalau mereka kurang dihargai dan diterima sebagai saksi dari kebangkitan itu. Dalam masyarakat Yahudi wanita menduduki posisi kedua dibawah pria. Hal ini nampak dalam perlakuan hukum dan religi. Wanita dideskreditkan. Struktur sosial masyarakat Yahudi memungkinkan adanya perbedaan kelas yang menonjol antara pria dan wanita. Namun bagi Yesus, wanita adalah pribadi seperti Allah. Semasa hidupNya di dunia, Ia tampil sebagai pejuang hak asasi dan pendobrak ketidakadilan bagi mereka yang tertindas oleh struktur sosial dan perlakukan hukum yang sepihak, termasuk kaum wanita. Ia tidak mengenal diskriminasi, malah Ia berusaha merobohkan tembok dominasi pria atas wanita. BagiNya wanita bukan abdi pria, melainkan sama harkat dan martabat dengan pria. Malah, penulis Lukas sendiri mengakui dan menghargai kedudukan dan sumbangan kaum wanita dalam jemaat Kristen. Lukas menyebut nama-nama para perempuan: Maria dari Magdala, Yohana, Maria Ibu Yakobus dan perempuan-perempuan lainnya. Mereka inilah saksi-saksi pertama dari kebangkitan Kristus yang tak diragukan lagi. Mereka ini patut dicatat sebagai orang-orang pertama yang menyaksikan fakta Paskah.

Kalau saja kita memandang dunia kita, pasti disana kita temukan begitu banyak penyimpangan pelik. Salah satu diantaranya adalah sikap yang sumbang, dan berdimensi ganda. Di satu pihak, kita membesar-besarkan peranan kaum pria, namun dipihak lain menganaktirikan tempat wanita dalam masyarakat. Contoh konkret, situasi dalam rumah tangga. Terkadang posisi, porsi dan peranan kaum wanita berada dibawah kaum lelaki. Kaum pria masih dianggap mengungguli kaum wanita dalam segala bidang kehidupan. Seolah kaum Adam mendaat ”privilege” (hak istimewa), dan boleh bertindak seenaknya terhadap kaum hawa. Seakan kaum lelakilah yang memiliki ”prerogaif” bersaksi ditengah dunia ini.

Jika kita menyimak kesaksian Perjanjian lama misalnya, orang-orang seperti Debora (Hak. 4,5), Miryam (Kel. 15:20), Hulda (2 Raj. 22:14) adalah tokoh-tokoh wanita yang memerintah atas nama Tuhan.Tuhan mempercayakan firmanNya kepada kaum wanita untuk menyampaikan sesuatu bagi kepentingan banyak orang. Mereka mendapat tempat terhormat dan diberi posisi mulia dimata dunia, sebagai pemimpin bangsa, bersama kaum lelaki. Bahkan Rasul Paulus pun menyapa wanita sebagai saudari dan rekan sekerja dalam karya pemberitaan (Rm. 16:1 dst.). ”Sebab laki-laki berasal dari perempuan, tapi perempuan berasal dari laki-laki. Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tampa laki-laki dan tidak ada laik-laki tampa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan dari perempuan, dan segala sesuatu berasal dari Allah”, tegas Paulus (1 Kor. 11:8-12). Disisni Paulus menekankan relasi timbal balik sebagai Patner yang sepadan dan memiliki kesamaan martabat. Keduanya saling membutuhkan secara fundamental-eksistensial, agar kehidupan ini menjadi serasi dan dinamis bagi kemuliaan Allah. Karena itu konsep subordinasi dalam kehidupan umat Allah, secara teologis tidak dapat dibenarkan.

Henriette Marianne Katoppo, teolog wanita kawakan mengatakan ”Teologi yang disebarluaskan adalah teologi laki-laki, yang bila dikonkretisasi secara konsekuen, akan menghasilkan suatu struktur yang dapat diumpamakan dengan ’kubur kosong’. Kosong, karena Tuhan tidak berada didalamnya. Dan perempuan hanya dapat bisa berdiri diluar, dan menangis”. Memang dalam banyak hal dapat dikatakan telah tercapai suatu kemajuan yang cukup besar dalam pemberdayaan dan pemberlakuan peran dan hak asasi perempuan. Namun dalam kenyataan masih tetap berlaku prinsip: ”dunia pria-tempat wanita”. Tidak cukup, dan memang bukan tujuan, untuk menggariskan tempat wanita dalam dunia pria. Kita perlu menilai kembali, dan membangun ulang, dunia itu. Bagaimana dan sejauh mana dunia itu mencerminkan pokok iman kita bahwa Allah menciptakan menusia: pria dan wanita.

Tak diragukan lagi, wanita sebagai pemberita kebenaran. Mereka adalah pewarta keadilan, pemaklum kerendahan hati, penerus sifat kelemah-lembutan. Kaum wanita pantas menjadi duta cinta bagi semua bangsa, hulubalang kasih persaudaraan di tengah percecokan yang sedang berkecambah dan berkecamuk di seantero dunia. Itulah makna Paskah yang berdimensi baru, Amin.

METANOIA

Lukas 3 : 1 - 14

Saudara-saudaraku yang dikasihi Tuhan

Perayaan Minggu-minggu Advent, bukan hanya diuntukkan bagi persiapan Natal, tetapi juga menunjuk ke depan, kepada kedatangan kembali Tuhan kita Yesus Kristus. Berita Advent adalah sukacita tak terkirakan tentang kegenapan sang Mesias. Dialah terang buana, surya abadi. Oleh karena itu menanti kedatanganNya bukanlah suatu kemungkinan, melainkan suatu kepastian yang di janjikan Allah bagi yang percaya. KedatanganNya menunjuk pada realitas pernyataan Allah. Yang baru itu telah terbit, awal itu telah mulai, namun yang akhir itu masih harus dinanti, tetapi bukan sebagai hal yang belum pasti. Di dalam Dia terpahat dasar yang kokoh, teguh dan terkoyahkan, karena Ia telah mati da bangkit kembali. Tak perlu pesimis kecuali optimis. Kita memandang kedepan penuh ceria dan pasti.

Tak dipungkiri berbagai persiapan mulai dilakukan, karena usai merayakan Minggu-minggu Advent berarti umat Kristiani memasuki gerbang Natal yang sarat dengan kesibukan. Gereja mulai sibuk dengan pembentukan panitia Natal, rapat maraton komisi diakon tak kalah aksinya, walau bereaksi saat Natal tiba. Lagu-lagu Natal tergiang di mana-mana. Paling tidak setahun sekali kita boleh melakukan hal itu, dan setelah digerbang Natal pun ditutup kembali. Itulah ragam kesibukan gereja, kesibukan kita semua sebagai gereja. Dan ini perlu sekali, sebab di situlah potret gereja dilihat orang, artinya gereja mulai terlibat dalam kesibukan-kesibukan yang mungkin tak ada habis-habisnya. Tetapi juga tanda awas bagi gereja bila ia cuma berhenti disitu. Asal ada perayaan, tak peduli penghayatan. Asal ada kegiatan, tak perduli motivasi. Asal sibuk, tampa tahu untuk apa semua itu. Tampa tahu, lalu apa setelah itu. Siapa yang tak kenal Yohanes Pembabtis anak Zakharia itu? Tentu lewat kesaksian Alkitab kita mengenalnya. Anak-anak sekolah minggu pun paling tahu ceritanya, asal disebut saja berjubah buluh untah, dan belalang serta madu htan makanannya sehari-hari. Semakin kita mengenalnya, semakin kagum kita dibuatnya. Kelahirannya saja diwartakan utusan sorgawi, bahkan ayahnya sendiri yang konon kelu lidah karena kurang percaya, lansung bisa bicara begitu menyebut namanya.

Tak banyak kita tahu masa ABG-nya (Anak Baru Gede). Tetapi tak banyak ubahnya dengan anak-anak sebaya. Hanya diceritakan ia suka menyendiri dipadang gurun. Untuk apa? Mengembleng mental dan fisiknya, menghadapi tugas mulia dan penuh tanggung jawab: ”Merintis kedatangan Penyelamat bangsa”. Dan waktu muncul di depan publik orang tercengang, kagum padanya. Suaranya lantang, transparan, dan yang mencolok ”ia yang dari lain”, tetapi bukan aneh. Tanpa pandang bulu, ia berani mengemukakan ”hal-hal yang kurang enak dan menusuk perasaan”-istilah sekarang, gampang bikin orang tersinggung dan tidak ke gereja lagi. Dan ini ”penyakit” anggota jemaat (juga majelis) tertentu saat ini, dengar firman kalau cocok dengan selera. Sadar atau tidak, orang lebih suka pada suara yang lazim ketimbang suara yang lain, atau tidak lazim. Orang lebih suka manggut-manggut kepala, gampang hanyut, ikut arus, tak peduli mau dibawah ke mana. Karena memang enak, tidak ada resiko. Atau kalau ada resiko, bisa bagi-bagi dengan orang lain. Pokoknya tak berani ”melawan arus”.

Penginjil lukas menjelaskan di mana dan kapan itu terjadi. Pertama, Kekaisaran Romawi di bawah Kaisar Tiberius, sebagai sentra kuasa dunia politik zaman itu. Kedua, wilayah Palestina, masing-masing diperintah oleh Pontius Pilatus, penguasa Yudea; Herodes, penguasa Galilea, begitu pula Filipus dan Lisanias, masing-masing penguasa Iturea dan Trakhonitis, dan penguasa Abilene. Dan ketiga, penguasa rohani kaum Yahudi (Imam Besar) dipegang oleh Hanas dan Kayafas. Data-data ini bukan sekedar mengatakan kapan Yohanes berkarya, tetapi juga mau menjelaskan konteks karya itu.

Rupanya massa yang berkerumun disekitar sungai Yordan, selain kagum ada juga yang bingung dan ketakutan karena khotbahnya yang tak bisa itu. Juga tak bisa dengan khotbah kita yang elus-elus itu, Ia menyerukan kepada bangsanya agar menyediakan jalan bagi Tuhan. Jalan itu terletak di dalam hati manusia. Adanya aktivitas yang mengubah untuk diperbaiki. Perubahan menuju kebaikan ini tidak datang dengan sendirinya, kecuali sungguh-sungguh: ”yang bengkok diluruskan, lamban ditimbun, gunung dan bukit diratakan”. Seruan itu susul lagi: ”murka Allah sudah mendekat, kapak sudah tersedia dan siap menebang setiap pohon yang tidak menghasilkan buah, namun ada waktu untuk pertobatan sebelum terlambat. Apalagi mengandalkan mengandalkan asal-usul sebagai keturunan Abraham, jangan harap bisa terhindar dari hukuman Allah yang mengancam”. Tidak ada keistimewaan di sini, sebab tokh Allah dapat menjadikan anak-anak Abraham dari batu-batu. Inilah tugas penyiapan bagi kedatangan Yesus. Mengemukakan mendesaknya masa, karena itu pentingnya bertobat, alias ”metanoia”.

Apakah yang harus kami perbuat? Pertanyaan yang bagus, tetapi juga urgen, karena menuntut sikap berani dan jujur. Terhadap pertanyaan itu, Yohanes Pembaptis cukup realistik. Ia tidak mengemukakan teologi yang muluk-muluk, atau sekedar bertolak dari prinsip-prinsip yang dianutnya. Ia juga tidak menguraikan apa itu ”metanoia” dalam perspektif alkitabiah, tetapi memberikan contoh-contoh praktis, konkret yang pada dasarnya merupakan tuntutan ”transformasi eksistensial” dalam diri mereka. ”yang punya pakaian lebih, bagilah kepada si miskin; yang makanannya limpah ruah, ingat mereka yang lapar; pungut pajak yang wajar-wajar saja sesuai sesuai ketetuan dan jangan melakukkan tindak kekerasan dan intimidasi”-lazim sekarang ini disebut orangnya, tetai cara berpikirnya (metanoia: ”meta” = berubah; ”noos” = pikiran). Jadi ”noos”-nya yang mengalami perubahan (meta). Ia memberi ”orientasi baru” bagi mereka yang menantikan sang Mesias. Bersikap positif dan konstruktif. Mengarah kemuka. Menuju kepada Tuhan, dan ini diejawantakan dalam tindakan-tindakan konkret terhadap orang lain.

Merubah pikiran dan sikkap kita sebagai wujud pertobatan bukan persoalan mudah. Orang lebih gampang disuruh menyesali perbuatannya, namun ketika di tuntut untuk memperbaiki pikiran dan sikapnya, nanti dulu. Bukan karena tobatnya tidak serius atau maksudnya jelek, tetapi karena pengobatan itu menuntut sesuatu yang berlawanan dengan ”cinta diri” yang begitu berakar dalam hati manusia. Cinta diri dalam macam-macam manifestasinya, yang nampak dalam kebiasaan, hoby, kecendrungan dan keinginan-keinginan lainnya. Kita yang tak henti-hentinya menanti kedatangan-Nya tak mau di samakan dengan ”padang gurun” yang kering, tandus dan tak berbuah. Kita ingin menjadi tanah yang subur, yang menghasilkan buah melimpah.

Ini tidak berarti bahwa kita harus berubah dengan cara meninggalkan tugas dan profesi kita. Sama sekali tidak! Yang pegawai, yang tetap pegawai, tetapi pegawai yang noos-nya sudah meta. Yang polisi, ya tetap polisi, tettapi polisi yang noos-nya sudah meta. Yang dokter, ya tetap dokter, tetapi dokter yang noos-nya sudah meta. Yang guru, ya tetap guru, tetapi guru yang noos-nya sudah meta. Yang pengusaha, ya tetap pengusaha, ya tetap pengusaha, tetapi pengusaha yang noos-nya sudah meta. Yang pengemudi, ya tetap pengemudi, ya tetapi pengemudi yang noos-nya sudah meta. yang pendeta, ya tetap pendeta, tetapi pendeta yang noos-nya sudah meta. tinggal kita teruskan sendiri. Marilah kita hidup dalam realisme yang berpengharapan. Kita isi Advent ini dengan ucap dan tindak yang tulus, tampa pamrih. Kita sambut dia dengan hati penuh syukur, karena Ia akan datang kembali, Amin.

TUHAN ARSITEK RUMAH TANGGA KITA

MAZMUR 127 : 1-5

Saudara-saudaraku yang dikasihi Tuhan,

Perkawinan adalah peristiwa penting dalam hidup ini. Mungkin salah satu peristiwa penting yang didambakan setiap orang.karena itu ia mendapat perhatian yang besar sekali dari berbagai pihak. Perhatian itu bukan saja dinyatakan melalui kehadirannya dalam pesta perkawinan, tetapi juga dalam bentuk hadiah sebagai ungkapan sukacita, atau ucapan selamat. Untuk sampai ke perkawinan kedua pasangan melalui proses perkenalan. Perkenalan bisa berlansung lama, atau hanya beberapa waktu. Tergantung dari kedua pasangan itu. Mereka belajar dan menerima. Mereka belajar mengerti perasaan masing-masing, mencari kesempatan berjalan berduaan sambil berbagi pengalaman, atau ”ngobrol” berjam-jam dengan bahan percakapan yang tak pernah berakhir. Singkatnya tiada hari tampa pacaran. Sungguh mengasyikan, dan inilah saat yang terindah selama pacaran.

Dari proses perkenalan itu, bukan tidak mungkin bisa terjadi benturan-benturan kecil, bahkan tabrakan-tabrakan besar yang bisa saja berakhir dengan perpisahan alias ”putus cinta”, atau dapat diselesaikan bersama tampa masing-masing ingin menang sendiri. Pengalaman seperti ini tentu saja ada manfaatnya, paling tidak mereka belajar mengenal pribadi masing-masing sebelum mengambil keputusan untuk menikah. Mereka percaya bahwa Tuhanlah yang mempertemukan mereka. Lalu diujilah kasih dan kesetiaan mereka itu dengan suatu keputusan yang penting. Keputusan itu ialah, bahwa mereka akan setia dan saling mengasihi satu sama lain, bahwa mereka akan bersama-sama memasuki kehidupan pernikahan, kecuali jika ternyata bahwa dalam soal-soal asasi mereka terlalu jauh berbeda untuk menikah. Pernikahan itu di lakukan dalam kebaktian di mana kedua mempelai sepakat memulai suatu hidup baru sebagai suami-isteri. Mereka bersama-sama datang kepada Tuhan memohonkan pimpinan dan berkatnya. Hal ini dibuat bukan karena kebiasaan, bukan juga karena gereja menuntutnya, tetapi karena mereka percaya, bahwa tampa pimpinan, pemiliharaan dan berkatnya,kehidupan baru yang dimulai itu akan kandas di tengah jalan, sama seperti yang telah terjadi dengan banyak perkawinan lain. Kita juga menyadari permulaan hidup baru sebagai suami-isteri, bukan perjalanan yang indah, tetapi juga yang sukar, penuh dengan percobaan dan bahaya. Tidak semata jalan rata dan lurus menjauh ke depan, tetapi juga yang licin, berbatu dan berbelok-belok. Karena itu sebagai suami isteri kita membutuhkan seorang penuntun dalam mengawali hidup baru ini.

Bacaan Alkitab yang dipilih untuk kebaktian khusus ini ialah Mazmur 127:1-5. Mazmur ini disebut juga mazmur hikmat ”dari dan untuk Salomo” karena semua amsal dihubungkan dengan raja yang bijaksana itu. Dalam tradisi Yahudi orang yang dikasihi Allah pun disamakan dengan Salomo dan rumah yang dibangunnya dengan Bait Allah. Para ahli Perjanjian Lama sependapat bahwa mazmur ini di samping mazmur-mazmur hikmat lainnya (misalnya mazmur 1, 37, 49, 73, 127-128 dan lain-lain) mengandung pengajaran untuk hidup secara bijaksana dan bertanggung jawab. Ia mencerminkan teknik-teknik santera hikmat, misalnya penggunaan amsal, perbandingan yang dimulai dengan perkataan ”lebih baik”, nasihat yang ditujukan kepada anak-anak, atau penggunaan kata asyre, artinya ”berbahagialah”. Ia memiliki maksud yang jelas untuk mengajar dengan petunjuk lansung seperti kita lihat dalam mazmur 127 ini.

Mazmur ini sebenarnya mambahas dua pokok yang berlainan. Pertama, sia-sialah orang yang berusaha dengan cara apapun juga, kecuali ia diberkati Tuhan (ay.1-2). Kedua, ucapan berbahagialah orang yang menghadapi pengadilan bersama anak-anaknya (ay. 3-5). Tampa kita diganggu oleh kedua pokok yang berlainan itu, rupanya mazmur ini dikarang oleh seorang pria yang cenderung berpikir eksklusif. Ia hanya memikirkan bagaimana pengalamannya membangun sebuah rumah, menjaga kota, berusaha dan berdiri ditengah kaum pria merdeka sebagai bapak yang terpandang karena memiliki banyak anak laki-lakinya. Berbeda kalau dikarang kalau dikarang oleh seorang wanita, pasti cenderung berpikir tentang urusan rumah tangga dan hal-hal lain yang berkaitan dengan itu.

Dikemukakan disini bahwa manusia yang berusaha sendiri, atau melakukkan kegiatan apa saja tampa memperdulikan Tuhan dalam setiap usahanya akan sia-sia, ibarat bayangan yang tidak memenuhi harapan yang dilandaskan padanya. Berkat Tuhanlah yang membuat manusia berhasil. Apa yang direncanakan dan dikerjakannya akan sia-sia bila mencari pertolongan di luar Tuhan. Biar orang ”membagun rumah” (baca: mendirikan rumah tangga), mengawal kota dari serangan musuh diluar, atau bangun pagi-pagi dan bekerja disawah sampai jauh malam baru kembali, lalu duduk makan menikmati hasil usahanya; atau untuk masyarakat modern sekarang ini, yang duduk berkerja di kantor dan baru kembali petang hari, atau kerja lembur tak di kenal lelah sampai jauh malam, tampa memohon pertolongan dan berkatNya akan sia-sia. Hasil yang diperoleh karena kerja keras tak pernah memberikan kebahagiaan dan kedamaian dalam rumah tangga. Rezeki yang cukup berupa sandang, pangan dan papan diberikan Tuhan kepada orang-orang yang dikasihiNya, yaitu mereka yang mengingat dan mengasihi Tuhan pula. Orang-orang itulah yang berkati Tuhan dalam hidupnya.

Kemudian bagian terakhir dari mazmur ini (ay. 3-5) menekankan garis patriakal dari keturunan anak laki-laki. Anak laki-laki diliat sebagai faktor kunci dalam meneruskan keturunan dari keluarganya. Mereka adalah upah kerja seorang ayah, artinya keturunan itu dipandang sebagai upah yang diberikan Tuhan. Mereka adalah milik pusaka dari Tuhan dan buah kandungan adalah suatu upah. Mereka ibarat anak-anak panah di tangan pahlawan, demikkianlah anak-anak pada masa muda. Mereka akan dihormati dan tidak pernah mendapat malu karena dianggap remeh dibandingkan dengan lawan-lawannya.

Panggilan sebagai suami-isteri dalam memasuki rumah tangga baru menuntut sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Tidak menjadi terkabur karena merasa diri mempu dan kuat, karena merasa diri sehat dan bisa berhasil dalam cita-cita dan usahanya, karena memiliki harta dan kekayaan yang cukup, tetapi yang menggantungkan hidupnya kepada kekuatan dan berkatNya. Keyakinan itu bukan garansi bahwa kita tidak akan menemui tantangan dan cobaan dalam rumah tangga. Kita tidak dapat melarikan diri dari serangan badai dan musuh-musuh yang menghantam rumah tangga kita. Kita masih mengalami kesulitan, kekhawatiran, sakit penyakit, rasa cemburu dan dendam dalam persekutuan hidup sebagai suami-isteri. Namun pemazmur menasehati supaya kita mendasarkan hidup ini pada pertolonganNya. Pertolongan yang terpercaya hanya berasal dari Tuhan. Dialah arsitek terunggul yang tak pernah mengantuk, Amin.

KITA INI ORANG YANG BERHUTANG KEPADANYA

Lukas 17 : 11-19

Saudara-saudaraku yang dikasihi Tuhan,

Ilustrasi cerita ini dikutip dari sebuah buku. Hari itu ibu mau (nama lengkap Markus) membuat kue di dapur. Sepanjang waktu mau tak pindah-pindah juga dari sana. Matanya yang bulat-bulat dan bercahaya menunjukan betapa besar minatnya. Sebentar-sebentar ia menelah air liurnya, mungkin tak sadar dia. Ibunya melihat anaknya begitu tergoda. Akhirnya ditawarkanya sepotong kue. Alangkah senangnya si Mau. Inilah yang diharapkannya sejak tadi. Ia mengulurkan kedua telapak tangannya yang terbuka lebar-lebar. Si ibu meletakkan kue itu, tetapi tak mau melepaskannya. Ditetapnya Mau dengan pandangan penuh arti. ”Bilang apa nak?” Ia mengharapkan Mau mengatakan: ”terima kasih, mama”, tetapi apa jawab Mau? ”Tambah lagi, mama!”.

Sering kita memasuki kebaktian, atau dalam doa-doa kita, bukan saja penuh dengan persoalan-persoalan, tetapi juga sarat dengan permintaan. Bagi kita doa berarti meminta sesuatu kepada Tuhan. Itu saja. Saya yakin, anda pun tidak setuju bahwa doa hanya sekedar meminta-minta belaka. Akan tetapi nampaknya kita mempunyai begitu banyak kebutuhan sehingga setiap doa senantiasa disertai permintaan. Bahkan ketika kita mengadakan doa syukur lantaran suatu sukses dalam usaha, kenaikan pangkat, hari ulang tahun, atau berkat lainnya, tak lupa kita lansung meminta anugerah berikutnya, seakan tak ada kesempatan bagi Tuhan berbicara dengan kita, kecuali meminta kepadaNya. Dapat dikatakan hal itu terjadi secara otomatis. Tak bedanya seperti si Mau tadi, kita mengulurkan kedua belah tangan dan berkata kepadaNya: ”Tambah lagi, Tuhan!”. Seorang pendeta jemaat pernah bertanya: ”Sebenarnya apa yang mudah namun juga sulit diucapkan?” jawabnya: ”terima kasih”. Mudah diucapkan, karena kita semua dapat mengucapkannya. Namun juga sulit, katanya seringkali kita tidak mengucapkannya. Labih lanjut ia katakan: Bukankah sehari-hari ada begitu banyak perbuatan baik yang diberikan kepada kita? Di rumah makanan sudah tersaji, pakaian dicucikan dan kamar dirapikan, namun hampir tak pernah kita mengucapkan terima kasih kepada mereka yang mengerjakannya, karena kita anggap semua itu tokh sudah rutin dikerjakan. Di kantor telepon dihubungkan, surat-surat disiapkan dan diantarkan ke alamatnya, namun kita jarang mengucapkan terima kasih karena orang-orang itu memang dibayar untuk tugas tersebut. Di gereja, ruang kebaktian dibersihkan dan ditata dengan baik oleh koster, organis menjalankan tugasnya, paduan suara mengisi acara kebaktian sesuai jadwal, namun kita jarang mengucapkan terima kasih kepada mereka.

Salah satu faktor penyebabnya ialah kita cenderung menganggap pihak yang mengucapkan terima kasih adalah pihak yang kedudukannya lebih rendah, atau berada pada posisi yang lemah. Gengsi atau harga diri kita bisa turun kalau mengucapkan terima kasih kepada orang lain. Pada hal dalam hidup ini tidak selalu kita kuat atau sebagai penolong sekali waktu tidak usah malu menjadi penerima. Hidup ini sangat bersifat relasional. Kepada si Nuel kita bisa menjadi penolong, namun kepada si Edu kita malah minta tolong. Ini namanya hidup, hidup dalam relasi dengan orang lain tampa berpikir gengsi atau harga diri kita.

Pokok perhatian dari bacaan Alkitab diatas tidak di arahkan kepada penyakit itu, atau kepada mujizat penyembuhan atas kesepuluh pasien yang nota bene tidak mengidap penyakit kusta, tetapi lebih ditekankan pada seorang yang datang kembali untuk mengucap syukur kepada Yesus, dan ternyata orang itu adalah orang Samaria dari kesepuluh orang kusta yang ditolong Yesus, hanya seorang yang mengucapkan terima kasih. Ia menunjukan rasa suka citanya dengan memuji-muji Allah dan mengucapkan terima kasih kepada Yesus. Yesus sampai bertanya:”Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi lahir? Dimanakah yang sembilan orang itu? Tidak adaka diantara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada oran asing ini?” keluhan yan dilontarkan Yesus memang cukup beralasan, namun itu tidak berarti Ia menutut bahwa Ia sendiri harus di syukuri. Sebab pada akhirnya manusia diarahkan untuk memuji dan memuliakan Allah. Dialah alamat yang tepat dimana segala puji-pujian dinyatakan.

Para penafsir Perjanjian Baru mengatakan, justru Lukas orang yang bukan Yahudi itu mau mengingatkan kita, bahwa orang yang satu itu adalah orang Samaria (bnd. 10:33;7:9). Dalam kehidupan sehari-hari mereka terisolasi dari lingkup orang Yahudi karena menerima samacam ”trade-mark”, (cap) sebagai orang berdosa. Apalagi dihadapan Allah timbul semacam kesadaran akan ketidaklayakannya. Mereka menjadi musuh orang Yahudi, di samping kesadaran akan dosa-dosanya yang berakibat hukuman penyakit kusta. Karena itu ketika ia menyadari bahwa dirinya mendapat kasih karunia Allah, yang membebaskannya dari penyakit yang mengerikan itu, ia mengucap syukur dan memuliahkan Allah. Ia tidak berani pergi kepada imam Yahudi, salah satu ketentuan untuk mengikuti upacara pentahiran seperti yang diperintahkan Yesus kepadanya (ay.14). Ia malah pergi kepada sang Imam Agung, yakni Tuhan Yesus sendiri, dan mengucap syukur kepadaNya. Dan bagi orang Yahudi yang mendengar berita ini pasti dapat mendeteksi ”ironi” dari cerita kesembuhan orang Samaria. Kemudian Ia berkata kepada orang Samaria itu: ”Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamat telah meyelamatkan engkau”. Ia dilayakan menerima pengampunan dosa dan karena itu mengalami syalom Allah dalam hidupny.

Coba kita menghitung beberapa banyak berkat Tuhan dalam hidup ini. Coba kita simak dan hayati kembali segala pemberian Tuhan, mulai dari fajar menyinsing menandai hari baru dalam hidup ini sampai mentari pagi kembali keperaduannya, niscaya kita akan kagum oleh kasihNya. Tentu rasa syukur dan pujan kepadaNya tidak temporer, atau sewaktu-waktunya, melainkan terus menerus, karena bukankah kasih dan berkat-Nya melimpah tiap saat kepada kita? Bukankah kita masih berhutang ucapan terima kasih kepada Tuhan? Kata pemazmur: ”Janganlah melupakan segala kebaikanNya”. Kita memang perlu ditolong untuk mengingat. Kita berdoa saat kita memerlukan pertolonganNya, tetapi ketika sudah mendapatkannya, kita mulai melupakan Tuhan. Ada ungkapan yang dikutip dari sebuah buku mengatakan: ”I have tried so hard to become what I ought to be that I forgot what I am”, artinya : aku telah berupaya begitu keras untuk menjadi apa yang seharusnya aku jadi sehingga aku lupa apa atau siapa aku ini sebenarnya. Kata orang kacang berasal dari kulit. Takan ada kacang kalau tak ada kuli. Pilu rasanya hati, kalau kacang melupakan kulit. Seperti Bak Maling Kundang yang lupa bahwa ia berasal dari Batang Arau dan lupa bahwa ia dilahirkan dan dibesarkan oleh ibu tua itu yang sedang berjalan terbungkuk-bungkuk dan terseok-seok menghampiri kapalnya. Marilah, kita selalu mengatakan kepadaNya: ”Banyak terima kasih Tuhan atas segala kasih karuniaMu”, Amin.

PERHENTIAN YANG KEKAL

Ibrani 4 : 1-13

Saudara-saudaraku yang dikasihi Tuhan,

Hidup manusia ibarat sebuah perjalanan yang panjang. Jalan terentang jauh itu tak selamanya lurus dan rata, tetapi juga berkelok-kelok dan berbatu. Tentunya kita tidak terus menerus berjalan. Ada saat di mana kita harus berhenti dan beristirahat, sejenak. Dengan lega kita bisa menarik nafas panjang, meskipun perjalanan kita berat dan berat dan susah. Kita berhasil melewati jalan panjang karena Tuhan telah menolong kita sampai sejauh ini. Ingat, Ia tidak pernah menjanjikan kemudahan melainkan kekuatan. Yang dijanjikanNya bukan perjalanan yang mudah, melainkan kekuatan untuk menghadapi perjalanan yang sulit supaya perjalanan ini bisa kita tempuh dengan selamat pada akhirnya.

Lebih jauh lagi, kita bisa membaca pada setiap nisan dari mereka yang telah mendahului kata: ”Di sisilsh tempat peristirahatan kekasi tercinta........”. Banyak tulisan senada yang mengungkapkan kematian sebagai suatu peristiwa nisbi dalam kehidupan orang beriman. Kematian bukan suatu peristiwa duka nestapa dari keluarga yang merasa kehilangan karena ditinggalkan kekasihnya, tetapi juga bagian tak terpisahkan dari sebuah perjalanan hidup oarng beriman. Mengayunkan langkah, meniti dan menata hidup ini, tetapi pad akhirnya kita harus berhenti.

Merenung kenyatanan ini, entah cepat atau lambat, akan di hadapi setiap orang beriman, menjadikan perjalanan hidup ini bukan sekadar asal jalan dan asal maju. Yang ini namany hidup tanpa tujuan. Kata orang bijak :” Perjalanan memerlukan tujuan yang jelas dan pasti. Saat memasukan gerbang perhentian, biasanya kita melakukan tiga hal. Menengok ke belakang, kita mencermati hari-hari berlalu yang kita jalani dalam hidup ini; lalu memandang ke depan, karena kita percaya hari depn selalu di berikan Tuhan kepada kita; dan akhirnya menengadah ke atas, kita mensyukuri berkatNya atas hidup ini. Ia menolong kita menapaki perjalanan hidup ini”.

Hari ini kita akan memakamkan kekasih kita, dan bacaan Alkitab yang di sampaikan kepada kita semua ialah Kitab Ibrani 4:1-13. Kitab ini menguraikan tentang hari perhentian yang dijanjikan Allah bagi umatNya. Penulis mempergunakan kata perhentian (katapausis) dengan tiga pengertian yang berbeda. Pertama, ia memakai kata itu identik dgn kata damai dengan Allah. Setiap orang beriman merindukan kehidupan ang penuh dengan damai. Hidup ini baru berarti, bila dalam hidup ini terpenuhi damai Allah. Kedua, ia menggunakan kata itu sepeti dalam 13:12, dengan arti tanah yang dijanjikan. Bagi umat Israel yang pernah mengenbara dan melintasi padang gurun yang mengalami terik matahari yang membakar dan kedinginan malam yang mencekam, maka tanah yang dijanjikanNya itu sungguh merupakan perhentian dari Allah yang di idam-idamkan. Ketiga, ia memakai kata itu untuk perhentian Allah, sesudah hari perhentian yang keenam, yakni ketika semua pekerjaan Allah telah di rampungkan.

Bagi penulis Ibrani, sebenarnya janji tentang perhentian Allah bagi umatNya masih berlaku. Bahayanya ialah jika kita gagal memasuki hari perhentian itu. Kegagalan itu dilukiskan kembali oleh penulis sewaktu umat Israel pernah mengalaminya (band. Bil. 13, 14). Mereka tidak percaya bahwa Allah akan membawa mereka melewati kesulitan kesulitan yang dihadapinya, dan karena itu mereka tidak pernah menikmati perhentian yang disediakan bagi mereka. Namun demikian perhentian itu tetap ada, dan Allah masih menyediakannya bagi orang beriman.Latar pemikiran penulis ini mengacu kepada berita penciptaan dalam Kitab kejadian 1, 2., bahwa enam hari yang pertama di katakan adanya pagi dan petang. Jadi setiap hari mempunyai awal dan akhir. Tetapi pada hari ketujuh, ”hari perhentian Allah”.tidak di sebutkan adanya petang. Ini berarti, hari-hari lain ada akhirnya, tetapi hari perhentin allah tak ada akhirnya. Perhentian Allah berlangsung terus dan kekal. Meskipun dahulu umat Israel gagal memasukinya, tetapi perhentian itu tetap ada untuk selama-lamanya. Perhentian itu dimaksudkan untuk memulai hari Tuhan yang tanpa henti. Karena itu Allah masih memberikan kesempatan bagi manusia agar tidak mengeraskan hatinya seperti pengalaman sifat-sifat kedurhakaan umat Israel dahulu kala untuk masuk kedalam perhentianNya. Allah menjamin ”hari ini” ada batasnya, hidup ada akhirnya, dan kita bisa saja kehilangan janji itu. Jelaslah bahwa pemberian dari apa yang dijanjikanNya itu bergantung pada respons manusia ”hari ini”. Artinya ”disini dan sekarang, melalui iman kepadaNya kita memasuki perhentian Allah”.

janjiNya tentang hari perhentian ini terus menerus ditawarkan kepada kita semua. Dialah yang memberikan kepada kita ”hari ini”, dibawah tenda perkabungan ini untuk mendengar suaraNya. Dalam pengalaman orang beriman sekarang ini, Kristus telah menjanjikan hari perhentian itu. Mereka yang percaya sebenarnya telah mendapat bagian dari perhentianNya. Didalam Kristus kita mulai mengalami hal itu, kini dan di sini, meskipun belum defenitip. Hari ini masih merupakan ”hari ini” Allah bagiyang percaya. Berkat prhentian itu masih tersedia bagi setiap orang yang hidup dan percaya akan janjinya. Ia tak pernah ingkar janji, atau berbohong kepada umatnya. Janjinya adalah janji di mana manusia mempertaruhkan hidupnya, dan memusatkan perbuatannya. Kita yang percaya kepadaNya sanggup mengatakan kematian adalah saat ketika orang beriman memasuki perhentian Allah, karena ia telah menyelesaikan tugas dan pengabdianya di dunia ini dalam ketaatan kepadanya. Bergiatlah selalu di dalam Tuhan selama kesempatan itu tersedia untuk memasuki perhentian Allah yang kekal, Amin.

BERAKAR DAN DIBANGUN DI ATAS DIA......”

Kolose 2 : 6 -7

Saudara-saudaraku yang dikasihi Tuhan,

Pemakaman saudara kekasih kita baru usai. Namun, tangis sendu tak tertahankan belum tentu usai dari perasaan batin keluarga. Dan rasanya tak mungkin usai dalam sekejap, atau beberapa waktu kedepan. Rasa pilu dan duka nestapa memang suatu proses yang panjang dan setiap orang menjalani beban duka dan ratap tangis itu dengan caranya masing-masing. Dapat dibayangkan suasana keluarga duka sewaktu usai pemakaman. Berawal dari kehadiran keluarga, rekan, tetangga sampai kepada handai taulan untuk berbagi duka, kini berakhir menjadi sunyi sepi karena tak seorang pun yang datang lagi. Kesunyian hati menjadi berlarut-larut ibarat luka perih yang belum juga sembuh. Kelenggangan hati karena tak dikunjungi oleh mereka yang pernah jumpa beberapa hari yang lalu semakin mencekam, seakan tak berarti lagi hidup ini.

Bukankah setiap orang pernah mengalami hal yang sama? Tak usah menutup-nutupi kesedihan, apalagi kalau kita jujur terhadap kepahitan kematian itu. Namun, persoalannya akan menjadi lain kalau dihadapi oleh orang beriman. Perasaan sedih tetap bergelora dalam hidupnya, tetapi itu bukan berarti meniadakan Tuhan dari pentas kehidupan ini. Kita masih memiliki seberkas harapan, dan oleh sebab itu kita tetap optimis memandang kedepan dan merasakan pimpinan Tuhan.Beriman kepada kristus

” BERAKAR DAN DI BANGUN DI ATAS DIA..........”

Kolose 2:6-7

Saudara-saudaraku yang di kasihi Tuhan,

Pemakaman saudara kekasi kita telah usai. Namun, tangis sendu tak tertahankan belum tentu usai dari perasaan batin keluarga. Dan rasanya tak mungkin usai dalam sekejap, atau beberapa ke depan. Rasa pilu dan duka nestapa memang suatu proses yang panjang dan setiap orang menjalani beban duka dan ratap tangis itu dengan caranya masing-masing. Dapat di bayangkan suasana keluarga duka sewaktu usai pemakaman. Berawal dari kehadiran keluarga, rekan, tetangga sampai kepada handai taulan untuk berbagi duka, kini berakhir menjadi sunyi sepi karena tak seorang pun yang datang lagi. Kesunyian hati menjadi berlarut-larut ibarat luka perih yang belum jaga sembuh. Kelengangan hati karena tak di kunjungi oleh mereka yang pernah jumpa beberapa hari yang lalu semakin mencekam, seakan tak berarti lagi hidup ini.

Bukankah setiap orang mengalmi hal yang sama? Tak usa menutup-nutupi kesedihan, apalagi kalau kit jujur terhadap kepahitan kematian itu. Namun, persoalannya akan menjadi lain kalau dihadapi oleh orang beriman. Perasaan sedih tetap bergelora dalam hidupnya, tetapi itu bukan berarti meniadakan Tuhan dari pentas kehidupan ini. Kita masih memiliki seberkas harapan, dan oleh sebab itu kita tetap optimis memandang kedepan dan merasakan pimpinan Tuhan. Beriman kepada Kristus bukan berarti tak perlu menangis dan bersedih bersandar kepada Kristus sebagai ”tiang penopang” satu-satunya, tidaklah berarti kita bebas dari penderitaan dan kematian, malah sebaliknya, atau mungkin tak habis-habisnya penderitaan menghadangi hidup ini. Rasul Paulus pernah menasehati orang Kristen di Tesalonika: ”selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berduka cita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan” (1 Tes. 4:13). Sebenarnya, Paulus bukan melarang kita bersedih dan berduka, melainkan ia menasehati agar dalam kesedihan dan kedukaan kita tetap berpegang pada pengharapan akan Yesus Kristus. Pengharapan itu memang masih diharapkan, tetapi dalam kepastian. Pengharapan itu berarti berharap pada yang pasti yaitu, Yesus Kristus sendiri. Dan pengharapan itu tidak pernah mengecewakan. Itulah yang Paulus ingin katakan: ”Bersedilah, atau berduka citalah atas peristiwa yang dialaminya itu, tetapi jangan seperti orang-orang lain yang tidak memiliki pengharapan”.

Bagi paulus, ada hal yang lebih baik lagi. Ada alasan yang lebih kuat senantiasa hidup beriman kepadanya. Ada motivasi yang lebih menyakinkan kita untuk tetap bersyukur, seperti yang kita lakukan bersama keluarga dalam ibadah syukur malam ini, meski musibah duka belum lama berlalu. Lalu apa hubungan antara kematian kekasih kita dgn ibadah syukur malam ini? Bagaimana mungkin kematian lalu bersyukur? Bukankah kita bersyukur kalau memperoleh sesuatu, dan bukan kehilangan sesuatu? Bukankah kita bersyukur karena diberi hidup ini oleh Tuhan, dan bukan diambilNya kembali hidup ini?

Paulus dalam Kolose 2:6-7 menegaskan karena orang percaya akan Kristus, maka (”karena itu”) ia harus ”hidup dalam Kristus”. Jadi menurut Paulus, imperatif (hidup dalam Kristus) berdasar atas indikatif (percaya, atau menerima Kristus). Titik pangkalnya adalah iman akan Kristus. Tetapi apa yang dimaksudkan dengan ”hidup dalam Kristus” menjadi jelas bagi kita: ”memperoleh segala kekayaan dan keyakinan pengertian, dan mengenal rahasia Allah yaitu Kristus (2:2). Sebenarnya dalam bacaan sebelumnya, Paulus telah memperingatkan jemaat Kolose, supaya jangan ada yang memperdayakan kamu dgn kata-kata yang indah. Semua ini terarahkan kepada keteguhan iman dalam Kristus” (2:4,5). Iman harus dilaksanakan dalam keseharian hidup. Iman bukan hanya pengakuan kepada Kristus sebagai Tuhan, iman berarti masuk kedalam lingkup Tuhan itu. Iman bukan hanya pengakuan kepada Kristus sebagai Tuhan, iman berarti masuk kedalam lingkup Tuhan itu. Iman bukan sekedar teoritis-verbal, tetapi lebih bersifat ”praksis” (bukan praktis), artinya berhubungan dengan ”pengalaman hidup” manusia.

Menerima Kristus baru permulaan saja, lanjutnya adalah ”hidup tetap di dalam dia”. Dan ini menurut Paulus berimplikasi pada empat aspek, tiga aspek berturut-turut mengungkapkan hal yang sama dan menunjukan kepada kiasan pembangunan: ”berakar” ”dibangun”, dan ”bertambah teguh”. Iman di sini diliat sebagai suasana hidup di dalam Kristus. Artinya hdup yang berakar di dalam Dia; hidup yang dibangun di atas Dia; dalam hidup yang bertambah teguh dalam iman kepadaNya, kemudian. Kemudian aspek keempat adalah ”melimpah dengan syukur”. Aspek ini mencerminkan kesukacitaan Paulus sendiri dalam hal bersyukur karena pengalaman imannya bersama Kristus.

Perhatikan mengenai iman, Paulus katakan”.......yang telah diajarkan kepadamu” (ay.7). ini tidak berarti bahwa iman dilihat sebagai ajaran ”an sich” (melulu), tetapi iman juga dilawankan dengan ajaran palsu yang disebut "filsafat” (ay.8). kekhususan iman, dilawankan dengan ”filsafat” orang kolose, ialah bahwa ajaran iman adalah iman ajaran yang sederhana, yang berpusat dan bersumber pada Kristus. Sebaliknya ”filsafat” adalah ajaran yang mementingkan macam-macam hal yang khusus dan istimewa. Filsafat orang Kolose berbau dualistik, dam memandang rendah tubuh. Paulus mau menekankan bahwa kepenuhan Allah hadir dalam Kristus ”secara tubuh”, pernyataan ini tidak anti-doketistis, tetapi anti-spiritualistis. Sebagaimana Paulus menekankan kebangkitan ”badan” (band. 1 Kor. 15), begitu juga disini ditekankan sifat badaniah dari keselamatan (”kepenuhan”). Keselamatan tidak harus di cari di luar dunia ini, melainkan di dalam dunia. Sebab dalam Kristus, Allah masuk ke dalam dunia agar dunia diselamatkan.

Hidup sebagai orang yang telah ditebus oleh Kristus tak mungkin melarikan diri dari kenyataan-kenyataan yang ada. Iman Kristen menuntut keberanian kita untuk berjuang menghadapi ragam tantangan dalam hidup ini. Kita percaya bahwa Kristus sanggup memadu kita menghadapi segala ketakutan, kecemasan dan kegelisahan apa pun, termasuk kedukaan yang dialami keluarga di tempat ini. Kita bersyukur karena memiliki Kristus, sang Juruselamat yang sungguh-sungguh telah membuktikan peristiwa kemenanganNya atas kuasa dosa dan maut. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia; hendaklah kamu kamu berakar didalam Dia dan dibangun diatas Dia; hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu; dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur, Amin.

DIAMPUNI UNTUK MENGAMPUNI

Matius 6:12

Saudara-saudaraku yang dikasihi Tuhan,

Mungkin di antara kita ada yang memiliki rasa benci, atau dendam terhadap orang lain. Karena rasa benci atau dendam itu, angan-angan kita selalu digoda oleh pikiran bagaimana keadaan rasa benci atau dendam di dalam batin seseorang bisa juga terlihat pada roman muka orang itu, atau melalui sikap yang ditampilkannya. Dan sadar atau tidak, rasa beci atau demdam adalah suatu beban berat dalam hidup manusia, dan setiap orang selalu menginginkan bagaimana menghilangkan beban berat itu dari dalam hatinya.

Betapa sering kita membanggakan keyakinan kita terhadap suatu prinsip agung dari ajaran Yesus tentang ”hukum kasih”, tetapi di pihak lain justru antitesa dari prinsip itulah yang kita lakukan dalam praktek keseharian hidup ini. Dengan semangat mengebu-gebu kita meneriakkan pengampunan, namun apa yang kita praktekkan justru kebalikan dari tuntutan pengampunan itu sendiri. Kita ramai-ramai menyeruhkan damai sejahtera sebagai buah dari Roh itu, tetapi yang kita tempuh adalah gang-gang gelap dendan kesumat. Suatu keironisan yang menyedihkan, jurang yang tak terjembatani antara ”apa yang seharusnya” dengan ”kenyataan yang sebenarnya”.

Sebetulnya hanya ada dua jalan. Pertama, membalas dendam dengan tindakan setimpal, atau meminjam istilah dalam Perjanjian lama: ”mata ganti mata, gigi ganti gigi”. Kalau demikian, satu-satunya jalan untuk memuaskan hati manusia adalah pembalasan yang setimpal. Bila hal ini tidak terpenuhi, rasa benci atau dendam semakin membara dalam hati manusia dan terbawa sampai mati. Seandainya ia nanti lahir kembali menjadi ”tikus”, saya akan lahir kembali menjadi ”kucing” dan ia akan saya terkam habis-habisan. Kalau ia nanti akan lahir kembali menjadi ”rusa”, saya akan lahir kembali sebagai pemburu, dan ia akan saya matikan dengan senapanku. Pokoknya, saya tetap membencinya samapai ke liang kubur. Pikiran dan tindakan destruktif ini masih berlaku dalam kehidupan manusia. Andaikata masyarakat tidak lagi sensitif terhadap penegakan ”supermasi hukum” di bumi Indonesia ini, dapat dibayangkan apa yang bakal terjadi. Masyarakat bisa menjadi kacau karena dikuasai oleh ”hukum rimba”. Setiap orang bertindak menurut hawa nafsunya sendiri.

Jalan kedua, menghilangkan rasa benci dan dendam kesumat dalam hati menusia melalui tindak pengampunan. Sikap ini ini yang diajarkan Tuhan Yesus seperti dalam pembacaan Alkitab tadi. Ia mengajar kepada murid-muridNya untuk hidup dalam suasana pengampunan. Pengampunan itu sendiri harus mendara daging dalam struktur kehidupan para murid. Pengampunan bukan bukan sekedar tindak insidental, atau sewaktu-waktu, melainkan ia merupakan sikap permanen yang terimplementasi dalam kehidupan konkret setiap hari.

Dalam bagian doa yang terkenal itu, yakni doa ”Bapa Kami”, Ia mengatakan: ”Ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Mat. 6:12). Dosa diibaratkan seperti ”kesalahan” yang wajib dijatuhi hukuman. Namun Allah mengampuni dosa. Ia membatalkan hukuman dan mencabut tuduhan atas manusia. Menurut kesaksian Alkitab, dosa atau kesalahan bukan suatu pelanggaran yang biasa, pelanggaran terhadap hukum-hukum agama, pelanggaran terhadap moral Kristen, dan lain-lain. Dosa atau kesalahan lebih daripada itu. Ia merupakan kejahatan, pemberontakan manusia terhadap Allah. Kejahatan ini ”berakar” dalam hati manusia sehingga tidak dapat dihapuskan oleh kuasa apa pun di dunia ini, kecuali Allah sendiri. Hanya Allah yang dapat meniadakannya. Oleh sebab itu, Yesus mengajar kepada murid-muridNya untuk berdoa: ”ampunilah akan kesalahan kami”.

Di pihak lain, perhatikan anak kalimat dari bagian doa ini: ”seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami”. Anak kalimat ini adalah lanjutan doa yang diajarkan Yesus, dan merupakan suatu pertanyaan yang tak boleh disepelehkan oleh murid-muridNya, bahwa Allah Bapa akan mengampuni, jika mereka mengampuni orang lain. Permohonan doa ini tidak boleh kita tafsirkan keliru, seolah-olah kita mengampuni orang lain, maka kita berhak diampuni oleh Allah. Bahwa Allah mengampuni hanya mereka yang benar-benar menyesali dosa atau kesalahannya, dan salah satu pertanda penyesalan yang benar ialah ”kesediaan mengampuni” orang lain. Sekali lagi, bukan pengampunan kita yang ”mendorong” Allah untuk mengampuni dosa kita, melainkan sebaliknya: ”karena Allah mengampuni dosa kita, kita juga terpanggil agar dapat mengampuni orang lain”.

Ada pepatah klasik mengatakan : ”kalau ’mengampuni’ orang harus juga dapat ’melupakan’ kesalahan itu”. Memang ”mengampuni” itu mudah, tetapi untuk ”melupakannya” tidak mudah. Karena itu bagi Yesus pengampunan adalah soal serius, bukan soal permainan kata, formalitas, atau soal verbal saja. Ia mencakup tindakan konkret yang esensial dan fundamental.

Dalam kehidupan Yesus kita menjumpai bahwa jurang yang memerihkan ini telah terjembatani. Tak pernah terdapat dalam sejarah kemanusian konsistensi ampuh dari sikap luhur Yesus dalam menjembatani ucap dan tidak. Ia tak pernah jemu terucap tentang kasih dan pengampunan. Ketika Yesus tergantung dalam kesunyian derita di kayu salip terdengar teriakan lirih penuh cinta dalam lafal doaNya: ”Ya Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”.

Bagaimana anda sekarang? Masihkah tersimpan rasa benci dan demdam kesumat yang memberatkan hati anda karena tidak dapat mengampuni orang lain? Coba selidiki hati anda dan memohon kepada Allah, niscaya Ia akan menyanggupinya. ”Berbahagialah setiap orang yang dapat mengampuni, sebab mereka akan disebut anak-anak Allah”, Amin.

BELAJAR SAMBIL BERLAYAR

Markus 4 : 35 – 41

Saudara-saudaraku yang dikasihi Tuhan

Perikop di atas menampilkan cerita mujizat yang melibatkan lansung murid-muridNya ke dalam situasi konkret yang mebahayakan. Setelah Markus menceritakan beberapa perumpamaan, ia lansung merekam empat peristiwa mujizat sebagai suatu rangkaian lengkap dalam kita dalam kitab Injilnya.mujizat pertama menunjukan kusa Yesus atas kedahsyatan alam, mujizat kedua memperlihatkan kuasa Yesus atas penyakit, dan mujizat yang keempat mengenai kuasa Yesus atas kematian. Karena itu awal cerita ini dikaitkan dengan peristiwa sebelumnya dengan kata-kata ”pada hari itu”.

Pada hari itu Yesus memang sangat sibuk menyembuhkan orang sakit, dan meskipun Ia mendapatbanyak tantangan dan perlawanan, Ia terus melakukan tugasnya memberitakan kerajaan Allah. Rupanya perahu yang disebutkan dalam bagian sebelumnya (4:1), bertugas membawa Yesus dan murid-muridNya ke seberang danau. Ia merasa lelah dan sudah berada dalam perahu itu di bawah oleh murid-muridNya, sementara orang banyak mereka tinggalkan karena perahu itu tentu saja tidak mungkin bisa mengangkut seluruh kumpulan massa. Menurut catatan banyak juga perahu lain turut serta. Minat besar dan sikap simpati orang banyak waktu itu menyebabkan mereka terus mengikuti dan mengerumuniNya. Tetapi Yesus bergerak meninggalkan massa itu, karena Ia menyadari masih ada yang jauh lebih penting, bukan diriNya menjadi tumpuan massa yang bersimpati tetapi Kerajaan Allah. Hari sudah mendekat malam saat mereka bertolak, namun mereka tidak memperoleh kesempatan untuk beristirahat, kecuali Yesus sempat tertidur di atas tilam di buritan kapal.

Gambaran mengenai perjalanan Yesus bersama-sama murid-muridNya menyeberangi danau yang terhadang danau taufan dan amarah ombak itu merupakan cerita yang menarik. Kalau ada orang mangatakan sambil menyelam minum air, artinya ”bekerja sambil belajar”, maka kejadian yang menimpa Yesus dan murid-muridNya dalam bacaan Alkitab ini adalah ”belajar sambil berlayar”. Mereka belajar bukan di Sinagoge, melainkan dalam proses interaksi bersama Yesus dalam pelayaran. Dengan belajar sambil berlayar brsama Yesus akan semakin mengenal dan mengetahui tokoh Yesus yang satu ini.

Dikatakan badai laut menyerang dengan tiba-tiba perahu yang ditumpangi Yesus dan murid-muridNya. Perahu mereka menghadapi bahaya dan serta merta perhatianya segera tertuju kepada Yesus yang tidur lelap. Mereka membangunkan Yesus dan menyesal atas sikapNya yang seolah-olah tidak menggubris situasi gawat itu. taufan semacam itu sering terjadi di Galilea. Angin yang demikian dihembuskan dari bukit-bukit yang mengelilingi danau itu. Dan rupanya angin taufan yang di alami Yesus dan murid-muridNya itu lebih hebat, lebih ganas dari pada yang biasa, terbukti dari keterangan mengenai perahu yang hampir penuh air dalam waktu singkat. Peristiwa ini sebenarnya merupakan pengalaman iman para murid sendiri. Mereka juga mengalami proses pembentukan iman di dalam ”Berlajar sambil berlayar”.

Sebagai orang beriman, di satu pihak kita meyakini kuasa penyertaanNya, bahwa Ia sanggup meniadakan segala penderitaan dan ragam bentuk ketakutan lainnya, namun di pihak lain terkadang kita bimbang dan takut menghadapi segala ancaman dan kesulitan hidup ini. Barangkali kita aktivis gereja dan setia melayani pekerjaanNya, tetapi begitu topang dunia yang semakin mengganas menerpa perahu hidup kita, kita mulai cemas dan tenggelam dalam ketakutan, seolah-olah pengalaman iman dan pengajaranNya yang kita cermati dan hayati selama ini tidak berbekas di hati kita.

Di tengah situasi itu mereka mengungkapkan kengerian dan ketakutan kepada Yesus : ”Guru, Engkau tidak perdulikalau kita binasa?” Ada dua hal uang perlu ita perhatikan. pertama, taufan dan badai ombak pun tidak dapat membangunkan Yesus, tetapi karena murid-muridNya membutuhkan Dia, Ia segera bangun. Ini berarti Ia selalu siap menolong setiap orang yang bersru kepadaNya. Kedua, mereka memanggil dan membangunkan Yesus, bukan berarti meminta tolong Yesus meneduhkan danau itu. Buktinya dari kata-kata:”........kita binasa”. Atau barangkali mereka ingin berspekulasi dengan Yesus, siapa tahu ada solusi terbaik dari Yesus. Bukankah Yesus yang mengambil insiatip untuk bertolak ke seberang?

Para penafsir mengatakan ada unsur kesengajaan dalam cerita ini untuk menampilkan kemesiasan Yesus. Dan menurut pengertian orang Yahudi, danau merupakan unsur yang ”ajaib”. Kuasa roh-roh jahat banyak terselubung di dalamnya. Laut atau danau dalam perikop ini sebagai ”wakil” dari roh-roh jahat. Kuasa-kuasa roh jahat itu menyatakan diri melalui kekuatan Alam sebagai penampakan-penampakan sekunder yang mengganggu jalanya dunia ini. Inilah background badai di danau itu yang menyebabkan para murid takut, terutama karena ketakutan atas kuasa roh jahat yang menyatakan diri melalui bencana badai itu.

Dengan sepata kata saja: ”Dia !Tenanglah!”, Ia meredahkan angin ribut itu. Danau pun kembali menjadi teduh. Biasanya setelah angin ribut berhenti masih ada ombak selama beberapa waktu, tetapi air di danau itu segera tenang. KuasaNya mengatasi dan menguasai alam itu. Lalu Yesus berkata kepada mereka: ! mengapa kamu begitu takut ? Mengapa kamu tidak percaya ?”. Perkataan Yesus ini bukan suatu ”penghiburan”, melainkan ”teguran” kepada murid-muridNya. Yesus mau mengatakan kepada mereka: ”Dimanakah sebenarnya iman mereka”.

Orang beriman tidak dijanjikan untuk bebas dari kesulitan dan penderitaan tetapi ada jaminan bahwa kehadiranNya tetap menyertainya. Samudera hidup yang kita ,harus kita tempuh terbentang luas dan jauh di depan kita. Yang harus kita lakukan adalah mulai mendayung dan terus mendayung meski badai silih berganti menerpa perahu hidup ini. Dalam perahu hidup ini, tak ada perjuangan yang mudah, tetapi juga tak ada perjuangan yang sia-sia. Hidup adalah tantangan. Hidup adalah badai dan gelombang yang kita tempuh untuk mengenal Dia lebih dalam. Dialah sumber ketenangan dalam amukan taufan hidup ini. Dialah ”juragan” perahu yang tak pernah lengah sedikit pun. Dialah pemimpin kita, agar kita tetap ulet dan pantang menyerah. Tak pernah berputus asa, Amin.

KEPEMIMPINAN DEBORA

Hakim-hakim 4 : 1-24

Saudara-saudaraku yang dikasihi Tuhan,

Sejak awal kita percaya bahwa misi penyelamatan Allah terus berlangsung sepanjang sejarah. misiNya universal dan bertujuan menyelamatkan, membebaskan dan memulihkan manusia yang tertindas dan terbelenggu. Ironisnya, sejalan dengan itu penjajahan dan penindasa yang tak kenal ampun atas manusia terus bermunculan,bahkan dalam bentuk-bentuk baru. Pertanyaan kita ialah, apakah hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari ”krisis kepemimpinan’ dalam keluarga, gereja dan masyarakat? Para pemimpin yang mestinya menjadi panutan, kadang menjadi batu sandungan. Mereka bukannya di contohi, malah jadi comelan. Namun perlu disadari, bahwa dalam menjalankan misiNya, Ia ingin melibatkan semua orang: laki-laki, perempuan, golongan yang satu dan yang lain, siapa saja. Dan kita yang terlibat dalam misiNya itu perlu memiliki pola kepemimpinan dan kerja sama yang baik. Rupanya kita perlu belajar pada kepemimpinan Debora untuk di teladani. Siapa tahu ada manfaat bagi kita.

Dalam Kitab Hakim-hakim kita mengenal apa yang di sebut ”pola siklus”. Pola ini di terapkan dalam cerita-cerita tentang hakim-hakim. Masalah pokoknya segera menjadi jelas: ”Israel meninggalkan Allah dan berpaling kepada ilah-ilah kanaan”. Pola siklus ini dapat digambarkan sebagai berikut. Umat Israel ”melakukan apa yang jahat” dengan beribadat pada ilah lain. Allah mendatangkan suatu bangsa untuk menindas mereka. Kemudian Israel berseru kepada Allah, lalu Allah membangkitkan seorang tokoh pembebas (hakim). Bangsa penindas itu dikalahkan, dan amanlah negeri itu. Hal ini terjadi berulang-ulang, walaupun tidak semua cerita disebutkan setiap kali. Dengan demikian ciri khas seorang ”hakim” adalah pemimpin berkharisma yang dibangkitkan oleh Tuhan dan diberi kuasa oleh RohNya untuk menangani masalah tertentu. Ia bukan raja dan karena itu membentuk dinasti suatu kerajaan, juga bukan keluarga yang berkuasa. Seorang hakim bisa pria atau wanita, yang dipilih Allah untuk mengusir dan mengamankan negeri mereka.

Mari kita ikuti pemeran utama dan karakter para tokoh sesuai skenario dalam perikop ini. Pertama, Yabin dan Sisera. Yabin, raja Kanaan dan panglimanya, Sisera. Kekuatan Sisera yang spektakuler itu, karena ia mempunyai 900 kereta besi, dikontraskan dengan ketidakberdayaan Israel yang tertindas selama dua puluh tahun dibawah kekuasaan mereka. Dalam cerita selanjutnya, Sisera pantas disebut pemimpin ber-”tangan besi”. Haus kuasa dan kekerasan adalah teman akrabnya. Kedua, Debora. Tokoh ini tampil sebagai ”perempuan multi peran”. Selain sebagai nabiah: penyambung lidah Allah untuk menyampaikan sesuatu kepada Barak menghadapi perlawanan Sisera. Juga ibu rumah tangga, isteri Lapidot. Terakhir panggilan sebagai hakim. Fungsinya sebagai hakim, disamping memutuskan perkara, pemberi nasehat, pendamping (konselor), tak kalah pentingnya pemimpin militer dan sipil. Coba simak karakter Debora. Ia mau membantu orang lain. Pendamping ulung Barak, tapi jangan lupa ia tidak ambil alih tugas yang harus Barak kerjakan. Ini namanya pemimpin yang berhasil. Ia konsisten dan konsekuen dengan perintah dan janji Tuhan. Sikap ini menyebabkan ia menjadi orang yang amat berani, walau berhadapan dengan kekuatan Sisera. Ketiga, Barak. Tokoh yang satu ini memiliki karakter penakut. Tidak berani maju sendiri tanpa Debora.Mulanya penakut, kini pemberani. Tetapi ”bukan berani asal berani”, sebab yang ini namanya fatal, alis celaka. Keempat, Yael. Ini tokoh terakhir dalam skenario. Penampilannya cukup cerdik. Suami Yael masih punya hubungan dengan Yabin, atasan Sisera. Karena itu Sisera tak ragu bersembunyi dirumahnya. Ternyata, akhir dari sinetron tegang ini, Sisera dibunuh Yael. Mengapa ? Debora telah menebuatkannya. Yael di pakai Tuhan dalam rencanaNya. Semula Israel ditindas, tapi berakhir dengan Israel menindas. Allah membalikkan situasi, Sisera dengan kekuatannya itu dikalahkan Israel. Luar biasa orang-orang yang dipakai Tuhan.

Banyak orang cenderung berpikir bahwa masalah kepemimpinan sebagai masalah yang krusial sekarang ini. Krisis kepemimpinan itu tidak hanya terjadi dalam tubuh gereja, melainkan merupakan gejala yang dapat dijumpai di mana-mana dalam masyarakat kita. Dan krisis kepemimpinan yag terjadi dalam gereja-gereja kita tak lain merupakan refleksi dari krisis yang terjadi dalam masyarakat kita. Konon ketika kampanye pemilu baru-baru ini diselenggarakan di kupang, sejumlah anak muda dengan sangat menggebu-gebu mengusung gambar Bung Karno. Mengapa mereka membawa gambar orang yang sudah mati? Apakah yang masih hidup tak ada yang layak? Bukankah ini pertanda bahwa kita juga sedang menghadapi ”Krisis figur pemimpin?” lalu bagaimana dengan gereja-gereja kita? Sadar atau tidak, potret kegelisahan kita semakain jelas, bahwa kepemimpinan (leadership) telah menjadi masalah paling gawat yang harus dihadapi gereja-gereja (termasuk GMIT) pada masa sekarang maupun pada masa datang.

Pernah seorang teolog muda berucap, ada perbedaan besar antara ”memimpin” dan ”menguasai”. ”memimpin” artinya memotivasi, mengajak, atau mengarahkan, sehingga kepemimpinan mengandalkan visi yang jelas dan kepercayaan, agar dapat diterima orang lain. Sedangkan ”menguasai” berarti memaksa, mengancam, memanipulasi. Krisis kepemimpinan terjadi ketika pemimpin kehilangan visi untuk ditawarkan dan berlanjut dengan penggunaan kekuasaan demi mempertahankan kedudukan sebagai ”pemimpin”. Karena itu, pusat masalahnya terletak pada ”tataran karakter”, semacam ”dekarakterisasi kepemimpinan”, kalau tidak mau disebut ”demoralisasi”, sekalipun itu bisa kita liat disana sini. Istilah-istilah tren seperti ini ”kredibilitas” dan ”akseptibilitas” merupakan suatu yang sangat sulit sekarang ini. Kesetiaan orang saat ini, tidak lagi disebabkan karena dia percaya, atau sang pemimpin itu bisa diterima, tetapi dibeli. Siapa berani membeli lebih tinggi ia akan memperoleh kesetiaan. Dan ini preseden buruk yang belum ditemukan sebelumnya

Terlepas dari perikop ini, sebenarnya Alkitab telah mengajarkan bagaimana cara memilih seorang pemimpin. Sewaktu Musa mengajak umatNya menunjuk 70 tua-tua Israel untuk mendampinginya. Atau ketika para rosul meminta jemaat mula-mula memilih tujuh diaken, syarat utama yang ditentukan adalah ”karakter”.”.....pilihlah tujuh orang dari antaramu, yang terkenal baik dan yang penuh roh dan hikmat” (Kis. 6:3). Jujur saja, siapa yang masih konsekuen menetapkan kriteria itu ketika memilih pemimpin? Mungkin kepemimpinan yang kita butuhkan pada aras dan tempat manapun adalah yang dipercaya dan dapat diterima. Pemimpin tidak terlalu hebat, tetapi kalau dia dipercaya dan dapat diterima, dia dapat berbuat banyak. Kalau pemimpin itu hebat, tetapi tidak dipercaya dan tidak dapat diterima, sesekali waktu pasti ambruk. Apalagi dalam lingkup gereja, kepercayaan dan penerimaan orang terhadap sipemimpin sangat penting.

Figur kepemimpinan Debora patut kita teladanidalam mengembangkan sikap kepemimpinan kita. Seperti halnya Debora, umumnya kita memiliki beberapa peran. Sebagai wanita punya peran ganda : ibu rumah tangga, aktivis gereja, pegawai. Sebagai pria kita juga memiliki multi peran : bapak, aktivis gereja atau sebagai pedagang. Dalam hal ini, kebijaksanaan dan keseimbangan dalam menjalankan tiap-tiap peran perlu sekali kita miliki. Yang perlu dijaga, jangan sampai kita dipuji dalam peran yang satu, tetapi dicemooh dalam peran yang lain. Aktivis gereja yang terandalkan, tetapi peran sebagai bapak menjadi penyebab keretakan rumah tangga. Masih banyak contoh lain yang bisa kita inventarisir sendiri.

Pada akhirnya seorang pemimpin memerlukan penyertaan dan janji Tuhan seperti Debora.Ia bergerak berdasarkan petunjuk yang ia terima dari Tuhan. Keyakinan ini menimbulkan keberanian meskipun lawan sangat berat. Jadilah pemimpin yang dipercaya dan diterima orang lain. Sanggupkah kita?, Amin.

KASIH DAN PENGAMPUNAN

Lukas 7:36-50

Saudara-saudaraku yang dikasihi Tuhan,

Kalau ”publik” suka menyimpan ”kenangan pahit masa lalu”, itu bukan soal baru, malah kadang dijumpai dalam keseharian hidup ini. Kita sering memandang dengan sebelah mata terhadap mereka yang berdosa. Bila seorang bekas narapidana lewat lorong kampung, tetangga mulai berbisik-bisik. Apalagi kalau yang bersangkutan pernah ditapolkan, sulit baginya mendapat tempat di tengah masyarakat. Atau contoh lain, orang yang ketahuan koropsi, suka gelap-gelapan alias selingkuh, dimana-mana sudah mendapat ”ciri”.

Dalam bacaan Alkitab kali ini, ”publik” diwakili kelompok Farisi. Mereka ini tidak suka pada Yesus yang bersimpati dengan perempuan berdosa. Ini tidak boleh, karena bertentangan dengan martabatNya. Sikap orang Farisi ini sebenarnya merupakan potret diri kita paa umumnya.. Ia merasa jijik, ketika Yesus membuarkan diriNya dibasuh oleh perempuan berdosa.Perempuan ini tidak disebut namanya, kecuali si tuan rumah yang menerima Yesus sebagai tamunya, Simon. Menurut catatan perikop ini, hanya disebut seorang perempuan yang terkenal sebagai seorang berdosa. Si wanita cantik ini bergegas ke rumah simon sambil membawa buli-buli pualam berisi minyak wangi. Saat ia memandang Yesus yang duduk makan membelakanginya, serta merta kemasan kepura-puraan yang selama ini membungkus wajahnya, hancur berantakan. Ia pun menangis menandai raung perih yang menusuk hatinya selama itu. Dengan air matanya dibasahinya kaki Yesus, mengeringkan kaki Yesus dengan rambutnya, bercium lalu meminyakinya dengan winyak wangi. Anehnya, sikap penyesalan diiringi deraian air mata si perempuan itu sedikit pun tak digubris Yesus. Menoleh pun tidak, apalagi berucap. Yesus malah berdialog dengan Simon tentang dua orang yang berhutang, masing-masing 500 dan 50 dinar. Dan dari kiasan itu, Yesus bertanya kepada Simon : ”siapakah dari kedua orang yang berhutang itu yang akan lebih mengasihi orang yang telah membebaskan utangnya?” Jawabnya : ”aku kira dia yang paling banyak dihapuskan hutangnya”. Sambil melanjutkan percakapan Simon, Yesus menunjuk kepada si wanita itu. Ia tahu keberadaan si perempuan berdosa ini, bahkan Simon pun mengenalnya.

Sebagai salah seorang dari kelompok Farisi, Simon sudah biasa memandang orang lain dengan kategori-kategori tertentu, sebagai perempuan ini termasuk dalam kategori ”orang berdosa”. Dengan mengidentifikasikan kategori perempuan ini, ia juga tahu bagaimana caranya memperlakukan si wanita itu, dibandingkan perlakuannya terhadap orang lain. Dalam hal ini, sikap dan cara pandang Simon berbeda jauh dengan sikap dan cara pandang Yesus. Yesus tak pernah mengklasifikasikan siapa pun termasuk perempuan ini. Bagi Yesus, bukan dari mana asalnya, atau termasuk dalam kategori yang bagaimana, malainkan siapa oarang ini dalam keberadaan yang sebenarnya. Karena itu pertanyaan Yesus kepada Simon: ”Engkau melihat perempuan ini?”, sebenarnya merupakan pertanyaan sinis terhadap dirinya yang selalu memandang orang lain dengan sebelah mata. Simon tidak melihat perempuan inidalam keadaan yang sesungguhnya.

Yesus membandingkan sikap orang Farisi dalam diri Simon dengan perempuan ini (ay. 44-46). Perempuan ini menyadari dirinya, dan karena itu ia datang kepada Yesus memohonkan pengampunan. Sebaliknya orang Farisi ini tidak berbuat sesuatu pada Yesus, karena ia tidak merasa dirinya berdosa, ia tidak membutuhkan pengampunan. Terhadap perempuan inilah, Yesus berkata:”Dosanya yang banyak itu telah diampuni,sebab ia telah banyak berbuat kasih”. Yang hendak ditonjolkan penulis, bukan mengapa perempuan ini diampuni, melainkan perlakuan yang tulus yang terungkap dalam sikap pasrah, puja dan penyesalan diri dihadapan Yesus. Dosanya diampuni karena ia telah banyak berbuat cinta kasih.

Kita patut memuji sikap Yesus terhadap perempuan ini.Ia tidak mennutup mata terhadap perilaku si wanita masa lalu, juga tak menyangkali ”ketenaran namanya”. Namun yang lebih penting bagiNya: ”yang bersangkutan telah memperbaiki diri dan bertobat”. Ia melihat apa yang tidak dilihat orang lain. Bukan karena daya indera yang khusu dan istimewa, melainkan kepekaan dan keseriusan dalam menangkap ungkapam hati seseorang. Ia selalu menerima maksud dan usaha baik seseorang, juga meski orang itu tergolong ”out”, tidak dianggap lagi oleh masyarakat sekeliling. Ia juga menghormati nilai-nilai positif dalam diri seseorang. Mempersilahkan rahmat Allah bekerja, agar keadaan manusia dipulihkan. Dan yang tak kalah pentingnya, menyadari menyadari bahwa keadan, hati seseorang selalu merupakan rahasia bagi orang lain.

Kagum juga sikap Yesus yang sangat manusiawi dan menyentuh hati ini. Namun lebih terpuji, andai kata sikap itu juga menjadi sikap kita. Dapat mengerti, memahami, memaafkan, mengampuni dan melupakan cela orang lain. Memang berat dalam praktek. Sukar menghilangkan ”kesan”, apalagi bila itu terkait dengan ”pengalaman” sendiri. Namun rasa berat demikian akan berkurang, bila orang menyadari bahwa ia sendiri butuh simpati, butuh dimengerti, butuh dimaafkan, dan butuh diampuni. Entah oleh sesama, terlebih Tuhan.

Dipenghujung drama kasih dan pengampunan ini, Yesus berkata kepada si wanita itu : ”Dosamu telah diampuni, imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat!”. Rupanya pengampunan berkaitan erat dengan cinta dan percaya,dengan iman dan kasih. Ini bukan rumus dogmatis, tetapi pengalaman nyata. Bukan menekuni semua ajaranNya, lalu lumpuh dalam tindkan-tindakan konkret. Yang dibutuhkan ialah kesatuan ucap dan tindak. Keduanya mesti terjembatani dalam panggilan hidup orang beriman, Amin.

Tidak ada komentar: